53. Tidak Menyalahkan

4 0 0
                                    

"Mario?"

"Ada yang sakit?"

Pelan Kina menggeleng. "Gue nggak apa-apa."

Mario lantas menyodorkan minuman kaleng yang ia beli di kantin.

"Thanks."

"Lo lagi jadi trending topic sekarang." Mario tertawa hambar. "Mau duduk di sana dulu? Kayaknya guru-guru juga lagi berunding masalah tadi." Ia menunjuk taman mini yang terletak di timur ruang multimedia.

Kina mengiakan. Dalam diam, mereka duduk di balok kayu yang ditata sedemikian rupa sehingga menjadi bangku taman.

Seraya memainkan minuman di tangannya, akhirnya Kina menoleh, dan bertanya, "By the way, lo denger semuanya?"

"Iya, sorry. Gue tadi disuruh Miss Sarah buat ngambil proyektor di multi. Terus, nggak sengaja lihat lo ditarik-tarik sama Ivanna."

"Boleh nggak gue minta sesuatu sama lo?" Kina merasa sangsi. Tapi, tidak ada salahnya, kan, untuk mencoba meminta Mario agar jangan memberitahu siapapun tentang ayahnya yang juga merupakan papa Ivanna.

"Apa?"

"Tolong simpan buat diri lo sendiri tentang apa yang lo ketahui barusan."

"Oke, tapi lo harus jawab pertanyaan gue."

Sontak saja Kina memasang tampang waswas. Sementara Mario malah tersenyum jenaka.

"Santai aja kali. Gue cuma pengen tahu kenapa lo nggak bales Ivanna? Padahal, bukan lo yang ngelakuin itu."

Sebelum menjawab, Kina membuka kaleng soda dan meminumnya beberapa teguk. Matanya tertuju pada ujung tanaman daun pucuk merah yang tertiup angin sepoi-sepoi.

"Gue nggak punya masalah sama Ivanna. Bahkan, bisa dibilang gue nggak punya masalah sama siapapun. Gue cuma seorang anak yang pengen ketemu ayahnya setelah bertahun-tahun nggak ketemu karena perceraian orang tua." Segaris senyum kecut terbit di bibir sang gadis kala mengakhiri ucapannya.

"Tapi, Ivanna nyerang lo duluan." Mario merasa tidak terima melihat gadis pujaannya ditindas orang lain. Kalau saja Ivanna itu laki-laki, bogem mentahnya mungkin sudah melayang demi melindungi Kina.

Melalui ekor matanya, Kina melirik cowok di sebelahnya yang tampaknya jauh lebih emosional dibandingkan dirinya. "Ivanna mungkin cuma syok, dan gue nggak mempermasalahkannya. Hanya karena dia anak dari istri bokap gue yang sekarang, bukan berarti gue harus benci sama dia, kan? Apalagi gue tahu gimana cerita yang sebenarnya."

"Lo nggak takut dia berbuat macam-macam? She has power."

"Gue kenal Ivanna. Lo tenang aja. Gue bahkan pernah kesandung masalah yang jauh lebih menakutkan. Waktu kasusnya Rachel. Gue yakin lo pasti nggak lupa."

Batin Mario meringis. Kalau tidak salah, sudah sebulan lebih ia tidak lagi berhubungan dengan Rachel. Gadis itu menutup diri, dan Mario tidak mau dibilang tidak punya muka jika tetap nekat menyambangi rumah Rachel.

"Kita nggak seharusnya menyalahkan orang yang emang nggak salah, kan, Yo? Apalagi sampai membuat orang itu terus-menerus merasa bersalah. Kadang ada hal yang memang di luar kendali kita. Orang bilang, itu namanya takdir." Kina menengok ke samping, meminta persetujuan Mario. Tapi, pemuda itu justru terdiam dengan pandangan lurus ke depan dan bibir terkatup rapat.

"Yo?"

Mario mengerjapkan mata saat tangan Kina melambai di depan wajahnya. "Hmm ... kalau lo udah merasa baikan, mending kita ke kelas sekarang."

Mengangguk setuju, Kina lebih dulu menuju kelas karena Mario harus mengambil proyektor. Berbagai pertanyaan dari Abel langsung memenuhi telinga Kina begitu mendudukkan tubuhnya. Untung saja Miss Sarah tahu-tahu muncul di depan kelas sehingga masih ada waktu bagi Kina untuk memikirkan semuanya.

"Kin!" Abel menahan lengan Kina begitu pelajaran usai. "Lo ada masalah, tapi nggak mau cerita ke gue. Lo anggap apa, sih, gue selama ini?"

"Nggak gitu, Bel." Kina menjawab sambil merapikan alat tulisnya.

"Terus gimana?" Dari arah belakang, Dara menyahut.

Ditatapnya temannya satu per satu. Kina membuang napas gusar. Ia ragu, tapi membagi sedikit bebannya dengan sahabat-sahabatnya sepertinya tidak masalah.

Cewek itu menoleh ke belakang yang langsung diikuti oleh Abel. Detik berikutnya, cerita tentang pertemuannya dengan sang ayah, berlanjut kedatangannya ke rumah Ivanna, dan kejadian kemarin saat sepulang sekolah mengalir begitu saja dari mulut Kina.

Abel, Celine, dan Dara melongo dibuatnya. Masalahnya terlalu rumit untuk mereka yang semestinya masih punya cukup banyak waktu bermain, dan terlalu menyedihkan bagi Kina yang mengalaminya.

"Kata gue, lo terlalu nekat sih, Kin. Harusnya lo cari tahu dulu informasi tentang bokapnya Ivanna biar lo nggak perlu nemuin dia di rumahnya," komentar Celine.

"Lhoh, kok, lo malah nyalahin Kina? Dalam kondisi kayak gitu dia pasti susah mikir, lah. Apalagi momennya pas liburan, kita sibuk sama keluarga masing-masing." Abel melontarkan pembelaan.

"Yeah, kalau sadar mau ngelakuin sesuatu yang berisiko harusnya dipikirin mateng-mateng." Celine mengangkat salah satu sudut bibirnya, kemudian pura-pura sibuk membenahi rambut panjangnya.

"Udah, udah!" Dara melerai. "Itu, kan, udah kejadian. Yang penting sekarang pelakunya harus ditangkap biar Kina nggak jadi kambing hitam. Kira-kira, Kin, selain lo sama kita, ada lagi yang tahu masalah ini, nggak?"

"Zio, adiknya Ivanna, sama ...." Kina membasahi bibir bawahnya, lalu melirik ke kiri dan kanan untuk memastikan tidak ada yang mendengar. Sudah cukup dirinya diledek teman satu gengnya, teman sekelas jangan.

"Sama?" Abel terlihat tidak sabaran.

"Mikha," cicit Kina sembari memejamkan mata.

Benar saja, sesaat kemudian dehaman menggoda langsung terucap dari mulut kawan-kawannya.

"Asyik, ada ayang yang bisa dicurhatin," kata Abel.

"Jangan-jangan ke rumah Ivanna-nya ditemenin doi lagi. Kina, kan, nggak tahu alamatnya," tebak Dara kontan menimbulkan rasa hangat menjalar di pipi Kina.

"Udah, dong, ngeledeknya." Kina merengut agar yang lain tidak menyadari raut malu-malunya.

"Iya, udah." Dara tersenyum jahil. "Soalnya, lo dicariin, tuh."

Keempat gadis itu menoleh dan melihat Mikha berdiri di depan pintu.

"Kinara." Cowok itu memanggil sembari memberi kode agar sang gadis mendekat.

"Bentar, yah." Kina berpamitan dengan senyum terkulum, sedangkan yang lain kembali meneriakkan godaan.

Beratapkan pohon jambu air, sepasang remaja itu duduk di bangku panjang di pinggir kolam ikan.

"Kamu diapain sama Ivanna?" tanya Mikha membuat Kina membelalakkan mata. "Aku nggak tahu karena telat. Tapi, Dean udah kasih tahu semuanya."

"Tadi emang ada hal yang nggak mengenakkan, tapi aku baik, kok. Mungkin Ivanna kayak gitu karena dia tahu aku udah ketemu sama Ayah."

"Kapan?"

"Kemarin waktu pulang sekolah Ayah nyamperin aku dan cerita sejelas-jelasnya. Dan dari situ aku tahu kalau Ayah dan Ibu sebenarnya sama-sama tersakiti. Seandainya Ayah nggak pernah tergoda, Mik ...." Senyum getir tersungging di bibir Kina. "Tapi, aku nggak apa-apa. Mungkin ini emang udah jalannya. Yang penting sekarang aku sama Ibu hidup tenang dan berkecukupan."

Mikha tersenyum salut akan ketegaran gadis di sebelahnya. "I'm so proud of you. Kamu sabar, ya. Tadi aku sempat tanya Pak Wayan. CCTV sekolah udah dicek dan kepsek sama wakasek lagi rapat."

Lalu, pemuda itu ingat akan makanan yang dibawanya. "Aku nungguin kamu di kantin, tapi kamu nggak muncul. Jadi, aku beliin nasi cumi pedes. Kamu suka pedes, nggak?"

"Suka, lah. Kamu juga suka, kan?" tegas Kina sambil menerima rice bowl dari Mikha.

"Eh, kok kamu tahu?" Sedikit membungkukkan badannya, Mikha menelengkan kepala dan melayangkan pandangan menelisik. Membuat Kina salah tingkah dan mengalihkannya dengan pura-pura sibuk dengan makanannya.

Hating Rain, Loving You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang