[14] GADIS CENGENG

Mulai dari awal
                                    

Aurel menatap Deka dengan mata berair, suaranya bergetar. "Cuma karena dia, kamu berani meninggikan nada suara kamu ke aku?" Dia terdengar terluka dan kecewa.

Kirana, merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut, memutuskan untuk menghindari konflik lebih lanjut. Ia perlahan memundurkan diri, menjauhkan diri dari kedua kekasih yang sedang dilanda konflik dan kekacauan emosi.

Deka kemudian berpaling kepada Kirana dan berkata dengan nada lembut, "Pergi saja, nanti gue akan kasih alamat rumah."

Kirana mengangguk pelan, lalu berbalik dan berjalan cepat, menghilang dari pandangan Deka dan Aurel yang masih terlibat dalam kesadaran pertengkaran.

Aurel langsung berlari untuk mengejar Kirana, tapi Deka cepat menghalangi. Dia menarik lengan Aurel dan menggendongnya seperti sekarung beras, mencegahnya mengejar Kirana lebih lanjut.

Aurel terus berteriak dan berontak, meminta Deka menurunkannya. "Turunkan aku, sayang! Aku tidak mau membiarkan cewek gatal itu lolos! Aku harus menghajarnya!" Suaranya penuh kemarahan dan dendam.

Deka tetap tidak bergeming, mengabaikan teriakan Aurel. Gadis itu semakin marah, mengigit bahu Deka dengan keras, berusaha melepaskan diri dari gendongan.

Deka dengan tenang terus menggendong Aurel ke arah parkiran, seolah tidak terganggu oleh teriakan dan gigitan gadis itu. Orang-orang di sekitar tidak bisa tidak memandang dengan rasa bingung dan iri, melihat kekuatan dan kesabaran Deka menghadapi Aurel yang sedang emosi.

Deka membuka pintu mobil sport hitamnya yang mewah, menggendong Aurel masuk ke dalamnya. Mobil itu tampaknya menjadi alternatif setelah ayahnya menyita motor Black-nya selama tiga hari. Deka memasukkan Aurel ke kursi penumpang sebelum duduk di balik kemudi.

Deka, yang sudah tidak sabar, keluar dari mobil dan masuk ke tempat duduk penumpang. Dengan gerakan cepat dan penuh gairah, dia mencium Aurel dengan agresif, berusaha menenangkan emosi gadis itu. Aurel terkejut, namun perlahan-lahan mulai merespons ciuman Deka.

Pipi Aurel memerah, mata mereka terkunci dalam diam, seolah waktu terhenti. Deka melepaskan ciuman, kembali ke kursi pengemudi dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, meninggalkan kebisingan dan kekacauan emosi di belakang.

Aurel tersenyum sendiri, menyentuh bibirnya yang masih terasa hangat dari ciuman Deka. Gadis itu menyadari bahwa ciuman Deka adalah cara untuk menenangkannya saat emosi. Tanpa disadari, Aurel merasa bahagia karena Deka selalu menciumnya saat dia marah. Aurel lupa tentang Kirana untuk sementara waktu.

Rumah mewah Aurel mulai terlihat di kejauhan, sebuah bangunan megah dengan arsitektur indah dan taman yang rapi. Deka menepikan mobil sportnya di depan gerbang. Beberapa pengawal berbadan besar dan berwajah serius berjaga di sana, mengawasi setiap gerakan. Namun, yang menarik adalah ketiadaan Ayah Aurel dan Wahyu, pemilik rumah tersebut.

Deka keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Aurel dengan sopan. Aurel masih tersenyum senang, keluar dari mobil dengan langkah ringan. Matanya bersinar bahagia, masih terpengaruh oleh ciuman Deka sebelumnya. Dia melihat Deka dengan penuh rasa syukur dan keintiman.

Sebelum berpisah, Deka memperingatkan Aurel dengan nada serius, "Masuk."

Aurel menggelengkan kepala, senyumnya menghilang. Dia merasa sedikit kesal karena Deka langsung meninggalkannya begitu saja. Gadis itu merasa cengeng dan ingin perhatian lebih dari Deka. Aurel memandang Deka dengan mata besar, berharap dia tidak pergi begitu cepat.

Deka memutarkan bola matanya, menunjukkan kesabaran yang mulai menipis. "Aurel, gue ada urusan," katanya pelan. Dia menarik napas panjang, berusaha memahami mengapa dia selalu menuruti keinginan gadis itu.

Aurel menatap Deka dengan mata berair, suaranya bergetar. "Urusan kamu mau jemput cewek gatal itu, kan?!" Dia menangis lagi, sakitnya terasa menghujani hatinya, membayangkan Deka bersama Kirana.

Deka mencoba menenangkan Aurel, "Bukan keinginan gue, Adek gue yang maksa. Gue gak punya pilihan, gue harus menjemputnya." Dia berusaha menjelaskan dengan lembut, tapi Aurel terus menangis, tidak percaya.

Aurel terus menangis, suaranya meninggi. "Kenapa adikmu selalu saja menganggu?! Kenapa dia tidak suka padaku?! Aku juga ingin akrab dengannya! Tapi dia tidak menyukaiku! Dia lebih menyukai cewek gatal itu!" Dia merasa cemburu dan sakit hati, merasa tidak dimengerti.

Deka merasa tidak tega melihat Aurel menangis. Dia mendekati dan memeluknya, "Dia hanya belum mengerti." Deka mencoba menenangkan Aurel dengan lembut.

Aurel tersenyum hangat, matanya masih basah oleh air mata. Dia merasa nyaman dalam pelukan Deka, merasa dicintai dan dipahami. "Aku cinta kamu, Deka," batinnya.

Deka melepaskan pelukannya, dia sangat malas seperti ini, cuma cara ini yang bisa membuat Aurel mengijinkannya untuk pergi.

Deka mencium kening Aurel lembut. "Gue mau pulang, Aurel." Dia berharap Aurel mengerti dan tidak marah lagi.

Aurel tersenyum bahagia, matanya bersinar. Dia tidak menyangka Deka akan mencium keningnya, sebuah gestur kecil yang membuat hatinya berbunga-bunga.

Aurel mencibir, masih tersenyum. "Tapi janji ya, sayang! Jangan menjemputnya, berikan saja alamat dan suruh cari sendiri. Aku tidak ingin kamu dekat dengan cewek lain!"

Deka mengangguk, kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan pekarangan rumah Aurel. Sementara itu, Aurel yang sudah tidak sabar menunggu Deka pergi, berlari cepat masuk ke dalam rumahnya dengan senyum bahagia masih terukir di wajahnya.

Dalam perjalanan, Deka mengumpatkan dirinya sendiri. "Apa tadi itu? Kenapa gue harus berpura-pura cinta? Gue terjebak dalam permainan ini," katanya pada dirinya sendiri, merasa lelah dengan dramatisasi yang terus berlanjut.

Deka merenung, menyadari kesalahannya. "Gue gak bisa terus berpura-pura. Gue bisa menyakiti Aurel lebih dalam. Gue harus berhenti sebelum terlambat," katanya pada dirinya sendiri, merasa bersalah dan khawatir akan konsekuensinya.

Deka langsung mengingat Kirana dan berhenti sejenak di tepi jalan. Dia mematikan mesin mobil dan duduk terdiam, memikirkan situasi yang semakin rumit ini.

Deka membuka ponselnya dan melihat deretan pesan masuk dari adiknya di WhatsApp. Lebih dari 100 pesan!

Deka membaca isi chat adiknya dengan nada terkejut. "Lo gak usah ngelapor! Gue sudah berangkat menjemput Kirana. Jangan buat aku kesulitan!" Deka cepat mengetik balasan, berharap menghindari konflik.

Eka langsung membalas dengan emoji jempol dan menulis, "Makasih, Bang! Jangan lupa, Papi ngomongin soal balapan liar itu serius!"

Deka segera melajukan mobilnya, mempercepat laju kendaraannya. Dia sudah mengetahui lokasi rumah Kirana berkat bantuan Eka yang mengirimkan alamatnya.

Deka keluar dari mobil sportnya dan memandang rumah berwarna ungu sederhana di depannya. Dia mengambil napas dalam-dalam, menenangkan diri sebelum mengetuk pintu. Sesaat kemudian, pintu terbuka, dan Kirana muncul.

"Udah siap?" Deka langsung to the point.

Kirana mengangguk dan tersenyum. "Udah, aku sudah siap. Tunggu aku ambil tas dulu, Kak." Dia berlari masuk dan segera kembali dengan tas di bahu. "Siap!"

Suasana di dalam mobil terasa tegang dan sunyi. Kirana melirik Deka beberapa kali, merasa bersalah atas kejadian sebelumnya. Dia ingin memecahkan kesunyian itu, namun tidak tahu harus memulai dari mana.

Kirana memandang Deka dengan rasa penasaran yang semakin besar. Ekspresi dingin dan misteriusnya membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang pemuda ini. Dia bertanya-tanya apa yang sebenarnya tersembunyi di balik kesan dingin dan keras Deka.

●●●

BERSAMBUNG...

DEWARA THE SERIES (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang