Hari ini adalah pengumuman nilai fisika. Beginilah hidup di sekolah bergengsi, setiap ulangan, nilai mereka akan ditempel di papan pengumuman. Entah itu jelek atau bagus, guru pengampu akan senang hati memperlihatkan nilai anak didiknya.
"Ya Allah please kali ini jangan zero. Malu banget kalau sampe dapet zero." Eva mendesis melihat kealayan temannya. Hanya fisika, apa yang harus ditakutkan.
Papan pengumuman sudah ramai. Mereka berbondong-bondong melihat nilai yang paling memalukan. Aima menunggu sepi, berbeda dengan Eva yang sudah mendapat celah untuk melihat nilainya.
"Mbak Ai, nanti foto terus kirim ke group ya!" pinta Andi setengah berteriak.
Melihat orang-orang mundur, Aima memberanikan diri untuk maju. Eva juga mundur dan tidak banyak komentar. Nama Aima tidak susah karena berada di urutan pertama. Poin pilihan ganda 18, essai mendapatkan 20 dan total poin 38. Em, ini tidak buruk?
Dengan cepat, Aima mengeluarkan ponsel untuk mengambil gambar nilai kelasnya atas permintaan Andi. Okay, dia merasa diperhatikan dengan orang sebelahnya. Saat ditoleh, dia menemukan Ahan yang meliriknya lagi.
"38. Beda 20 sama gue," ucapnya pamer.
Tunggu, juara matematika mendapat nilai 58 di ulangan fisika? Itu sangat memalukan.
"Lo ada masalah sama gue ya Han?" tanya Aima tanpa bertele-tele. Rasanya aneh saja laki-laki itu berbicara dengan nada biasa tapi terkesan mengejek.
Pertanyaan Aima barusan membuat Ahan menoleh kepadanya. "Oh enggak. Gue cuma asal bunyi aja."
"Gara-gara omongan lo kemarin, temen-temen jadi godain gue," keluh Aima jujur. Nada bicaranya menjelaskan bahwa dia kesal sekali dengan laki-laki bernama Ahan.
Ahan tidak mendengarkan. Laki-laki itu langsung pergi dari sana ketika namanya dipanggil oleh temannya. Melihat kepergian Ahan, dia jadi ingin memarahi laki-laki itu terus-terusan.
"Perhatian untuk anak kelas 12, silahkan ke auditorium sekarang juga karena ada pengarahan sebentar dari kepala sekolah." Suara pengumuman menggema di seluruh area sekolah.
Dengan malas dan perasaan dongkol, Aima masuk ke auditorium setelah menemukan Eva yang menunggunya sambil bermain ponsel. "Duh, lama banget sih neng. Ngapain aja?" tanyanya geleng-geleng kepala melihat raut wajah Aima yang lesu.
"Lo nggak lagi doain papan pengumuman tadi kan biar nilai lo berubah jadi seratus?" tebaknya salah sasaran sebelum duduk.
"Apasih, orang susah keluar tadi." Aima memilih berbohong.
Mereka duduk di kursi auditorium. Sembari menunggu absen bergilir, Aima mengobrol tentang nilai fisika tadi bersama teman-temannya. Eva mendapat 30. Dia tidak sedih, malah dia bersyukur karena itu adalah usaha maksimalnya. Sedangkan Lia, dia mendapat nilai 27. Pak Buw menoleransi nilai-nilai kecil karena jujur dan berusaha mengerjakan sendiri adalah kunci keberhasilan dalam kelasnya.
"Gue beneran nggak nyangka semua kelas kita nilainya paling tinggi 52," ucap Andi ikut mengobrol.
Eva mengernyit. "Emang ekspektasi lo sama kelas dapet berapa?" tanyanya. Andi tersenyum bangga. "Maybe 80? Gila malu-maluin banget anak IPA."
"Gue sangat berterima kasih kepada Nathan dan Raja yang menyelamatkan harga diri anak IPA dengan nilai 100-nya."
"Alay," sindir Aima pada Andi.
Fisika memang pelajaran paling tidak jelas. Walau memang sedikit menyentil harga diri anak IPA, Aima tidak merasa nilai fisika angkatannya seburuk itu. Anak IPS dan Bahasa harus memaklumi, tidak boleh mengujar kebencian dan ejekan tentang nilai mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Balik Kanan [End]
Teen FictionAnak SMA sering kali berpikir bahwa kehidupan romansa seperti yang ada pada novel atau drama kesukaannya akan tiba. Aima baru saja mendapatkan kisahnya di kelas 12. Dia terlalu serius dalam mengejar pendidikan, sampai lupa bahwa percintaannya juga h...