"Nggun, Mbak ... enggak bermaksud ... kamu mengerti, 'kan, Nggun? Mbak, Mbak bingung jelasinnya, Nggun."
"Mbak benar, kok, Mbak."
"Nggun. Mbak ... Mbak enggak pernah benci sama kamu, Nggun."
"Anggun enggak pernah berpikir seperti itu, Mbak. Anggun, Anggun enggak akan pernah bisa jadi istri yang baik untuk Mas Dhanan."
"Kamu jangan ngomong begitu, Nggun. Aduh, kepriye iki?"
"Mbak." Anggun meletakkan tasnya di meja lalu berpindah duduk tepat di sebelah Septi. Anggun menatap Septi lekat-lekat. "Anggun mengerti, memang sudah seharusnya Mas Dhanan dapat yang lebih baik dari Anggun. Lebih dari segala-galanya, Mbak."
Sementara itu, Dhanan yang sepulang bekerja duduk diam di ruang makan mengundang rasa penasaran sang bunda—Sri Nurbaiti mendekati putranya.
"Mau makan sekarang? Ben Ibu hangatkan lawuhe, yo?" tawar Sri.
Dhanan menoleh sedikit. Banyak yang ingin ia sampaikan, tetapi Dhanan bingung untuk memulai segalanya dari mana. Terlebih, ia pun takut kalau-kalau ibunya akan menilai jelek Anggun.
"Bu."
"Apa?" Sri menarik kursi lantas duduk. "Apa?"
"Anggun, Bu."
"Anggun?"
Dhanan mengangguk lemah. "Dhanan sudah melamar Anggun."
"Anggun menolak?" tebak Sri.
Dhanan bingung harus bereaksi seperti apa. Berkata tidak, memang kenyataannya menolak, berkata iya takut kalau ibunya berpikiran negatif.
"Dhanan ... bingung."
"Apa perlu Ibu datang melamar Anggun?"
"Jangan, Bu!" tolak Dhanan yang kemudian kaget sendiri karena intonasi suaranya jelas meninggi. "ma-maaf, Bu. Dhanan enggak bermaksud bentak Ibu."
Sri tersenyum lantas mengusap punggung Dhanan. "Ada banyak hal yang harus diselesaikan sebelum kalian coba melangkah menuju pernikahan, Nan. Ibu rasa, enggak ada salahnya kamu coba dengarkan mbakmu."
"Dhanan enggak mau paksa Anggun, Bu."
"Ibu enggak minta kamu untuk memaksa Anggun."
"Bu, Dhanan sayang sama Anggun."
Sri mengangguk lagi. "Sabar, ada banyak yang harus kalian benahi. Jadi, Anggun benar menolak kamu?"
"Anggun, dia, dia ...."
"Dia apa, Nan?"
"Dia ditawarkan pindah ke Subang, Bu. Jadi kepala cabang di sana."
"Subang?"
"Ini kesempatan bagus untuk—"
"Untuk siapa? Untuk Anggun?" potong Septi yang berdiri tidak jauh dari ruang makan. Septi meletakkan tas yang dijinjingnya di atas meja lalu mendekati Dhanan. "Terus kamu gimana? Mau berhenti kerja? Oh, jadi ini alasan Anggun menolak kamu? Dia lebih mementingkan kariernya? Iya?"
"Enggak begitu, Mbak," sergah Dhanan.
"Loh? Memang bagaimana lagi, Nan? Kamu itu jadi lelaki jangan bodoh, Nan! Ih, kesel Mbak sama kamu!"
"Anggun enggak begitu, Mbak. Dia, dia, dia sedang mempertimbangkan segalanya, dia belum ambil keputusan, Mbak."
"Kalau kamu memang penting buat dia, kamu enggak akan pernah jadi sebuah pilihan, Nan! Tadi Mbak ke rumah Anggun! Hampir saja Mbak percaya kalau mungkin Anggun merasa enggak bisa jadi yang terbaik buat kamu, eh, ternyata begini cerita yang sebenarnya!"
"Mbak ke rumah Anggun?" Kali ini Dhanan mundur lantas berdiri tepat di depan Septi. "Mau ngapain, Mbak? Aku sudah berkali bilang, jangan ikut campur, Mbak!"
"Mbak enggak ikut campur Dhanan! Mbak ke sana mau minta maaf karena Mbak takut dia sakit hati atau salah paham sama ucapan Mbak! Sudah, kamu putus saja sama Anggun! Enggak ada ujungnya kalau kamu sama dia!"
"Mbak!"
"Apa? Berani kamu bentak Mbak!"
Gebrakan di meja membuat Septi dan Dhanan kompak menoleh ke arah Sri. "Kenapa jadi bertengkar?"
Dhanan memalingkan wajahnya kemudian pergi tanpa menoleh kembali.
"Angel diwenehi ngerti! Sebel aku!" gerutu Septi kemudian duduk di kursi yang ditinggalkan Dhanan.
"Sabar. Ibu sudah bilang, sabar. Jangan ikut campur."
"Aku enggak ikut campur, Bu."
"Ada banyak yang kamu enggak tahu tentang Anggun."
"Apa, Bu? Apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
White Lie
RomanceHidup terpisah dari orang tua sedari kecil. Tidak pernah dianggap ada. Itu masih bisa Anggun terima, tetapi tiba-tiba tahu kalau ia juga tidak mendapatkan hak waris, Anggun murka. Bukan uang yang ia inginkan, tetapi seakan-akan ia memang tidak di...
Bab. 06. Berujung (Dipaksa) Putus
Mulai dari awal