25. Negosiasi

Mulai dari awal
                                    

Shana akhirnya sampai di meja kerja Ndaru. Tidak begitu banyak barang di atas mejanya. Hanya ada komputer, laptop, peralatan tulis, dan berkas-berkas yang menumpuk di sisinya. Namun ada satu hal yang menarik perhatian Shana. Yaitu satu foto berukuran kecil yang terpajang di sisi lain meja.

Tanpa sadar senyum Shana mengembang. Di dalam figura itu, terdapat dua potret manusia yang berbeda generasi. Handaru Atmadjiwo tampak tengah menggendong seorang bayi. Shana yakin jika bayi itu adalah Arjuna, si anak menggemaskan yang sudah berumur dua tahun saat ini.

Shana memilih untuk duduk di kursi kebesaran Ndaru. Tangannya meraih figura itu dan menatapnya dalam. Perlahan kerutan tipis muncul di dahinya. Shana mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencoba mencari sesuatu yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

Di mana foto sang ibu?

Shana baru sadar jika tidak ada foto Farah Marissa, almarhum istri Ndaru di sini.

Aneh.

Pintu yang terbuka secara tiba-tiba mengejutkan Shana. Dia berdecak begitu Ndaru masuk dengan santainya, mengabaikan rasa terkejutnya.

"Kenapa nggak ketuk pintu dulu, sih?" gerutu Shana.

Ndaru mendekat dengan alis terangkat. "Kenapa saya harus ketuk pintu ruangan saya sendiri?"

"Ah, iya juga," gumam Shana dan mulai berdiri. Kembali duduk di sofa tepat di hadapan Ndaru. "Kenapa Bapak panggil saya ke sini?"

Ndaru berdeham sambil menggaruk pelipisnya. "Saya mau minta tolong," ucapnya pelan.

"Apa, Pak? Saya nggak denger?" Shana membungkukkan tubuhnya untuk lebih dekat.

"Saya mau minta tolong." Ndaru berbicara lebih jelas sambil mendorong kepala Shana menjauh dengan jari telunjuknya.

"Tumben?" Shana tersenyum mengejek. Dengan angkuh dia melipat kedua tangannya di dada. "Mau minta tolong apa?"

"Saya sudah daftarkan Mas Juna untuk preschool."

Shana mengangguk mengerti. "Iya, terus?"

Ndaru menarik napas sebentar sebelum berbicara. "Saya minta tolong untuk kamu awasin Mas Juna di sekolah. Cuma tiga hari dalam satu minggu."

"Saya, Pak?" Shana menunjuk dirinya sendiri. Kebingungan tampak jelas di wajahnya. "Bapak minta saya jagain Mas Juna di sekolah?"

"Kamu keberatan?"

Shana menggeleng cepat. "Bukan begitu. Saya cuma kaget. Kan Pak Ndaru sendiri yang minta saya jaga jarak sama Mas Juna. Lagian kan ada Suster Nur."

"Ya, kamu dan Suster Nur akan jaga Mas Juna berdua."

"Segitunya," gumam Shana pelan.

"Saya nggak punya pilihan lain." Ndaru menghela napas.

"Jadi saya pilihan terakhir?" Shana mendadak tidak suka. Kenapa sulit sekali meminta bantuan dengan tulus tanpa rasa angkuh?

"Kamu mau atau tidak?"

Shana memiringkan kepalanya sambil berpikir. Bukan tentang Mas Juna, melainkan memikirkan apa yang bisa membuat Ndaru memohon padanya.

"Tapi saya mulai sibuk akhir-akhir ini, Pak. Pak Ndaru tau sendiri film saya akan diproduksi."

"Kamu nggak mau?" Ndaru menggeleng tidak percaya. "Padahal kamu ibu tirinya. Apa kata orang kalau kamu nggak bisa temenin Mas Juna?"

"Kok jadi saya yang salah?" Shana menatap Ndaru kesal. "Kalau Pak Ndaru lupa, Bapak sendiri yang bilang kalau kita nggak boleh ikut campur urusan masing-masing."

"Saya pikir ada pengecualian untuk Mas Juna."

Benar-benar licik. Ndaru memanfaatkan kepolosan Juna untuk menggoyahkan keputusannya. Sepertinya pria itu tahu jika Shana tidak akan bisa menolak jika berhubungan dengan anak-anak.

"Oke, tapi saya juga punya satu permintaan."

"Apa itu?"

"Izinin saya lanjutin produksi film saya." Shana melirik Ndaru hati-hati. "Dengan Dito sebagai sutradaranya."

Ndaru memejamkan matanya dan mengangguk pelan. Setelah itu dia berdiri dan menuju meja kerjanya. Bersiap untuk kembali bekerja.

Tingkahnya membuat Shana bingung. Apa yang pria itu lakukan?

"Gimana, Pak? Kok diem?" Shana menghampiri Ndaru dengan was-was.

Ndaru mengangkat wajahnya dan menatap Shana lekat. "Saya akan cari cara lain kalau kamu nggak mau temenin Mas Juna."

Shana menghentakkan kakinya kesal. "Saya mau! Tapi izinin saya lanjutin film saya."

Ndaru menggeleng tegas. "Sudah saya bilang kalau saya nggak mau ambil resiko."

"Saya janji nggak bikin ulah. Saya juga yakin kalau Dito nggak akan macem-macem. Dia pasti takut sama ancamannya Pak Ndaru dulu."

"Kamu yakin?" Ndaru menyandarkan tubuhnya. "Sekarang saya tanya? Sudah berapa kali Dito hubungi kamu hari ini?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Shana bungkam. Pertanyaan Ndaru benar-benar mematahkan pernyataannya sendiri.

"Berapa kali Shana?"

Shana menelan ludahnya susah payah. "Seb—sebelas."

Ndaru tersenyum sinis dan menggeleng. Dia kembali fokus untuk memulai pekerjaannya. "Kamu boleh pulang sekarang."

"Jadi nggak jadi, nih?" tanya Shana sedih.

"Kalau syarat yang kamu ajukan bukan itu, saya bisa mengusahakannya."

"Yang tadi nggak bisa diusahain?" Shana berusaha membujuk.

Ndaru menggeleng tegas. "Saya harus kembali bekerja. Kamu boleh pergi."

Baiklah, Handaru Atmadjiwo sudah mengusirnya maka Shana tidak akan lagi memohon. Biarkan mereka sama-sama pusing malam ini untuk mencari jalan keluar.

"Dasar batu!" rutuk Shana meraih tas dan kopi yang ia bawa.

Begitu keluar dari ruangan Ndaru, Shana disambut dengan senyuman Gilang. Namun sayang, Shana tidak bisa membalasnya saat ini.

"Ini kopi buat Mas Gilang, saya pergi dulu."

Ya, Shana tidak jadi memberikan kopi yang ia beli untuk Ndaru. Pria itu terlalu menyebalkan.

***

TBC

Shana sama Ndaru mah sama sama batu 😂

Shana sama Ndaru mah sama sama batu 😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Follow ig viallynn.story

Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘

Viallynn

Duda Incaran ShanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang