Chapter 12. Tolong, Jangan Marah lagi

105 19 4
                                    

Sendok dan garpu beradu denting. Ruang makan malam ini tampak hening. Keluarga itu kembali makan dengan anggota yang lengkap, suasana yang tenang, meskipun terjebak dalam perang dingin.

Namun, apakah ada yang tahu jika dibalik kesunyian itu salah satu dari mereka sedang dipusingkan dengan rencana besar yang akan dilakukannya sendiri. Yap! Solo.

Tebakan kalian benar! Siapa lagi kalau bukan si bungsu Alandra? Satu-satunya tokoh yang banyak membuat masalah.

Susunan rencana sudah matang. Dialog-dialog pun dirancang sedemikian rupa untuk menambah kesal 'memelas' agar keluarganya cepat memaafkannya. Tapi kemudian Alandra merasa jika ini tidak akan berjalan dengan mulus. Alandra pun menyiapkan rencana M3. Memohon, memelas, dan menyerah.

"Kamu jadi ikut Olim-nya, Bang?" tanya Sang kepala keluarga, membuka perbincangan di penghujung acara makan malam.

"Jadi, Minggu depan lombanya. Doain Abang ya, Yah."

"Olim mu kok perasaan ditunda terus, Bang?" heran Karin menyahuti putra sulungnya.

"Entah, terserah sekolahnya."

"Makan yang banyak biar mikirnya lancar," timpal Surya.

Kening Nalendra berkerut samar, "Emang ada pengaruhnya?"

"Ada dong. Perut kenyang, otak pun lancar." Surya terkekeh geli dengan humornya sendiri.

Nalendra jelas memaksakan tawanya. Sambil memakan ayam kecap yang tanpa dia ketahui hendak diambil oleh Adiknya tadi.

Jika biasanya Alandra akan langsung menyambar dengan mulut merconnya. Kali ini dia harus memendamnya, membiarkan ayam kesukaannya itu dilahap habis oleh Sang Abang.

Dalam lubuk Nalendra dirinya berusaha menahan tawa. Melihat ekspresi kesal yang ditahan-tahan oleh Adiknya itu membuat lambungnya digelitik. Nalendra tahu jika Adiknya menginginkan Ayamnya, tapi apa boleh buat? Ayam itu sedang diproses oleh gigi-giginya.

Soal kekesalan Nalendra terhadap kejadian beberapa kemarin lusa, Nalendra sudah tidak terlalu marah. Tapi dia tidak mau dengan mudah luluh di hadapan Adiknya. Karena menyelamatkan Sang Adik hari itu, Nalendra harus mendapat luka pukulan yang sampai hari ini belum sembuh.

Setelah acara makan usai, Alandra tak langsung berlari menuju kamar seperti biasanya. Dia membantu Sang Ibunda membersihkan meja makan lebih dulu kemudian lanjut mencuci piring. Sesekali Alandra juga  mengajak Bundanya mengobrol, meski tidak digubris dia tetap berceloteh ria seperti hari-hari biasa.

"Bunda, besok Adek sekolah, ya?"

"Ya."

"Diantar Ayah atau Abang? Eh, Adek mau bareng Abang aja deh."

"Bunda, panci sama teflonnya mau dicuci sekalian, gak?"

"Terserah."

Suara tapak sandal terdengar menjauh. Alandra yakini jika Sang Ibunda pergi beberapa saat yang lalu. Akhirnya dia bisa menghela napas dengan leluasa. Punggungnya dia sandarkan sejenak sembari menetralkan sakit di kepalanya yang berdenyut-denyut.

Tapi terkadang Alandra menarik kesimpulan buruk tentang gejala-gejalanya. Tadi sore dia sempat mencari-cari di internet dan hasilnya sangat diluar nalar. Banyak penyakit berbahaya yang mempunyai persentase besar dengan gejalanya. Alandra merinding ketakutan lalu refleks melempar ponselnya.

Diantara semuanya, kanker lebih mendominasi. Itu sebabnya Alandra ketakutan. Dia tidak akan percaya pada internet. Kata Abangnya, mencari penyakit di internet itu menyesatkan.

Lain halnya di lantai atas, Surya dan Nalendra terlihat sedang berbicara empat mata. Topik yang dibicarakan oleh keduanya tidak jauh dari kejadian tawuran yang melibatkan bungsu di keluarga mereka.

Faded HarmonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang