"Aku nggak punya waktu soal itu. Lagian, aku takut sama mamanya." Tangan Alvian terkepal. Andai keluarga Alvian masih kaya raya, mungkin bukan Feradi yang seenaknya di kelompok mereka. Jujur Alvian muak, apalagi dengan orang yang merendahkan orang lain. Menganggap perempuan adalah permen. Itu gila.
Air muka Feradi berubah kecewa. "Ahh, aku lupa. Kamu mana mungkin punya waktu untuk main perempuan. Kamu kan si paling sibuk cari duit." Feradi menepuk pundak Alvian. "Beban kamu yang asalnya dari keluarga bangkrut pasti besar."
"Kamu emang nggak pernah sekalipun pinjam duit ke kita. Tapi loyalitas kita soal materi bisa di adu kok, kamu jangan ragu ya?" Tambah Feradi, menghina dengan sopan.
This. Feradi yang akan merendahkan orang, jika keinginannya tidak diindahkan.
Alvian tersenyum, ia akan bertahan sampai sayapnya tumbuh dengan sempurna dan cengkeraman cakar yang kuat. Ia akan menjadi predator mematikan untuk mencabik-cabik lawannya suatu hari nanti. Suatu hari nanti untuk balas dendam atas semuanya.
Esok harinya...
Laura baru saja pulang sekolah. Ia menghembuskan nafas berat saat melihat pemuda yang pernah ia tolak cintanya duduk tak jauh dari kedai milik mamanya. Laura sebenarnya enggan melangkah kesana, tapi ia juga lelah untuk putar balik dan menghindar. Alhasil Laura melangkah seolah tak melihat, tapi pemuda itu jelas saja memanggilnya.
"Buru-buru banget. Gimana ujian akhir sekolahnya?" Tanya Feradi.
"Lancar." Laura masih menyahut dengan ramah.
"Bisa kita bicara sebentar?"
"Kalo soal keputusan Laura, nggak kak Feradi."
Feradi terdiam. Dadanya tampak naik turun dengan senyuman memaksa di wajah. "Kita bahas soal yang lain." Laura terlihat hendak menolak tapi Feradi kembali menambahkan. "Nggak akan lama. Janji."
Mereka memutar bangunan toko untuk tidak melewati depan kedai milik mama Laura. Suasana taman yang tak begitu ramai menjadi tempat mereka bicara.
"Kamu bakalan lanjut kuliah dimana?" Itu topik pembuka dari Feradi. Setidaknya ia tidak membahas soal perasaan sebagaimana batin Laura.
"Belum tau. Tapi pengen diluar kota."
"Kenapa nggak disini aja?"
"Banyak PTN top juga di kota kita. Swasta juga bagus." Feradi menambahkan. "Jangan sungkan soal biaya, meskipun kamu udah nolak saya. Saya bakalan senang banget kalo bisa bantu UKT prasemester kamu."
Jika begini, apa Laura tidak semakin ilfil dan takut?
Feradi tersenyum memandangi Laura yang hanya menunduk memainkan rok sekolah abu-abu yang ia kenakan. Ia tampak diam sebelum akhirnya menjawab.
"Kami mungkin kelihatan sederhana atau miskin dimata kak Feradi. Tapi bagi orang miskin, pendidikan akan terus jadi prioritas utama. Orangtua Laura masih sangat mampu. Jadi, makasih."
Feradi merasakan jika Laura tersinggung. Alhasil mereka akhirnya diam cukup lama.
Feradi juga tidak mengatakan maaf. Sial, untuk pertama kali Feradi justru merasa mati kutu dihadapan seorang gadis. Laura bahkan tak terlihat tertarik dengan apa yang ia punya. Berbeda dengan bekas permen lain yang pernah ia hisap.
"Kalo gitu, selain susah dimiliki. Kamu juga bakalan susah ditemui dong." Feradi tersenyum getir. Laura masih diam. "Apa alasan lain kamu nggak mau jadi pacarku? Ya, selain nggak di bolehin pacaran sama mama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Still
ChickLitMencintai Alvian seorang diri adalah hal yang menyakitkan. Itu yang Laura rasakan selama 5 tahun. Bahkan Tuhan telah menganugerahkan mereka seorang anak sebagai pelengkap kebahagiaannya. Tapi, sikap acuh, cuek dan dingin itu tak pernah berubah. Kelu...
5. KITA DAN MASA LALU
Mulai dari awal