Valdos's POV
"Beritahu aku bila kau sudah bersedia," katanya pelan. "Aku ingin melamarmu di hari kau telah siap untuk itu. Aku ingin menikahimu, Miss Harlow. Aku mencintaimu."
"Tolong jangan berharap apa pun padaku. Meskipun aku sangat ingin, aku tak bisa menikah denganmu, atau dengan siapa pun itu dalam waktu dekat ini. Terlalu banyak rencanaku bagi masa depan, terlalu banyak mimpi-mimpi yang ingin kucapai, dan aku terlalu ingin membanggakan kedua orang tuaku yang selama ini sudah selalu membanggakanku."
"Aku tak memaksa dalam waktu dekat ini, Sayang. Aku tahu, aku mengerti tujuan hidupmu. Kau putri satu-satunya, dan satu-satunya harapan orang tuamu, aku tahu itu. Aku akan menunggu jika kau mau, aku akan menunggumu sampai kau siap."
"Valdos... maafkan aku. Kau tak perlu menungguku. Kasihanilah dirimu, usia telah memburumu, umur telah menuntutmu untuk berkeluarga. Sudah bukan waktunya lagi kau harus menunggu, melainkan harus mencari yang sungguh-sungguh. Dan orang itu bukan aku. Kita hanya dipertemukan untuk saling mengenal, menciptakan sedikit kenangan, lalu sudah. Hanya seperti itu fasenya."
Semua perkataan Lily tak bisa kulupakan. Sampai pukul dua malam aku terjaga, memikirkan sekaligus mengingat perkataannya yang seolah memukul dadaku.
Aku menginginkannya sedari dia berumur 18 tahun. Aku tertarik untuk mengenalnya sejak Dozan membawanya ke pesta pada dua tahun lalu. Kuingat mataku terus mengekorinya, mengikutinya yang saat itu tampak kesal, jengkel kepada Dozan yang belum ingin pulang sementara mata Lily sudah terlihat berat. Lily kecil mengantuk, bahkan bergelanyut manja di lengan Dozan, merengek meminta pulang.
Kala itu kuteguk minumanku di gelas dengan pelan tanpa kupalingkan mataku darinya. Lily belum mengenalku, dia belum tahu tentangku, juga tak pernah melihatku sebelumnya. Tapi aku, aku selalu melihat, pun mengamatinya dari jauh tiap kali Dozan membawanya ke pesta.
Dia baru 18 tahun, sementara saat itu aku telah berusia 35 tahun. Bersabar, aku pun mulai berani membuang suara pada Dozan bila aku tertarik mengenal putrinya lebih dalam ketika Lily memasuki usia 20 tahun, tepatnya beberapa bulan lalu. Itulah sebabnya kutawarkan Dozan untuk pindah ke perumahanku, bahkan kujatuhkan harga sampai 80%—dan Dozan hanya perlu membayar 30%—khusus untuknya agar dia mau pindah, dan agar aku dapat mengenal Lily, dapat melihatnya setiap hari.
Namun semua perkataan Lily semalam, itu benar-benar membuatku putus asa. Itu menamparku ke kenyataan bila aku tak cocok dengannya. Dia tak mau denganku, secara sadar dia menolakku. Dan memang, sebenarnya berkali-kali sudah aku tertolak olehnya.
Setengah tiga aku tidur, pukul enam aku bangun. Saat membuka mata, aku langsung mengingatnya, mengingat kembali perkataannya. Sebegitu tertamparnya diriku.
"Waktunya istirahat." Aku menepuk bahu supervisorku, memerintahnya untuk menjeda pekerjaan karena sudah tiba waktunya makan siang.
Aku sedang berada di lokasi pembangunan. Tender besar ini yang baru kemenangankan dan sekarang kami sedang mempersiapkan segala dasarnya. Uang dari tender ini juga yang kupakai untuk membelikan Lily kalung berlian itu, meski berakhir dia tolak dan mungkin enggan dia kenakan.
Sebagai seorang pria, aku menyadari kelemahanku. Jika sedang mencintai, aku mudah berpikir berlebihan mengenai wanita yang kucintai. Di mana pun, bahkan kapan pun ada cela untuk memikirkan mereka, aku akan terus memikirkan mereka. Tapi sebelumnya aku tak pernah sampai seberlebihan ini.
Lily membuatku terlalu banyak berpikir, dan aku cukup merasa bodoh. Bagaimana aku tidak terus memikirkannya? Di sini aku merasa bila hanya aku yang benar-benar mencintai, hanya aku yang benar-benar menginginkan, dan hanya aku yang benar-benar berharap.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLD MAN : HIS PROPERTY
RomanceFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! Mature (18 ) ‼️ **** Tapi bukankah memang harus begitu? Wanita memang harus dikejar dan diperjuangkan, bukan tugas mereka untuk mengemis cinta di bawah kaki pria. Hanya perempuan tolol yang rel...