TOM 16 [Ketukan] ☑️

1.8K 96 0
                                    

"Dek,-----"

Mas Hari terkejut melihat ada aku disini, begitupun denganku.
Aku menatap tajam mata mas Hari yang tak mau menatapku sama sekali.
Tak biasanya diaq memakai baju serba hitam, mulai dari celana, baju dan topi yang terlihat sangat aneh.
Ada sarung yang melingkar di lehernya, samar samar Mas Hari sedang membawa sesuatu, kantong keresek berwarna hitam di tangannya.

"Darimana kamu malam-malam begini, Mas?" Tanyaku datar.

"Da__dari pos ron--da."

"Malam ini kan jadwal Bapak meronda, jadi Mas yang menggantikan bapak," Jawab mas Hari terbata-bata.

"Bukannya jadwal ronda Bapak itu besok?!" Tanyaku tak percaya.

"Karena besok Mas nggak ada di rumah, akhirnya di majukan jadwalnya." Jawab Mas Hari, tidak mau menatapku.

"Besok mau kemana?"

"Rumah Nyi Sarimah.
Ya sudah, Mas capek, ngantuk juga, mau tidur!"

Setelah itu mas Hari berjalan ke kamarnya, sementara aku melanjutkan niatku pergi ke kamar mandi.
Setelah itu aku kembali ke kamar, tidur di samping Ifa dan Radit, sementara mas Hari ada di bawah, di lantai beralaskan tikar.

•••

["Halo, Ya, Din?"]

["Ya, aku segera kesana!]

Itulah jawaban mas Hari ketika menerima panggilan dari adiknya, Dini.
Setelah mandi, secepat kilat mas Hari langsung bersiap-siap.
Aku tak berani bertanya apapun, karena masih fokus menyiapkan sarapan untuk dirinya dan anak-anak.

"Setidaknya sarapan dulu," Sindirku.

Mas Hari mengangguk, kemudian duduk di kursi dan mengambil nasi beserta lauk pauknya.
Dia mengunyah makanan dengan cepat dan mengakhirinya dengan minum beberapa teguk.

"Mas, berangkat!" Pamit mas Hari, mengambil jaket yang sudah ada di belakang kursi dan melangkah pergi.

Aku diam mematung tanpa menoleh ke arah suamiku.

"Dek, Mas berangkat!" Ulangnya lagi.

"D e k!"

"Pergilah," Jawabku menolak uluran tangan mas Hari dan pergi masuk ke dalam kamar dengan airmata berderai.

Sungguh, saat ini aku benar-benar ada di titik ingin sekali meluapkan rasa di hati, aku ingin menangis sejadi-jadinya.
Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap dingin suamiku.
Airmataku mengalir membanjiri kedua pipi.

"Dek, kamu kenapa?" Tanya Mas Hari berusaha mengejar dan menarik tanganku.

Aku semakin terisak, tak mampu menjawabnya.

"Sayang, kamu kenapa nangis?" Mas Hari langsung memelukku dengan erat.

"Kamu sering sekali marah-marah, sering salah paham, kamu udah nggak sayang lagi sama aku, Mas!
Sikap kamu dingin sama aku, bahkan sama calon anak yang ada di perutku.
Kamu abaikan kami, jangankan di perhatikan, sekarang kamu nggak peduli lagi sama kami.
Aku mencoba ngerti, tapi sikap kamu semakin hari membuat aku sakit hati." Isakku sembari meluapkan semua isi di dalam hati.

Mas Hari mengeratkan pelukannya, dia mengusap rambutku dan mencium keningku berulang-ulang.

"Maafkan Mas ya, sayang.
Mas ngaku salah, maaf mas egois, selalu membuat kamu bersedih, padahal kamu sedang hamil anak kita." Ucapnya penuh sesal.

"Jangan bilang Mas sudah tak sayang lagi sama kamu, Dek. Itu tidak benar, Mas sayang banget sama kamu dan juga anak kita,"

"Ini karena keadaan Dek, rasa cinta dan sayang Mas tetap utuh."

.

"Asal kamu tau Dek, justru saat ini Mas sedang berusaha menjaga kalian berdua. Melindungi anak kita dari bahaya, sayang.
Mas akan memberikan apapun, yang terbaik untuk keluarga kecil kita.
Maafkan mas ya, kalau terkesan mengabaikan dan tak peduli, Dek."

"Mas janji setelah Ibu sembuh dan pulang ke rumah nanti, kita akan langsung pulang ke kota, Mas akan perbaiki semuanya dan, ---------"

"Dan Mas akan menjadi apa yang kamu mau, maafkan mas yang sekarang." Sambung mas Hari.

"Maaf ya, Nak. Ayah tinggal lagi, ayah itu sayang banget sama kamu dan Ibumu,"
Kata Mas Hari sambil mencium perutku yang sudah membuncit.

"Dek, kamu izinin Mas pergi kan?"

Aku menatap Mas Hari, kemudian mengangguk.

"Jangan berpikir macam-macam lagi ya, sayang. Mas berangkat dulu, jaga dirimu baik-baik di rumah, jaga calon anak kita.
Mas nitip Ifa sama Radit ya."

"Mas pamit, Dek."

Aku mencium punggung tangan suamiku.
Setidaknya hatiku sudah lega, sudah mencurahkan isi di hatiku pada suamiku.
Aku berharap Ibu mertuaku bisa cepat sembuh dan pulang ke rumah, sehingga kami bisa pulang ke kota.



•••

Seusai shalat isya, seperti biasa ku ajak Ifa dan Radit mengaji. Mereka sangat pandai menghafal, sehingga dengan cepat bisa menguasai bacaan yang di ajarkan.

Ku ajak Ifa dan Radit untuk tidur, karena hari sudah semakin malam.
Setelah mereka terlelap, aku ikut merebahkan badan di samping mereka hingga kemudian mataku terpejam.

"Mbak, to----long!"

Suara seseorang tersendat-sendat.

"Tolong, a-----ku." Ucap suara yang sama lagi.

Aku menoleh ke arah suara itu berasal, aku seperti mengenal suara itu, tapi aku masih belum yakin.
Ditambah lagi, tidak ada siapapun disini.

GUBRRAKKK!

Aku langsung bangun karena baru saja bermimpi aneh.
Setelahnya ku mendengar ada suara sesuatu keras yang terjatuh dari atap rumah.
Aku mengucek kedua mata yang masih terass lengket dan melihat ke arah jarum jam dinding. Ternyata aku tidur hanya beberapa menit saja!

Suara apa ya di luar?

Tiba-tiba aku mrngingat mimpiku.
Di tempat yang luas, aku mendengar suara seseorang tanpa wujud meminta tolong padakku.

Suara siapa? Dan minta tolong apa?

"Mimpi itu kan bunga tidur, pasti cuma untuk bangunin aku biar shalat malam," Pikirku.

Aku langsung beranjak, mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat tahajjud.

Baru saja selesai berwudhu dan hendak mengambil mukena, aku di kejutkan lagi dengan suara ketukan dari arah luar pintu kamar.

TOKKK TOKKK

Aku berusaha setenang mungkin tetap melanjutkan niat shalat, tetapi suara ketukan itu terus saja terdengar. Sudah jelas, suara itu sangat menggangguku.

BERSAMBUNG

TAKUT ORANG MATI? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang