Selama ini, Shana berusaha untuk menghindari masa lalu. Memilih untuk fokus ke depan tanpa rasa ragu. Namun takdir memang sangat lucu. Shana malah terjebak pada dunia baru yang begitu pilu.
Selama 10 menit, Shana masih duduk di dalam mobil. Menatap gedung tinggi di hadapannya dengan perasaan resah. Untuk pertama kalinya dia datang ke tempat ini, ke kantor suami yang hanya akan menemaninya selama satu tahun.
Jari-jarinya bergerak mengetuk setir bundar dengan berirama. Menenangkan perasaan yang sedang tak karuan. Gadis itu sedang menerka-nerka. Apa tujuan Ndaru memintanya datang?
Shana menggelengkan kepalanya cepat. Dengan segera dia keluar dari mobil dengan membawa satu kotak yang berisi beberapa minuman kopi. Bukan untuknya melainkan untuk orang-orang ramah yang ia temui. Entah kenapa dia berinisiatif membeli kopi itu sebelum tiba di kantor. Aneh rasanya jika ia datang tanpa membawa apa pun.
"Selamat siang, Ibu Shana," sapa tiga pria yang Shana yakini sebagai pihak keamanan kantor.
"Selamat siang, Pak. Gimana hari ini, aman?" Shana tersenyum manis.
"Aman, Bu. Ibu Shana mau ketemu Pak Ndaru?" tanya salah satu dari mereka.
Shana mengangguk. "Iya, saya mau ketemu Bapak."
"Kalau begitu saya antar, Bu."
Shana menggeleng cepat. "Saya sendiri aja, Pak. Terima kasih," ucapnya sambil mengeluarkan tiga cup kopi dan memberikannya pada ketiga pria itu. "Semangat kerjanya, ya, Pak. Saya duluan."
"Wah, terima kasih, Bu Shana," balas mereka kompak, tak lupa dengan senyuman lebar.
Berinteraksi dengan istri bos adalah suatu kehormatan. Bagi mereka, pegawai rendah seperti mereka tak pantas untuk bertukar sapa. Namun pada kenyataannya, Shana memberikan kesan yang begitu ramah. Sama persis dengan apa yang media gambarkan selama ini. Shana Arkadewi adalah wanita tanpa cela.
Berdasarkan arahan dari resepsionis, Shana masuk ke dalam lift khusus direksi. Di dalam lift, dia menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Menatap pantulan dirinya di kaca lift dengan teliti.
Tidak banyak yang berubah dari penampilan Shana baik sebelum atau setelah menikah. Hanya saja sekarang dia lebih sering menggunakan kemeja atau blazer. Hanya menyesuaikan saja, karena dia bukan hanya sekedar Shana Arkadewi lagi, tapi Nyonya Atmadjiwo.
Lift terbuka, membuyarkan lamunan Shana. Dia keluar dengan langkah pelan. Hal pertama yang ia tangkap adalah lobi luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan keadaan kota Jakarta dari atas. Yang Shana tahu, lantai ini khusus ruangan Ndaru. Dalam hati ia meringis, ternyata keluarga Atmadjiwo memang selalu dikelilingi oleh kemewahan.
"Bu Shana," sapa seorang pria yang cukup asing untuk Shana. "Perkenalkan saya Fajar, sekretaris Pak Ndaru di kantor."
"Ah, iya...," Shana mengangguk mengerti. "Saya Shana," balasnya.
Fajar mengangguk dengan senyuman. "Saya diminta Pak Ndaru untuk membawa Ibu ke ruangan Bapak. Saat ini Pak Ndaru masih ada rapat di lantai 16."
Fajar mempersilakan Shana untuk mengikutinya. Begitu pintu kaca berukuran besar itu dibuka, ruangan Ndaru langsung terpampang nyata.
"Ibu Shana bisa tunggu di sini. Saya harus kembali ke ruang rapat. Sebelum saya pergi, Bu Shana ingin minum apa? Atau Bu Shana butuh sesuatu yang lain?"
Shana memilih untuk duduk di sofa berwarna abu-abu dengan gelengan pelan. "Nggak perlu, Mas. Saya bawa minum sendiri. Mas Fajar bisa kembali ke ruang rapat sekarang."
"Baik, kalau begitu saya permisi, Bu Shana. Jika butuh apa-apa bisa langsung hubungi pramukantor."
Shana tersenyum mengiyakan. Begitu Fajar telah pergi, senyumnya langsung hilang. Gadis itu berdiri dan melihat ruang kerja Ndaru dengan seksama. Kakinya membawanya pelan untuk berkeliling. Melihat begitu banyak berkas yang tak ia mengerti. Shana yakin, hanya orang jenius yang bisa memahaminya. Tentu saja! Menjadi seorang pemimpin tentu tidak boleh sembarangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duda Incaran Shana
RomanceHandaru Gama Atmadjiwo tidak tahu jika keputusannya untuk kembali ke Ibu Kota menimbulkan petaka. Baru satu hari tiba, dia sudah terlibat skandal dengan seorang gadis muda. Skandal yang membuat citra keluarga Atmadjiwo ternoda. Sialnya, dia harus be...