Mai dan Kara pulang dari galeri seni pukul 20.15. Jalanan di kota masih ramai, namun tak seramai sore tadi, ketika orang-orang pulang dari tempat kerja atau sekolah. Kara dan Mai tidak terlibat dalam pembicaraan apapun selama perjalanan. Terlebih karena keduanya tahu, bisingnya kendaraan di kota akan sedikit mengganggu.
Baru ketika motor matic Kara memasuki jalanan kecil menuju gang rumahnya dan kos Mai, Kara membuka obrolan.
"Kamu udah semester akhir ya, Mai?"
"Iya."
"Habis lulus mau stay di Semarang, atau...?"
"Kayanya pulang ke Bogor."
"Bogor?" Ketika bertanya lagi, tenggorokan Kara mulai terasa tercekat. Kata Bogor menjadi kata yang tidak diharapkan oleh Kara keluar dari mulut Mai. Itu membuat pikirannya cukup kacau.
"Iya."
"Bukannya kamu dari Bandung?"
"Kata siapa aku dari Bandung?"
"Doni."
Mai terkekeh. "Enggak. Ngaco itu, mah. Orang aku anak Bogor."
Begitu mendengar jawaban Mai, tidak ada kata yang terucap lagi dari mulut Kara. Semuanya seolah tertahan di tenggorokan. Lagi-lagi ia menemui perkataan yang memancing deduksinya. Kara semakin yakin bahwa perempuan yang saat ini sedang membonceng di motornya adalah perempuan yang sama dengan yang menarik atensinya di dunia maya.
Namun sialnya, hal itu membuat dadanya berdegup kencang. Kara tidak tahu harus senang atau apa. Ia hanya berharap saat ini cepat sampai di rumah. Beruntung, tidak sampai lima menit, keduanya sudah sampai di depan kos Mai. Mai turun dari motor dan memberikan helm yang ia kenakan pada Kara.
"Makasih, Mas. Aku masuk dulu ya."
Kara hanya mengangguk. Ia memaksakan diri untuk tersenyum sebagai salam perpisahan untuk hari ini. Seharusnya Kara juga mengucapkan terima kasih pada Mai karena sudah mau menemaninya ke galeri seni malam-malam. Namun lagi, kata-kata yang ada di benaknya seolah tertahan, tak mau keluar melalui mulut.
Kara hanya terdiam menyaksikan Mai yang berjalan cepat memasuki halaman kosnya. Setelah Mai lenyap dari indra penglihatannya pun, Kara tetap terpaku di atas motornya. Kara tak berkutik selama sekitar satu menit setelah Mai masuk kos, hingga akhirnya Kara menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk pulang dan memikirkan hal ini di rumah saja.
📖
Kara menatap langit-langit kamarnya dengan tubuh telentang di atas kasur. Tidak ada hal janggal di langit-langit kamarnya. Hanya saja pikirannya membuat dirinya tak bisa berkonsentrasi menjalankan aktivitas malam ini.
Ponsel yang tergeletak di meja diraih, setelah pemiliknya beranjak dari kasur. Kara menggigit bibir bawahnya ketika membuka media sosialnya. Jarinya dengan ragu membuka pesan dari seseorang yang selama ini bertukar cerita dengannya di dunia maya.
Omamamai: Kak Bas? Aku baru upload video review novel nih. For the first time, aku bikin konten reviewnya berupa video. Kak Bas mau mutualan sama aku di instagram juga nggak?
Bas dan Kara adalah satu orang yang sama. Baskara Satya Jatiadi, adalah nama lengkap Kara. Pemuda yang baru beberapa minggu pulang dari Jakarta setelah sempat menjual novel-novelnya di Twitter ini mengutuk dirinya sendiri. Ia tak mampu memperkenalkan dirinya pada Mai sekali lagi, dengan jujur.
Rasa gelisah membuncah ketika perempuan itu mengajaknya berteman di instagram. Kara tak siap jika nantinya harus menelan fakta bahwa Mai yang selama ini menjadi tempatnya berbagi atensi di media sosial adalah Mai yang sama dengan yang barusaja ia ajak jalan-jalan-meski sempat terlintas kecurigaan di awal perkenalan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
May I Read Your Heart?
Teen FictionSetelah berhasil membeli novel incarannya dari seseorang bernama Bas di twitter, Mai membawa novel-novel itu ke kota rantauannya-kota tempat ia berkuliah. Mai juga menjadi akrab dengan Bas sebab keduanya kerap bertukar informasi seputar buku. Ketika...