“Tunggu dia bangun, ya? Terus kita pulang bareng-bareng,” sambungnya yang membuat hati Yuga mencolos.
“Dia pasti bangun kok, dia gasuka lihat langitnya menangis. Dia paling enggak bisa lihat air mata gue jatuh, dia yang paling terluka kalo gue mulai menyerah,” tuturnya dengan air mata yang turun deras membasahi kedua pipi dengan menahan sesak di dada supaya dialog yang ia ucapkan terdengar tersampaikan dengan sempurna.
Yuga menggigit bibir bawahnya—mengepalkan tangan seerat mungkin untuk menahan diri tidak menangis. Jika Asa menangis juga, siapa yang akan menguatkan gadis malang tersebut?
Ia juga sesekali mengusap wajah untuk menguatkan diri untuk tidak menangis.
“Bi, kamu mau tahu kehidupan ku setelah gaada kamu?” tanya Asavella yang benar-benar seperti tengah berbicara dengan manusia seraya menekan-nekan tanah.
“Biar aku ceritakan, ya?” sambungnya yang ia tahu sosok yang menjadi rumah dan pendengar setia itu tidak akan meresponsnya.
“Dasar anak enggak guna, dasar anak jalang, dasar anak penyakitan. Dikit-dikit rumah sakit. Kerjaan cuma main hape aja. Saya punya anak kaya enggak punya anak,” ungkap Asavella mengulang tiap kata kedua orang tuanya yang begitu melekat pada tempurungnya.
“Ada lagi, seharusnya kamu enggak usah lahir. Enggak ada yang bisa dibanggakan dari kamu anak nakal. Anak bungsu yang nyusahin. Nyesel lihat kamu lahir di dunia, seharusnya kamu digugurkan aja. Kamu anak gadis gaada buat bangga-bangganya, pacaran aja terus cari neraka jangan cari surga ucap Kuntira dan Bara yang berstatus orang tua aku,” beo Asavella sedikit senyum kecewa dikala otaknya memutar penuh semua kata yang tersampaikan dari tahun ke tahun.
“Kata-kata yang singkat namun tersimpan sempurna untuk selamanya,” ucapnya dengan mengingat setiap kejadian.
“Bahkan … paling sadisnya manusia jahat adalah menginjak kepala ku dan menendang seperti bola ke sana kemari. Kamu tahu siapa itu, Bian? Iyah. Papah Bara.”
“Lebih puncak komedinya kamu tahu? Ada orang yang seolah menjadi dirimu dengan bodohnya aku percaya itu kamu dan aku hampir jatuh cinta dengan raganya.”
Asavella memejam mata. “Asal kamu tau, Bi. Sekuat apapun aku bertahan di bumi ini, aku kalo gaada kamu aku enggak bisa. Semua jadi hilang arah.”
“Tapi kepergian mu membuatku harus mandiri,” lirihnya yang sembari membuka mata berharap apapun yang tengah ia curahkan kepada seseorang itu benar-benar didengarkan.
Asa menarik senyum begitu tipis. “Brian ku istirahatnya terlalu lama, sampai lupa untuk mengajak separuh jiwanya ikut tidur untuk mengistirahatkan seluruh tubuh yang sudah penuh luka ini,” ucap Asavella menatap nisan milik Brian.
“Selamat hari kelulusan dan melanjutkan hidup lebih abadi Briannya, Asavella.” Asavella memeluk makam Brian sesekali menggigit bibir bagian bawah dikarenakan dadanya begitu sesak. Ia begitu tidak kuat hingga air matanya jatuh pada tanah bertabur bunga.
Ya. Bulan desember adalah hari di mana Asavella dinyatakan masuk pada satu tingkat duduk di kelas 12 dan Brian Claudius dinyatakan lulus dengan nilai terbaik serta mendapatkan beasiswa dari pihak untuk melanjutkan kuliah di universitas tertinggi di Indonesia dengan jurusan seni rupa.
Asavella paham. Yang melanjutkan sisa semester Brian bukanlah Brian Claudius Permana. Namun sosok Yuga Claudius Permana. Bahkan Yuga yang harus mewakilkan Brian begitupun dengan sosok Jysa yang harus mendatangi hari kelulusan mereka, tetapi memilih tidak hadir.
“Hadir mu seolah nyata sampai aku tidak mengetahui kepergian mu.”
Asa mencengkeram tanah dan membuat kuku-kuku tumpulnya kotor. “Enggak.” Asa menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASAVELLA [TERBIT] ✓
Teen FictionAku terlalu bahagia mengisi hari-harinya. Sampai aku lupa, bukan aku pengisi hatinya. ••••• Cover by pinterest Start : 8 Januari 2022 Finish: 28 Oktober 2023
Asavella 🍁63
Mulai dari awal