6

521 77 3
                                    

Enjoy~

.
.
.

Binghe tengah disibukkan oleh tumpukan dokumennya saat tiba-tiba pintu ruangannya dibuka tanpa diketuk. Ia hampir mengira itu adalah Wei Wuxian saat matanya menangkap siluet seseorang dengan kemeja putih yang digulung sampai siku.

Da Ge, apa kau tidak pernah berpikir untuk mengencani seseorang? Waktumu terlalu banyak kau berikan pada kertas-kertas itu.” orang itu mencibir lalu mendudukan dirinya diatas sofa hitam diruangan itu.

Binghe tersenyum lalu segera beranjak dan ikut duduk dihadapan orang itu. “sebelum aku berkencan dengan seseorang, A Xian akan terlebih dulu membuat orang itu trauma. Kau tau sendiri A Xian sangat pemilih.”

Xueyang—orang itu terkekeh kecil, “setidaknya dia tidak berubah dalam hal itu. Da Ge tau? Aku sempat mengira bahwa dia bukan Xian Xian, aku hampir tidak mengenalinya.”

“beberapa bulan setelah masuk SMA A Xian memang merubah total sikapnya, bahkan ia jarang sekali memakai seragam. Wen Qing bahkan angkat tangan untuk mengurusi anak itu, Huacheng bilang A Xian memiliki sedikit masalah dalam menjalani komunikasi dengan orang-orang disekolah. Ia sedikit menerima penolakan disana.”

Xueyang mengangguk kecil sebagai pembenaran, karena bahkan dirinya sudah menyaksikan sendiri bagaimana ‘buruknya’ reputasi sahabatnya itu di sekolah..

“A Xian bilang kau tidak pernah masuk lagi setelah hari itu, apa yang terjadi?”

Xueyang mengangkat sebuah map cokelat ditangannya, “aku baru saja selesai membereskan dokumen kependudukanku disini, aku kan sudah berjanji untuk kembali pada Xian Xian.”

Binghe tertawa kecil, “kata-katamu seolah kau adalah kekasihnya, aku jadi curiga hubungan kalian sebatas pertemanan biasa.” Cibir sulung Wei yang langsung dibalas cengiran penuh harapan, “kalau kalian merestui aku akan segera melamarnya.”

Namun tentu saja Binghe langsung menggeplak wajah menyebalkan bocah itu dengan map coklat yang tadi ada ditangan Xueyang, “aku tidak mau mempunyai adik ipar petakilan sepertimu.”

Xueyang langsung merengut.

.
.
.

Sudah hampir tiga hari Wangji tidak melihat Wei Wuxian di sekolah.

Apa karena waktu itu? Apa malam itu dirinya sudah sangat keterlaluan?

Sekarang Wangji jadi menyesal sendiri.

Ia bahkan tidak berani menanyakan anak itu pada Huacheng, ia juga masih merasa tidak enak atas perkataanya pada orang itu tempo hari.

Langkah kakinya gontai, pikirannya carut marut, Wangji bahkan tidak sadar jika kini ia telah sampai halaman sekolah. Pemuda itu baru kembali fokus ketika telinganya menangkap keributan kecil, ia mencari asal suara dan menemukan cukup banyak siswa siswi yang bergerombol dikoridor sekolah, dahinya mengernyit.

Setengah penasaran Wangji mendekat ke tempat itu dan mendapati kejadian persis seperti beberapa hari lalu. Wei Wuxian yang berdiam diri memandang diam siswa dengan seragam penuh noda hitam yang ia tebak adalah kopi, sepertinya ia pernah bertemu dengan anak itu.

Tanpa Wangji sadari tangannya kini mencengkram ranselnya tegang, menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Apakah akan berakhir seperti tempo hari?

“kupikir kau sudah mati.” Wei Wuxian berujar sinis, mendelik pada objek didepannya.

“aku tidak akan mati karena aku tau akan ada seseorang yang sangat cengeng dan pasti akan sangat merindukanku.” reaksi lain ditunjukan orang itu, Xueyang tersenyum menyebalkan pada si bungsu Wei yang berdecih, menampakkan ekspresi muaknya yang dibuat-buat.

Boy Meet BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang