Satu bulan ini Zea kembali menata hidupnya. Kembali mengikuti kegiatan pembelajaran di rumah, mengikuti les dan kegiatan biasanya, kecuali kegiatan yang mengikut sertakan papanya. Tak lupa ia juga kembali di kediaman milik papanya atas suruhan papa juga.
Ingin Zea tidak menuruti sebuah surat berasal dari wali kelasnya. Undangan rapat wali siswa, tapi mungkin kali ini Zea berharap papanya bisa datang. Zea tersenyum kecil, sudah lama sekali papa tidak mengantar bahkan menjemputnya disekolah. Jika dulu, sebisa mungkin papa akan datang menunggu diluar gerbang sekolah hingga kelas Zea usai. Kini hanya angan yang dapat Zea lakukan.
Selayaknya kebiasaan Zea kala dalam mobil, memandang luar jalanan yang terlihat padat. Niat hati Zea ingin datang ke rumah sakit bertemu papa untuk mengantar surat dari wali kelasnya.
"Uncle bisa tinggalin Zee, nanti Zee pulang sama Papa." ucap Zea penuh binar bahagia. Mungkin Zea nanti akan mampir ke pasar malam yang Zea lihat di jalan tadi.
Zea melangkah memasuki rumah sakit, sesekali menjawab sapaan para pekerja yang tau dirinya. Sesampainya di depan ruang papanya. Zea mengintip, dan benar saja ruangan ini tak berpenghuni. Zea menghela nafas, mengingat kata papa pagi tadi-- beliau akan singgah di rumah sakit hingga sore. Ara membalikkan badan, terpaksa tersenyum membalas perawat yang berlalu lalang melewatinya. Sedikit menunduk, Zea memandang lesu surat yang terlipat rapi di tangannya.
"Azeera."
Zea menoleh, "Om Wira." Zea mendekat lalu mengecup punggung tangan Arwira.
"Sendiri?" Zea menggeleng kecil.
"Diantar uncke Miko." Arwira mengangguk.
"Cari papa ya?" Zea mengangguk kembali.
"Om tau?"
Arwira sedikit berpikir, "Kayanya papa kamu makan siang, tadi sempet bilang sama Om kalau mau makan siang di restoran dekat sini."
"Ah." Zea membuka mulut, sembari mengangguk kecil.
Arwira tersenyum kecil, "Mau Om anter?"
Zea menggeleng dengan senyuman. "Zea bisa sendiri kok, Om. Makasih ya. Zea cari papa dulu."
Zea kembali mengecup punggung tangan Arwira dan berlari keluar mencari keberadaan papanya. Hampir dua puluh menit Zea mencari ke dalam restoran terdekat tapi tidak berhasil. Mendekati halte bus, Zea mendudukkan diri dengan nafas cepat. Membuang nafas Zea kembali berdiri setelah merasa cukup istirahat.
Dengan masih membawa ransel sekolahnya, Zea menyusuri trotoar guna melihat papanya.
Gler
Zea mendongak kala merasakan tetesan hujan membasahi keningnya. Zea berjingkat ketika sebuah mobil mengklason dirinya. Zea mundur, mengikuti arah mobil memesuki restoran mewah kiri jalan Zea berdiri sekarang.
Papa
Tetes demi tetes air hujan jatuh. Tanpa menghiraukan hujan yang mulai berjatuhan. Zea maju lima langkah dari tempatnya sekarang.
Gler
Kala suara guntur bergemuruh disitu Zea air mata Zea kembali runtuh. Disana papanya tengah bercanda gurau dengan keluarga barunya, lebih tepatnya calon keluarga baru. Zea tersenyum getir, dengan kasar ia mengusap air matanya yang terus berjatuhan. Melihat ke arah tangannya, di sana tujuan ia mencari papanya. Lembaran tulisan yang sudah terlihat agak basah terkena rintikan air hujan. Zea memasukkan ke dalam ranselnya.
Zea kembali menajamkan penglihatan ke dalam restoran mewah itu. Jujur, ini sangatlah menyakitinya. Entah kebetulan atau tidak, netra Zea bertubrukan oleh kedua bola mata milik Zander. Dengan cepat Zea membalikkan badan, berjalan menjauh dengan kepalan kuat di tangannya, mengabaikan guntur dan air hujan yang turun dengan derasnya. Lagi-lagi, Zea runtuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Piece Of ZEA'S Memories
Teen Fiction🚫SEPERTI BIASA, FOLLOW DULU SEBELUM BACA🚫 Banyak orang mengenal seorang Azeera dengan sebutan gadis sempurna. Terlahir dari keluarga kaya dan berpengaruh, putri tunggal dari pasangan Arseano dan Iriana yang merupakan seorang dokter spesialis terk...