03. Amanat

1.8K 166 11
                                    

Angin berhembus kencang, menggerakkan kapas langit yang menghiasi atap semesta. Daun kering menari di udara-- berputar-putar mengikuti arah poros angin yang membawa mereka terbang jauh.

Sinar Mentari meredup-- awan hitam bergerak perlahan mengelilingi cahayanya. Burung gagak berbunyi, mengepakkan sayapnya hingga satu dua bulu rontok berjatuhan. Burung berwarna hitam itu terbang dari ranting pohon yang menjulang tinggi di sebelah jendela ruang kecil yang di isi oleh Juan, Keyran dan pak Sutrosmo.

Ketegangan mendominasi. Tak ada patah kata yang keluar terucap. Keyran diam-diam menggigit bagian dalam bibir bawahnya.

Apa yang barusan ia dengar? Pak Sutrosmo akan mengirim mereka berdua ke desa Padang Batu untuk melaksanakan sebuah tugas amanat?

"Anggap saja itu sebagai hukuman kalian. Kalian tidak akan jera jika hanya dihukum membersihkan toilet atau menyapu halaman depan." Pandangan mata pak Sutrosmo tajam-- menghunus ke depan. Tanpa keraguan, sang guru mengatakan hal yang tampak tak dapat ditawar.

Kerutan di kening kian dalam. Ada keresahan tersendiri yang tak bisa Keyran jabarkan. Gemuruh jantungnya berdetak dua kali melaju, seakan setiap irama yang hadir membawa arti kecemasan.

Bola mata hitam itu bergulir, dari bawah hingga tepat menatap balik pak Sutrosmo yang masih mempertahankan raut datarnya. "Tapi pak, desa itu kan di pedalaman banget. Boro-boro signal telepon, kayaknya listrik pun belum masuk ke sana."

"Terus?" Menanggapi perkataan Keyran, pak Sutrosmo mengangkat sebelah alisnya.

Diam-diam bungsu Wijaya itu mendengus pelan. Tampaknya pak Sutrosmo tak memiliki niat untuk bernegosiasi.

"Apa yang harus kita lakukan Pak?"

Reflek kejut melebarkan mata. "Juan!" Keyran menoleh ke samping-- ia menatap tak percaya ke arah temannya itu.

Juan tak mengalihkan pandang. Tapi ia sedikit melirik ke arah Keyran melalui ekor matanya. Raut wajah remaja itu tampak tegas dan tak tergoyahkan.

"Di desa Padang Batu, ada seorang Kakek tua. Dia sesepuh di sana, namanya Kek Rajad. Kalian akan membantu beliau menjalani hari-harinya di sana selama satu bulan penuh."


|Malapetaka 1980|

"Juan! Kok kamu gak protes sih?!"

Juan menghempaskan pergelangan tangannya. Keyran-- anak itu, seenak jidat menyeret dirinya sedari saat keluar dari ruangan pak Sutrosmo sampai kini mereka berada di lorong ruang kelas yang sepi-- pelajaran telah dimulai.

"Mau protes gimana? Kamu liat sendiri kan tadi gimana gak terbantahkannya raut muka pak Sutrosmo?" Mendelik kesal, Juan berusaha sabar. Moodnya terasa hancur di pagi hari ini. Bahkan sepertinya cuaca pun mendukung. Entah darimana datangnya angin kencang yang beberapa saat lalu terasa berembus, Juan tak tau. Yang ia tau, pagi cerah perlahan pudar ditelan awan hitam. Rambutnya berterbangan ke samping kala angin menyapu, tatap matanya tak teralihkan dari Keyran yang seakan keberatan dengan apa yang baru saja ia ucapkan.

"Ya, tapi...." Dialog Keyran terjeda, ia membungkam mulutnya. Sorot mata bulat remaja itu tampak nanar kala ia memilih untuk melanjutkan ucapan di sela satu tarikan napas. "Satu bulan di sana Juan. Bayangin, satu bulan loh...."

"Udah lah, kita jalanin aja."

Berlalu pergi meninggalkan Keyran, Juan tampak tak acuh menghentakkan sepatu hitamnya di atas lantai. Keyran menatap punggung Juan yang perlahan mengecil di pandangan, remaja itu memilih tuk mendongak menatap langit-- perasaannya bergemuruh, gelisah tak dapat dijelaskan.

Malapetaka 1980 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang