Hi, kalian libur tahun baru nggak? Yang liburannya di rumah aja, aku temenin ya.
Happy reading
✨✨
Seharusnya kisahku tidak boleh hanya berisi tentang kesedihan dan kelemahan. Seharusnya aku membangun diri menjadi sosok yang dulu selalu ku impikan.
Tidak menggantungkan kehidupan pada siapa pun, bekerja keras untuk Mama hingga ia tak perlu lagi bekerja keras untuk membiayai ku. Seharusnya aku bisa hidup normal dan menggantikan peran Mama agar ia istirahat.Keadaan perekonomian yang sulit dari aku kecil, terlebih saat Papa meninggal dan aku hanya hidup berdua dengan mama nyatanya sedikit banyak membentuk caraku bergaul. Aku yang kurang percaya diri untuk bergaul saat tumbuh dewasa, membuat orang lain kerap menindasku. Terkadang, aku berpikir jika aku memiliki banyak uang, orang lain mau berteman denganku.
Aku giat belajar, sepanjang waktu aku habiskan untuk membaca dan menjawab soal agar aku memiliki kehidupan yang baik, agar aku bisa mendapat beasiswa untuk masuk ke sekolahan unggulan dan lulus dengan nilai bagus hingga bisa mencari pekerjaan dengan mudah.
Aku terlalu berambisi pada suatu hal sampai tak sadar jika aku sendirian dan ada banyak hal yang akan merusak semua rencanaku. Termasuk ketika Mama memilih menikah dan membawa iblis itu ke rumah, termasuk ketika aku tak bisa mengadu pada siapa pun saat menjadi korban pelecehan di sekolah. Aku yang ambisius sangat berbanding terbaik dengan ketidakmampuanku berbicara tentang ketidakadilan yang kualami.
Kejadian-kejadian itu yang seketika meruntuhkan semua mimpi dan kerja keras yang sudah lama ku upayakan. Kini yang ada hanya aku yang tumbuh dengan rasa trauma besar dan menghambat segala hal, terutama hubunganku dengan Jun.
Namun sebanyak apa pengandaian yang kurangkai, tentu itu tak akan menyelamatkanku lagi atau membalikan keadaan. Yang bisa ku lakukan hanya menjalani sisa hidup sampai Tuhan mau aku kembali.
Jangan bertanya berapa kali aku berusaha menyakiti diriku sendiri setelah kejadian itu, aku berulang kali mencobanya dan baru berhenti saat Mama menangis sembari bersimpuh saat aku mencoba menyayat nadiku.Rasanya, tak adil menerima diri yang seberantakan ini tetapi orang yang membuatku begini masih hidup. Meski kini iblis itu sudah mendekam di balik jeruji besi, namun rasanya belum seimbang dengan masa depanku yang berantakan.
"Makan dulu, Tha," suara itu menyeretku dalam kesadaran. Jun datang dengan tiga piring kosong kemudian duduk di karpet untuk memindahkan makanan yang tadi ia beli.
"Aku belum lapar," jawabku seraya ikut beringsut bangun dan duduk di hadapan Jun.
"Makan, habis ini minum obat. Atau kamu mau nggak jalan-jalan?"
"Ke mana?"
Jun nampak berpikir, ia kemudian menoleh ke arah jam dinding, hingga membuatku ikut menoleh.
"Lusa weekend kan? Jalan ke pantai seru kayaknya.""Ih," aku melayangkan protes. "Udah malem, pantai mana yang bagus semalem ini? Lagian aku masih pusing."
"Kita itu udah lama nggak jalan-jalan tahu, Tha. Kamu sering lembur belakangan ini kata Mama, aku juga kayaknya terlalu banyak di kedai," ucap Jun. "Ke Jogja aja mau nggak? Ambil cuti sehari besok, kita naik pesawat yang pagi. Minggu paginya kita balik lagi ke Jakarta."
"Kenapa harus Jogja?" tanyaku pada Jun. Entah apa yang lucu dia justru kini tertawa.
"Aku ada janji sama Bara sih sebenarnya. Kedainya rame, tapi ada beberapa menu yang belum ada di sana, aku mau coba ubah kedainya sedikit beda dari cabang lain."
Mendengar jawaban Jun bikin aku seketika menggelengkan kepala heran, "itu bukan liburan namanya, tapi nemenin kamu kerja."
Tawa Jun kian keras, hingga menimbulkan lesung pipinya yang kecil itu, "Sekalian, Tha. Biar kita tetap produktif di tengah pengeluaran liburan."
Aku ikut tertawa geli, Jun tidak kalah ambisius dari pada aku sebenarnya. Bedanya ia menjalani sesuatu yang ia suka dengan perasaan tulus, hingga entah bagaimana kondisinya, ia akan terus menampakan senyum yang bahagia.
"Boleh, nanti aku kirim email ke HRD."
Jun sontak berseru, ia mengusap kepalaku sebelum akhirnya kami menikmati makan malam dalam keheningan.
✨✨
Sejujurnya rasa takutku pada laki-laki bukan karena didasari keyakinan ku bahwa dunia ini tak memiliki lelaki baik. Setidaknya meski beberapa lelaki yang kukenal yang menumbuhkan rasa traumaku, tapi Jun dan Papa kandungku tidak begitu. Seandainya Papa masih hidup dan aku tidak pernah mengalami masa kesialan itu, mungkin aku menjadi seseorang yang merasa paling beruntung dicintai sebegitu besarnya.
Jun selalu mampu memperlakukanku dengan baik dan dengan rasa hormat.
Barang kali itu juga yang membuatku nyaman berada di sisi Jun, meski beberapa kali reaksi tubuhku juga tak pernah benar-benar bisa menerimanya.Hubungan kami benar-benar seperti teman, bertahun-tahun pacaran kami tak pernah intim bersentuhan meski hanya berdua begini. Ia duduk di bawah bersandar dengan sofa sementara aku di atas, lalu kita akan membicarakan banyak hal, tentang film, bisnis dia dan banyak hal lagi. Terkadang aku berpikir apa Jun tak pernah benar-benar ingin menyentuhku, atau gimana caranya menekan keinginannya itu?
"Jun, nanti kamu tidur di mana? Mau pulang atau..."
"Di sofa aja sini," jawabnya tanpa melihatku. Fokusnya masih menghadap layar Tv sembari memeluk bantal.
"Sofanya ini bisa dibawa ke kamar nggak?"
Mendengar pertanyaanku, ia lantas menoleh untuk melihatku dengan kedua alis saling bertaut, "Buat apa?"
"Biar kamu bisa tidur di kamar juga. Aku takut kamu pulang, tapi nggak tega kalau kamu tidur di sofa ini sendiri."
Jun tersenyum, ia lantas kembali fokus pada TV yang menayangkan pertandingan bola. "Aku nggak apa-apa, nanti aku temenin kamu sampai merem di dalam. Baru aku tidur di sini."
"Di sana aja nggak bisa ya?" Entah kenapa kekeuh ingin dia di kamar juga. Padahal aku tak yakin bisa tidur dengan tenang di sana.
"Nanti kamu makin sakit, Tha. Aku nggak akan pulang, kok. Janji!"
"Aku ngerasa lebih tenang setelah minum obat tadi kok, udah nggak sedeg-dengan tadi siang," ucapku mencoba meyakinkan Jun. "Digeser aja Sofanya, yang penting aku bisa lihat kamu."
Kali ini Jun terdengar menghela napas, ia lantas membalikan badannya lagi, "Kenapa jadi clingy?"
Aku tak bisa jawab, maksudku entah apa jawaban yang benar untuk pertanyaan Jun barusan. Yang jelas aku mau memastikan ia tidak ke mana-mana.
"Lagi meladeni ego," jawabku lirih sembari meremas tanganku sendiri. "Boleh nggak?"
Tawa Jun tak keras, sudut bibirnya hanya terangkat sedikit, "Kamu itu susah banget ditebaknya, Tha. Kadang kamu mau aku jauhin kamu, tapi kadang kamu nggak mau aku ke mana-mana."
"Kamu bingung mau gimana ngadepin aku ya?"
Ia seketika menggeleng, "Dari awal aku cuma mau kamu. Kamunya aja yang bingung harus gimana caranya mengingkari perasaan mu sendiri."
Besok update ga?
Maaf ya kalau ada typo
Love
Rum.
KAMU SEDANG MEMBACA
R A I N I N G
ChickLitProject one shot spesial birthday Junhoe Untuk Mas Jun.. Dari awal langkah kita sudah salah, kita sama-sama tahu jika ujung dari ini adalah perpisahan. Tidak ada harapan sama sekali, tapi bukan berarti aku tidak mau. Aku hanya tidak ingin membuatmu...