Chapter 1, Centralized.

35 21 2
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Sudah satu tahun berlalu semenjak kepergian Tara, ternyata hidup tanpa kakak perempuan nya sangat lah sunyi, benar-benar tidak ada kehidupan sama sekali.

Hubungan Thea dengan sang Ibunda juga tidak terlalu baik, terlebih Ibunda adalah wanita karir, waktu nya selalu terpakai untuk pekerjaan. Dulu ketika masih ada Tara, Thea merasa bahwa hidup nya benar-benar bahagia, baik-baik saja dan tata pusat nya berada pada Tara kakak perempuan nya.

Thea membuka kenop pintu kamar nya, setelah beraktivitas di sekolah membuat energi nya habis, lagipula rumah selalu sepi, hanya ada diri nya, dia melempar ransel nya ke sembarang arah, melepas kunciran dan menjatuhkan diri diatas kasur yang empuk.

Sebentar lagi dia akan menginjak kelas sebelas, namun kali ini dia harus memaksa sang Ibunda untuk memindahkan nya ke tempat sekolah Tara.

Sebenarnya sejak awal Thea sudah meminta sang Ibunda untuk memasukkan nya ke sekolah tersebut, namun sudah terlanjur dihantui rasa takut, sang Ibunda bersih keras menolak permintaan Thea.

Thea masih mengingat bahwa pertengkaran pada hari itu sangatlah ricuh, Thea yang berteriak dan Ibunda yang melempar barang-barang di sekitarnya. Kalau di ingat lagi rasanya membuat Thea takut, Ibunda temperamental pada nya setelah Tara pergi.

Netra nya menatap langit-langit kamar, berharap bahwa dia bisa pergi dari tempat ini hidup bersama Ibunda benar-benar membosankan, Ibunda terlalu menyembunyikan segala hal, termasuk kematian Tara.

"Ma, ada yang janggal Ma, kenapa Mama mutusin untuk diam dan gak berbuat apa-apa?"

"Kamu tau apa sih Sa? Anak kecil gak perlu tahu apa-apa, ini urusan Mama sama pihak sekolah! Mama sudah pusing, Mama kehilangan putri Mama, dan kamu masih harus bertanya perihal itu?!"

"Kalau Mama ngerasa kehilangan harus nya Mama berontak dengan putusan sekolah, Kakak!"

"Diam, Sagita!"

Thea segera menggelengkan kepalanya dengan cepat, baru saja terlintas ingatan pertengkaran dengan Ibunda di pikiran nya.

Perasaan nya benar-benar sedih, bingung harus apa? Andai saja Tara masih ada, andai saja, andai saja semuanya baik-baik saja.

"Kak Tara" suara nya memanggil Tara dengan lirih, air mata nya jatuh. Thea benar-benar tidak kuasa menahan sesak yang terus melekat di dada nya sejak satu tahun terakhir.

Tangisan nya berubah menjadi isak, Thea benar-benar tidak ingin kehilangan Tara, kematian Tara benar-benar meninggalkan luka yang teramat besar terhadap diri nya.

Thea yang begitu mencintai Tara, cinta antar saudara, cinta keluarga. Thea seolah terpusat dengan Sadeena Taura.

***

Aktivitas pada pagi hari selalu seperti ini, sarapan bersama di ruang makan dengan sang Ibunda, Shiela.

Shiela mengoleskan mentega terhadap roti tawar dan akan dia sajikan untuk putri bungsunya Sagi. Satu-satunya putri yang dia punya, yang menjadi alasan dia untuk hidup.

"Ujian udah selesai sebentar lagi liburan, kamu  ada rencana mau liburan kemana Sa?" Shiela membuka topik pembicaraan terhadap Thea.

Thea menatap sang Ibunda intens, seolah dia ingin sekali mengatakan sesuatu. Tetapi dia terlalu takut, takut bahwa Shiela akan melempar roti itu ke sembarang arah sebab mendengar perkataan nya.

"Ma, aku mau minta sesuatu" ucap Thea dengan hati-hati, dirinya tidak merespon pertanyaan sang Ibunda.

Satu alis naik, iris hitam nya menatap Thea penuh pertanyaan. "Ada apa?"

"Aku mau pindah, aku gak mau sekolah disitu"

Setelah mengatakan itu suasana yang sudah hening semakin hening, Thea melirik Shiela penuh hati-hati, berharap bahwa sang Ibunda dengan mood yang baik.

"Mama selalu mau tanya ke kamu Sa, kenapa kamu ingin pindah? Sekolah yang sekarang kan sudah bagus, kurang apa memang nya?" Shiela menyerbu pertanyaan kepada Thea dengan nada yang lembut, berusaha mengatur emosi nya.

Dilanda rasa gugup, panik dan cemas, Thea memainkan jari-jemari nya untuk meredakan perasaan campur aduk tersebut.

"Aku mau ke Garda Pelita, Ma" cicit Thea, dia tidak berani untuk melihat raut wajah Shiela yang akan melempar kan tatapan tajam.

Shiela sudah menduga nya, perempuan kepala 4 itu menghela nafas nya kasar. "Kenapa harus disana sih Sagita? Ada apa memang nya di tempat itu? Kamu masih pengen tahu sesuatu tentang Tara disana? Nak?" serbu Shiela, nada nya naik satu oktaf.

Alasan dibalik dirinya kukuh menginginkan Garda Pelita adalah rasa penasaran yang begitu tinggi terhadap kematian Tara, apa yang dikatakan oleh Shiela memang benar, Thea adalah seseorang yang keras kepala dan berusaha mencari jawaban nya.

"Itu sekolah favorit Ma" kilah Thea, bisa dikatakan setengah jujur setengah berbohong.

"Memang nya sekolah mu yang sekarang bukan favorit?!" nada Shiela meninggi seolah batas kesabaran nya habis.

Shiela memberhentikan kegiatan nya yang mengoles mentega di roti, perempuan tersebut mengelus dada nya yang mulai sakit, berusaha mengatur nafas nya agar pelan, tidak ingin meledak-ledak.

Dengan mengumpulkan keberanian Thea menatap netra sang Ibunda, mereka melakukan kontak mata. Sangat jelas tersirat rasa lelah dalam sorot mata Shiela.

"Aku gak akan melakukan apa-apa selain belajar Ma, aku mohon pindahin aku ke sana, setelah ini aku gak akan mohon-mohon lagi untuk minta apapun, apa sesulit itu Ma?" ucap Thea penuh penekanan, nada nya cukup bergetar untuk mengatakan hal tersebut.

Shiela menyentuh kepala nya yang mulai berdenyut, kematian Tara benar-benar memberikan dampak terhadap hidup nya dan Thea. Hidup sebagai single parent memang tidak mudah, sudah bekerja mati-matian pun tidak dihargai oleh anak sendiri, Shiela benar-benar muak.

"Kamu yakin gak akan melakukan apa-apa disana?" tanya Shiela penuh curiga, alasan diri nya tidak mengizinkan Thea untuk bersekolah disana adalah Tara.

Kematian Tara membuat nya takut akan segala hal yang merenggut Thea, bagaimana jika perkataan orang itu benar? Oh tidak, tidak berpikir lah dengan jernih, dia adalah seorang Ibu.

Mendengar perkataan itu Thea mengangguk dengan semangat, seperti nya ada secercah harapan dia bisa pindah.

"Iya Ma! Aku janji!" seru Thea bersemangat, senyuman ikut terukir di kedua sudut bibir nya.

Ukiran senyuman itu membuat Shiela sedikit terkejut, sudah berapa lama Thea tidak mengukir senyuman nya? Ini kali pertama Shiela bisa melihat Thea tersenyum kembali setelah satu tahun terakhir, lagipula kehidupan mereka selalu bertengkar dan bertengkar.

"Terserah kamu, Mama angkat tangan" Shiela beranjak pergi dari tempat duduk nya, meninggalkan ruang makan dan menyisakan roti yang dia sajikan untuk Thea.

Kalau boleh jujur hati Thea mencelos mendengar kalimat Shiela, seperti nya sang Ibunda benar-benar pasrah dengan desakan yang diberi oleh nya.

Tetapi, ini demi rahasia yang terkunci, rahasia harus terlihat bentuk kejelasan nya.

— To be continued.

Note : Please kalau ada hal yang gak nyata di dunia ini, tolong jangan serius, bawa cerita ini dengan fiksi ya! Kalau ada kesalahan author minta maaf tidak mencantumkan sumber-sumber secara detail.

Sampai ketemu lagi, bye-bye :p

Locked : Nonexistent ClarityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang