bab 8

70 64 3
                                    

⋆。°✩ 𝐻𝒶𝓅𝓅𝓎 𝑅𝑒𝒶𝒹𝒾𝓃𝑔 ✩°。⋆

Alice pulang sekitar jam 22.30 dengan mata sembab, wajahnya tampak sangat lelah, bukan hanya karena fisik, tetapi juga karena batinnya yang remuk. Gadis itu langsung tidur, mencoba untuk melupakan kenyataan yang begitu pahit.

Kringggg Kringggg

Alarm jam berbunyi, menandakan matahari sudah mulai terbit. Alice terbangun dengan mata yang berat. Ia bangun dan segera mandi, mencoba membersihkan dirinya, meskipun hatinya tak bisa begitu saja bersih. Setelah selesai, ia turun ke bawah untuk sarapan. Namun, saat sampai di meja makan, Alice melihat tiga orang yang membuat hatinya semakin sesak. Mereka ada di sana, seperti biasa, dengan kehadiran mereka yang penuh ketegangan.

Alice hendak kembali ke kamarnya, tetapi suara ibu tirinya, Luna, memanggilnya.

"Nak, sini sarapan dulu," ajak Luna dengan nada lembut, mencoba menunjukkan sikap yang seolah-olah peduli.

"Gak! Makasih," jawab Alice dengan tegas, merasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi.

Papahnya, Bara, yang duduk di meja makan dengan ekspresi dingin, ikut menyela. "Alice, hargai ibumu yang sudah masak," katanya datar, seolah mengingatkan bahwa ia harus menurut.

Alice menahan rasa kesal di dalam hati. "CK!" pikirnya, merasa terpaksa mengikuti perintah papahnya. Ia tahu jika tidak, papahnya pasti akan marah besar.

Setelah makan, Alice berencana langsung pergi, tapi papahnya tiba-tiba berkata dengan suara yang tidak bisa ditawar.

"Alice, kamu berangkat sekolah bareng Clara," ucap Bara tanpa ekspresi.

"Loh, kok? Dia kan gak satu sekolahan sama Alice, pah!" Alice merenggek, merasa malas dan jengah.

"Gak, Clara sekarang satu sekolahan sama kamu," jawab Bara dengan tenang, tanpa mempedulikan keluhan Alice.

"Ish! Ngapain sih harus sama aku? Kenapa gak sama papah aja?" tanya Alice dengan nada kesal.

"Papah ada meeting penting hari ini," jawab Bara datar.

"Udah sana, berangkat sama Clara," sambungnya lagi, memberi perintah yang tidak bisa ditolak.

Tiba-tiba Clara muncul dengan senyum lebar di wajahnya. "Ayok kak, aku udah siap," katanya, mencoba terlihat polos.

Alice menatap Clara dengan jijik. 'Pura-pura polos untuk dapat perhatian papah, padahal aslinya munafik,' pikir Alice dalam hati.

"Ayok!" Alice akhirnya menyerah, meski hatinya sangat kesal.

"Iya, bentar kak, kakak jalan nya jangan cepet-cepet," kata Clara, pura-pura cemas.

"Lebay lo, kalo jadi cewek jangan lemah!" balas Alice dengan kesal, sudah tidak tahan dengan tingkah Clara.

Clara pura-pura terkejut melihat motor Alice. "Loh, kok pake motor?" tanyanya dengan nada kaget.

"Emang lo mau pake apa?" tanya Alice balik.

"Pake mobil, kalo pake motor panas kak," jawab Clara dengan suara memelas, dan kebetulan papahnya baru saja keluar dari rumah.

"Alice, kamu pake mobil dulu, kasian Clara kepanasan," perintah Bara dengan nada tegas.

"Masih pagi, helow! Mana ada panas, yang ada itu enak," Alice memutar matanya, sudah jengah dengan tingkah Clara.

"Alice, nurut! Kalau gak, papah sita semua fasilitas kamu!" ancam Bara.

"Iya-iya," Alice menjawab pasrah, meski hatinya sudah penuh amarah.

---

Sesampainya di sekolah, banyak teman-temannya yang memandang mereka berdua, terutama Alice yang terkenal dengan sikapnya yang agak keras. Dua gadis, Nayla dan Quin, segera menghampiri Alice.

"Wih! Tumben-tumbenan sekolah pake mobil?" tanya Nayla dengan heran.

"Gak! Gw males, cuman dipaksa aja," jawab Alice dengan malas.

"Hah? Maksud lo apa?" tanya Nayla bingung.

"Eh bentar, bentar, cewek itu siapa?" tanya Nayla lagi, matanya tertuju pada Clara.

"Gila! Ketat kali cuy, gede lagi," sambung Nayla dengan nada terkejut.

"Rill cuy, gede," tambah Quin, yang ada di samping Nayla.

"Gede apaan sih?" Alice bingung, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

"Ish, lo mah gak konek," jawab Quin sambil tertawa.

"Itunya, anjirrr," ucap Quin dengan nada mengejek.

Clara yang mendengar itu langsung menunduk, seolah akan menangis. "Ih, kakak mereka jahatttt," ujarnya dengan wajah yang memelas, mencoba mendapatkan simpati.

"Is anjirrr, jijik kali, udah kelihatan fikme-nya," ucap Nayla dengan lantang, menanggapi sikap Clara yang tampak memancing perhatian.

"Eh bentar, bentar, tadi di bilang apa kek, lo kakak?" tanya Quin bingung.

"Iya, dia adik tiri gw," jawab Alice dengan acuh tak acuh, tak peduli dengan gosip yang sedang beredar.

"Gila, om Bara nikah lagi! Baru juga ibu lo meninggal," kata Nayla dengan tak percaya.

"Iya bener! Gila, bukannya inget umur malah cari bini," sambung Nayla, menunjukkan betapa kagetnya mereka dengan situasi ini.

"Udah, ayok ke kelas," ucap Alice dengan nada tak peduli, berusaha mengakhiri percakapan yang semakin membuatnya merasa tidak nyaman.

"Loh, kak aku gimana?" tanya Clara, bingung, seolah merasa terlantar.

"Lo cari aja kelas lo sendiri!! Punya mulut kan?" jawab Alice dengan ketus.

"Ayo, daripada ladenin cewek pikme ini, mending kita ke kelas," ajak Nayla, dan mereka bertiga pergi meninggalkan Clara yang terdiam dengan wajah marah.

Clara yang merasa diperlakukan dengan tidak adil, sangat marah. "Awas aja kou!" ancamnya dengan suara terbakar.

---


ALICE: "Where is my true home?" (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang