Semua massa turun dari bak truk dan berkumpul lalu mulai menyuarakan tujuan kedatangan mereka.
"UKUR ULANG BATAS TANAH!"
Massa meneriakkannya berulang kali sementara beberapa orang beringsut kebelakang. Begitu pula denganku dan Pak Sigit. Memisahkan diri, menuju titik yang ditentukan satu-persatu. Suara pabrik yang menderu bersahutan dengan suara penduduk pribumi juga Kyai Herman yang memberikan orasi dari pengeras suara.
Sambil menunggu kami terdiam dengan tenang, dalam bayang sinar bulan purnama jam di tanganku menunjukkan pukul 10.00 malam. Jika sesuai rencana, sebentar lagi personil yang lain pasti membuat tanda untuk mengalihkan perhatian mereka, belum juga lima menit berlalu cahaya merah di sisi berlawanan menyala.
Akhirnya dimulai. Areal tebu dibakar, lidah api meliuk-liuk di kejauhan, bunyi gemeretak daun yang terbakar terdengar seperti geraman raksasa, abu bakaran tebu terbang terbawa angin lalu turun seperti salju hitam.
Keributan terdengar samar-samar bersahutan dari balik pagar beton. Taktik kami berhasil. Semua sesuai rencana dan semoga firasatku tentang darah kali ini salah. Meskipun itu semakin menguat dari menit ke menit.
Salah satu anggota mulai melemparkan tali ke atas pagar beton. Satu persatu kami mulai memanjat. Aku sudah bersiap menarik tali saat seseorang menahan bahuku "Pak Andra, ingat jangan bergerak sendiri." Pak Ade terus menerus mengingatkan aku dan Pak Sigit. Aku hanya menjawab dengan anggukan mantap.
Kegelapan malam membantu kami untuk menyusup dan bergerak dalam senyap di balik bayangan bangunan pabrik. Beberapa orang berkumpul tepat di depan gudang sparepart. Dari bias lampu tembak aku bisa mengenali sosok gempal Pak Wiro dan Pak Robert yang bergegas keluar dari dalam pos terbengkalai tempatku menemukan barang bukti. Rasanya aku sudah ingin berlari namun lagi-lagi Pak Ade yang kini sudah ada di sampingku memberi isyarat. Sabar!
Semua tepat sesuai perhitungan Pak Sigit, saat ritual berlangsung, hanya pengikut sekte sesat yang boleh masuk ke dalam pabrik. Sekarang mereka sibuk meredam massa Kyai Herman. Tak kan ada yang mengira jika aku kembali kemari.
Tapi sayang dari bawah sinar lampu tembak yang terang, Pak Wiro dan Pak Robert pergi bersama kelima sandera yang terikat dengan mulut tersumpal. Gawat! Ini tak masuk dalam hitungan kami. Pak Ade segera memutuskan kami terpecah menjadi tiga tim.
Pak Sigit dan seorang anggota – tim pertama - berjalan tenang sambil melihat sekitar. Bertopi dan sesekali menutup wajah dengan tangan, bergegas masuk ke dalam bangunan berlantai dua bercat putih, bertuliskan Divisi Factory.
Sedangkan anggota aparat yang lain – tim kedua- bergerak maju ke depan gerbang dan gudang gula. Mengamankan para pengikut yang tersisa juga mengawasi kelima sandera.
Kini tinggal kami berdua, aku dan Pak Ade – tim terakhir- yang mendekam dibalik semak. Menunggu saat yang tepat untuk menyelamatkan sandera yang lain. Adis dan Aji! Aku yakin keduanya ada di bawah sana.
Setengah mati aku menahan amarah, rasanya ingin segera berlari menghancurkan mereka sekarang juga. Tapi pria di sebelahku ini tak kunjung memberikan perintah, padahal tiap menit sangat berarti kami harus cepat! Saat suara gemeresik radio di telinganya berbunyi samar. Pria di sebelahku ini mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah gudang sparepart. Akhirnya giliran kami untuk maju.
Lampu tembak yang menerangi halaman gudang, tumpukan drum dengan bau yang menyengat di dinding, rumput ilalang yang rimbun semuanya masih sama, yang berbeda adalah dadaku yang bertalu-talu menahan adrenalin. Rasa takut, cemas, marah semua membaur jadi satu.
Penuh waspada, Pak Ade meluaskan pandangan ke seluruh tempat, selama itu kami tak bicara sepatah kata pun. Pria ini hanya memberikan kode dengan tangannya bergegas masuk ke dalam pos terbengkalai. Pak Ade berjalan memimpin jalan masuk, menyusul aku dibelakang.
Udara pengap menyambut kami berdua seperti biasa tapi kali ini seperti tercampur sesuatu! Bau kematian!
Kami meniti anak tangga melangkah sepelan mungkin, Pak Ade mengangkat tangan untuk berhati-hati dan juga tenang, di bawah bohlam kuning, cahaya redup menerangi ruangan semaksimal mungkin.
Di samping lemari kayu, Pintu besi itu terbuka, sama seperti saat aku kemari dari dimensi astral, kami menelusuri lorong yang lembab dan redup, bunyi air yang menetes lalu teralis dan gundukan tanah yang sama. Bedanya ini bukan dimensi astral. Kami terus masuk ke dalam hingga di ujung sebuah undakan tangga menuju ke bawah tanah. Dari bawah Lamat-lamat suara orang menangis terdengar lirih juga suara pria yang terbatuk beberapa kali.
Pak Ade memberi isyarat dengan matanya 'tetap waspada'. Kami kembali meniti anak tangga satu persatu, udara semakin pengap dan bau! Ini sungguh bukan tempat untuk makhluk hidup.
Membayangkan Adis ada di sini membuat dadaku sesak dan panas seperti dihantam bongkahan besi yang membara. Gigiku bergemeretak dengan genggaman tangan yang makin erat!
Sebuah ruangan yang lebih lebar, pengap juga singup. Cahaya lampu di beberapa sudut bahkan tak sanggup mengusir kengerian yang ada di sini. Di ujung sebuah altar dengan sesaji di atasnya, bau bunga juga bangkai bersumber dari sana. Menjijikkan juga ngeri! Simpul perjanjian mereka pasti ada di sini.
Mataku menyapu seluruh ruangan, tepat di salah satu sudut yang lain di bawah temaram lampu kuning, sosok wanita yang sangat aku rindukan bersimpuh dengan ikatan rantai di kakinya. Sedangkan di sisi lain Aji, tertunduk dengan rantai di kedua tangannya. Tubuhnya terpaku di dinding yang kotor
Adis menangis lirih, sesekali ia memanggil namaku dengan suaranya yang serak! Rambutnya kusut, lemah dan menyedihkan dengan balutan pakaian pengantin yang kotor.
Aku tak bisa lagi menahan diri! Berlari! Penyesalanku tumpah tapi juga lega, tak mau kalah amarah juga hadir membungkus semuanya.
"ADIS! ADIS!" Serakku tercekat tangisan yang tumpah, aku menemukannya, Istriku.
Wajah itu menengadah, matanya bengkak dan merah. Beberapa lebam di wajahnya yang basah membuatku semakin tak berguna!
"Mamas?! Ini betul kan Mamas?" Lirihnya serak, Adis pasti sudah berteriak selama beberapa hari ini.
"Adis, Ya Tuhan?!"
Kerinduanku tumpah semuanya, tubuh mungil itu akhirnya kembali dalam pelukanku. Mata jernih itu menatapku seakan tak percaya. Sambil mengusap wajah Adis dan merapihkan rambutnya, airmataku meleleh, wanitaku menderita seperti ini. Beraninya mereka menyakiti Adis.
Aku tergugu mencium leher bahu dan seluruh wajahnya. Sambil terus mengusap wajah Adis yang layu, tak hanya memar, bibirnya bahkan pecah dan berdarah.
Akhirnya ... Akhirnya ... Akhirnya! Aku menemukan Adis.
Sambil terisak aku mengatakan hal yang selama ini mendesak nyeri. "Adis maaafkan Mamas ya? Kembalilah!"
Dan tangisan Adis meledak. "Mamas, sampurane Adis yang salah Mas." Tubuhnya berguncang hebat.
Aku terus menggeleng berulang kali "Tidak! Adis gak salah, Mamas yang seharusnya minta maaf. Sekarang Adis tenang dulu! Kita harus keluar secepat mungkin."
Di sisi lain, Pak Ade sibuk membuka rantai Aji yang sudah tak sadar. Amarahku semakin memuncak, aku bahkan tak tahu lagi bagaimana harus meredamnya.
ANJING! Sebenarnya apa salahku pada kalian? Teganya setan-setan itu membuat dua orang yang paling aku sayangi jadi begini!
Aku bergegas melihat rantai di kaki Adis. Terkunci! Mataku mencari keseluruh ruangan saat Pak Ade sudah terkapar dengan darah di kepala, sepersekian detik aku menyadari dan kepalaku nyeri di hantam sesuatu bersamaan dengan teriakan Adis!
"JANGAN! MAS?"
Seseorang kembali menghantam punggungku sekuat mungkin. Nyeri, nafasku sesak, punggungku remuk. Siapa ini?
Teriakan Adis yang parau kembali menggema. "UWES! CUKUP! KALAU AKU KUDU MATI NDAK OPO-OPO. TAPI JANGAN SAKITI MAMAS!"
"Well Andra! Finally you found her!" Suara ini, WIRO!
Meski kepayahan aku melihat di bawah temaram cahaya, Wiro dengan seringainya juga Mbah Santo yang berdiri mematung di depan tangga menyilangkan kedua tangannya. Sedangkan udara berangsur dingin!
GAWAT!
KAMU SEDANG MEMBACA
TEBU MANTEN (SELESAI)
HorrorODOC WINNER SUJU XIII 2023 Warning : Gore and Explicit Content Tahun 1996, PT. Segoro Legi (PT.SL) sebuah perusahaan di pedalaman Lampung tempat Andra mengadu nasib demi istri tercintanya yang kadang ngeyel dan menyebalkan. Gaji dan tunjangan yang b...