Keesokan harinya di Pesantren Al-Muhajirin, suasana di kamar Fatimaa dipenuhi oleh bisikan dan tatapan sinis dari Maaitsa Yasmeen Najeeb. Maaitsa, seorang santriwati yang dikenal dengan penampilannya yang selalu sempurna dan sikapnya yang dominan, duduk di sudut kamar sambil memeriksa riasannya di cermin kecil. Maaitsa adalah seorang yang cerdas dan berpengaruh di kalangan santri perempuan.
Saat Maaitsa melihat Heidy memasuki area pesantren dengan penampilan yang masih belum sesuai aturan, sikapnya langsung berubah. Maaitsa merasa tidak suka dengan kehadiran Heidy yang dianggapnya terlalu mencolok dan terlihat berbeda dari santriwati lain.
"Heidy, ya? Aku dengar dia baru datang," ujar Maaitsa kepada teman-temannya dengan nada sinis saat mereka berkumpul di kamar Fatimaa. "Sepertinya dia belum benar-benar memahami aturan di sini. Lihat saja cara dia mengenakan hijab, sangat tidak rapi."
Teman-temannya, yang sudah lama mengenal Maaitsa, hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Mereka tahu betul bahwa Maaitsa selalu mencari alasan untuk menonjolkan diri dan menilai orang lain. "Ya, aku juga melihatnya. Dia tampak agak sok cantik dan berbeda," ujar salah seorang temannya, Rania, dengan nada setuju.
Maaitsa menyisir rambutnya dengan teliti sebelum melanjutkan. "Aku hanya khawatir kalau dia tidak menyesuaikan diri dengan baik di sini. Bisa jadi dia merasa superior dan tidak menghargai usaha kami semua yang sudah beradaptasi dengan kehidupan pesantren."
Sementara itu, Heidy, yang baru saja keluar dari kelas, tidak menyadari bahwa Maaitsa sedang membicarakannya. Saat Heidy melewati kamar Fatimaa, Maaitsa dengan sengaja berdiri di pintu dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Hati-hati, Heidy. Pesantren ini memiliki aturan dan adat yang harus kamu hormati. Jangan berharap bisa terus tampil seperti itu," seru Maaitsa dengan nada sinis yang penuh peringatan.
Heidy, yang baru pertama kali mengalami sikap seperti itu, merasa sedikit terkejut namun mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan di wajahnya. "Terima kasih atas peringatannya," jawab Heidy singkat sambil melanjutkan langkahnya menuju kamar Zulaikha.
Di kamar Zulaikha, Heidy menceritakan kejadian tersebut kepada Helma dan Samira. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian. Helma menghela napas. "Maaitsa memang begitu, dia sering merasa perlu mengendalikan segala sesuatu di sekitar dia. Jangan terlalu dipikirkan. Fokuslah pada tujuanmu di sini."
Samira menambahkan, "Ya, dan ingat bahwa kita semua di sini punya tujuan yang sama. Kita harus saling mendukung, bukan bersaing."
Heidy mengangguk, meskipun di dalam hatinya ia merasa sedikit terganggu. Dia berusaha untuk tetap fokus pada tujuannya, meskipun sikap Maaitsa terus menghantui pikirannya. Ia merasa semakin terasing dan kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru, terutama dengan adanya konflik interpersonal seperti ini.
Sementara itu, di kamar Fatimaa, Maaitsa terus membahas tentang Heidy dengan teman-temannya. "Kita harus mengawasi dia dengan lebih ketat. Tidak bisa dibiarkan dia terlalu bebas di sini. Kalau perlu, kita harus memastikan bahwa dia tahu batasannya."
Percakapan tersebut menunjukkan betapa Maaitsa menganggap dirinya sebagai penjaga norma di pesantren, yang kadang membuat hubungan antar santriwati menjadi tegang. Heidy merasa semakin tertekan dengan setiap sikap yang tidak ramah dari Maaitsa, tetapi ia berusaha keras untuk tidak membiarkan hal itu mempengaruhi tekadnya untuk beradaptasi dan menjalani kehidupan pesantren dengan baik.
Di tengah-tengah ketegangan dan konflik yang mulai muncul, Heidy harus terus berjuang untuk menemukan keseimbangan dan tempatnya di pesantren yang penuh dengan aturan dan ekspektasi yang tinggi.
...
Setelah kejadian tersebut, Heidy mencoba untuk kembali fokus pada rutinitasnya di pesantren. Setiap pagi, dia berusaha lebih keras untuk menyesuaikan diri dengan pakaian yang sesuai aturan pesantren. Meskipun masih ada ketidaknyamanan dalam mengenakan hijab dan pakaian panjang, Heidy bertekad untuk membuat yang terbaik dari situasi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Hijab & High heels
Teen FictionHari itu, Heidy merasa dunianya runtuh. Di atas meja kayu jati di ruang tamu yang megah, sebuah tiket pesawat dan surat pengantar dari ayahnya tergeletak dengan tenang. Pesantren Al-Muhajirin, El-Mansuriyah, Irak, tempat di mana ia akan dikirim untu...