Sambil menaikan siku di kepala aku berbaring di kursi tamu dalam ruangan kerja. Menengadah dan menutup mataku yang perih, menenangkan badai dadaku yang hebat.
“Pak Andra?"
Suara medok Mas Bambang menarik atensiku, pria itu membawakan sarapan juga pakaian ganti. Sebenarnya jam kerjaku sudah usai dari tadi tapi aku sungguh enggan untuk pulang. Persetan dengan Adis! Aku tak ingin bertemu dengannya. Mas Bambang yang mungkin mengerti perasaanku akhirnya menawarkan diri untuk pergi ke rumah dan meminta pakaian pada Adis.
“Pak sarapan dulu, Bu Adis tadi bawakan ini untuk sampeyan." Pria berkumis itu mendekat dan meletakkan plastik hitam di atas meja.
Adis? Entah mengapa aku membenci nama itu sekarang. “Taruh saja Mas saya gak lapar,” jawabku sambil mendengus kesal.
Mas Bambang terdengar menghela nafas panjang dan berat. Pria ini akhirnya duduk tepat di samping kepalaku dan mulai bicara lirih. “Pak berantem sama istri itu ndak baik loh!” Pria ini menatapku lekat, memaksaku bangkit dan duduk sambil menopang kepalaku yang berat.
Mas Bambang tersenyum saja melihat wajahku yang kusut. “Pak Andra, kasian Bu Adis, tadi waktu kulo datang ibu masih nangis. Apalagi waktu tahu sampeyan ndak pulang, Ibu tambah sedih.”
Pria ini berhati-hati saat mengatakannya padaku. Tapi ego-ku ini sedang di puncak tertinggi jadi ucapan Mas Bambang seakan hanya angin lalu.
Mas Bambang tak menyerah dan terus bicara, “Saya jadi inget waktu berantem sama Istri saya tepat sehari sebelum dia minggat. Ya begini sama saja sama Pak Andra, tapi ...” Sesaat Mas Bambang menarik nafasnya yang sesak.
“Tapi kalau bisa kembali, saya ndak akan peduli sama harga diri saya. Bahkan saya bakalan terima kalaupun istri saya mau pukul saya berulang kali juga ndak opo-opo.” Mas Bambang kembali serak dan berkaca-kaca.
“Saya sudah pasrah Pak Andra, kalaupun memang benar dia selingkuh itu lebih baik dari pada begini, kabarnya gak jelas, masih hidup atau sudah meninggal. Walaupun perasaan saya terus berbisik kalau Istri saya diguna-guna orang dan sudah mangkat.” Pria di hadapanku ini terus mengusap wajahnya yang basah. Membuatku sedikit terkejut, apa dia sudah tahu kalau …
“Setiap saya lihat wajah Dewi, hati saya semakin sakit. Anak sekecil itu sudah gak punya ibu. Seandainya gak ada dia dan bunuh diri ndak dosa, mungkin saya sudah lama nekat. Kadang saya berharap kalau malam ini saya mati saja.“
Mas Bambang ini gimana sih, aku saja sedang kalut malah ditambahi masalah dia juga. Tapi sedikit banyak aku mengerti maksudnya apalagi saat dia bicara, “Pak kalau saya meninggal titip Dewi ya?”
Membuatku menarik nafas, mendengar pria ini bicara begitu, entah mengapa amarahku menjadi tenang, “Mas Bambang jangan bicara ngawur, Pamali.”
Mendengar ucapanku Mas Bambang hanya tersenyum dengan wajahnya yang basah.
“Pak ngalah saja sama ibu. Kasian! Sebelum Pak Andra menyesal seperti saya sekarang. Mau menangis sebanyak apapun semua ndak bakalan bisa kembali Pak. Sejuta maaf juga percuma.” Lagi-lagi ucapannya yang telak menyadarkanku.
“Iya, saya tahu tapi entah kenapa rasanya susah sekali.”
“Sudah Pak kalau mau sama-sama ego ndak akan selesai. Lagi pula laki-laki itu kudu banyak ngalah sama perempuan. Namanya saja tulang rusuk, bengkok gak bakalan lurus kalau dipaksa nanti malah patah. Seperti sekarang, sama-sama saling ngelarani toh!”
Tumben Mas Bambang bicara begini, tapi semua ucapannya benar. Pria itu berlalu meninggalkanku yang kembali berbaring, kali ini pikiranku lebih jernih.
Tulang rusuk ya? Adis? Benarkah dia tak memahamiku atau justru aku yang belum mengerti wanita itu sepenuhnya? Kebencian Adis terlukis jelas setiap aku menutup mata membuat hatiku berdenyut.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEBU MANTEN (SELESAI)
HorrorODOC WINNER SUJU XIII 2023 Warning : Gore and Explicit Content Tahun 1996, PT. Segoro Legi (PT.SL) sebuah perusahaan di pedalaman Lampung tempat Andra mengadu nasib demi istri tercintanya yang kadang ngeyel dan menyebalkan. Gaji dan tunjangan yang b...