DUA PULUH SEMBILAN

371 44 21
                                    

Di dalam mobil Aji terus menerus mendengus kesal. Sedangkan Mas Bambang menatap nanar ke arah jalan, salah satu korban adalah tetangganya. Sedangkan aku sekuat tenaga menahan gempuran amarah yang tak kunjung hilang. Bukan hanya karena aku membenci mereka juga karena aku tak kunjung menemukan cara menghentikan semua ini. Sedangkan petunjuk hanya patung loro blonyo, kalimat telulas riringan juga mereka yang menunjuk ke arah gudang sparepart. Aku mendengus kesal disusul suara keluhan Aji yang tertahan dari kursi tengah membuat Mas Bambang kebingungan, "Ono opo toh Pak? Mas Aji?"

"Gak ada!" Tanpa komando kami mengucapkannya bersamaan membuat Mas Bambang langsung menutup mulutnya.

Pagi ini aku melewatkan sarapan, Adis sedikit ngambek. Namun saat aku mengatakan alasan jika nafsu makanku hilang karena melihat kengerian semalam, Adis segera mengerti dan hanya membuatkanku kopi seperti biasa. Wanita itu terus menerus memintaku untuk berhati-hati.

"Adis masih sering ke rumah bu Wiro?"

Adis hanya menggeleng sambil melanjutkan sarapannya. "Bu Wiro sudah berapa hari ini ndak kelihatan, Ari juga. Mungkin mereka berdua pulang kampung." Aku hanya mendehem mendengarkan cerita Adis.

"Bu Wiro mesakno yo?" Adis kembali bicara, wajahnya sedih dan prihatin.

"Kenapa?" lirikku sambil menyeruput kopi pahit.

"Mamas tau ndak kalau Bu Wiro, sebelumnya itu janda. Suaminya kerja di sini terus minggat sama perempuan lain. Giliran nikah lagi eh suaminya yang sekarang - Pak Wiro - malah tegel'an." (Tegaan)

"Kok Adis tahu? Kata siapa?" Tanyaku lagi.

"Kata ibu-ibu komplek begitu ... Awas ae sampai Mamas yang begitu, Adis sunat!"

Wanita dihadapanku menggerakkan tangan melintang seperti memenggal leher sambil melotot seram. Membuatku tersedak kopi panas, yang keluar dari hidung dengan rasa nyeri dan pedas. Ancamannya gak ada yang lain apa?

"Sembarangan Adis ini!" Tegasku sambil terbatuk.

Adis tanpa rasa bersalah meneruskan ucapannya. "Mamas tahu ndak siapa perempuannya?"

Secepatnya aku menggeleng. Wanita ini mendekat lalu berbisik "Istri Mas Bambang!" Wanita ini mengangguk sambil mencibir. "Ndak nyangka toh? Adis saja kaget." Ucapnya membuatku melongo tak percaya.

Istriku Adismi, informasimu sungguh berharga, Aji saja kalah. Ternyata ibu-ibu ngerumpi bisa menjadi petunjuk dan sumber berita.

Sosok laki-laki itu adalah suami Bu wiro, yang kerap datang dan bebicara padanya. Yang memperlihatkan kepalanya yang menggelinding di jendela rumah. Yang mengganggu Aji.

Pria itu adalah korban tumbal bersama dengan Istri Mas Bambang, Mereka sepasang loro blonyo! Sedari awal kedua sosok itu memberiku peringatan. Sial ternyata dari pertama semuanya hanya berputar di sekitarku saja.

Hanya tinggal satu hal lagi yang belum aku pastikan, di mana loro jaler? Aku bergegas masuk ke dalam kamar sebelah dan ... Loro estri sudah menghilang, aku segera merunduk ke bawah ranjang memeriksa didalam kardu, kosong!

Aku terus memeriksa setiap sudut kamar, nihil! Patung itu sudah tak ada! Aku segera menyadari jika kedua sosok itu, beberapa hari ini tak pernah terlihat.

Firasat! Lagi-lagi firasatku memburuk. Wahai Andra jawa yang ada dalam diriku sebenarnya apa yang terjadi. Apakah yang kau maksud menyelesaikan adalah menghentikan pengorbanan gila ini? Aku berharap jika aku bisa bertemu dengannya lagi, Andra yang lain.

Sore ini suasana kerja sangat berbeda. Orang-orang enggan untuk bicara. Beberapa kali terjadi kecelakaan membuat semua karyawan ketakutan. Wajah-wajah cemas itu seolah mengatakan bagaimana jika aku mati malam ini?

Mereka sungguh enggan bicara satu sama lain. Herannya meski keadaan seperti ini mereka masih saja bertahan, saat aku bertanya pada mereka jawabannya begitu mengiris hatiku.

"Kalau kami keluar sekarang pak, anak istri mau makan apa?"

Dan seseorang lain juga menyahut, "Itu hanya sial saja Pak namanya saja ajal. Kita kan gak tahu waktunya." Pendapatnya disepakati bersama dengan anggukan bapak-bapak yang lain. Seandainya saja mereka bisa melihat kengerian Nyi Ireng, aku yakin sudah lama mereka angkat kaki.

Di atas meja pekerjaanku tak kunjung berkurang. Selalu saja bertumpuk padahal setiap hari aku sudah menghabiskan semua dokumen di meja tapi esoknya selalu bertambah lagi. Dan masalah terakhir juga sedikit merepotkan, kadar CaO dalam kapur tak sesuai standar. Membuatku harus memisahkannya dari tumpukan yang lain. Jujur saja para pekerja borongan masih takut untuk bekerja di sana semenjak kejadian mengerikan kemarin.

Desas desus berhembus di antara para karyawan jika saat malam hari kerap terdengar erangan orang minta tolong. Wajar saja! Mereka semua jadi arwah penasaran. Kematian mereka tidak normal. Apalagi kemarin mereka ramai-ramai mendatangiku.

Bahkan beberapa saat yang lalu saat mengantar beberapa orang dari Divisi Laborat yang meminta sample kapur. Aku melihat sosok mereka bertiga dengan wajah hancur menggapai-gapai meminta tolong. Pengelihatan ini benar-benar merepotkan. Lagi-lagi mereka memanggilku Raden!

Dengan sedikit pijatan di kening aku berharap bisa meringankan sedikit beban kepalaku namun tak berefek apapun. Aroma menthol yang ku usapkan juga tak mampu mengurangi sesak di otak. Sebenarnya aku bisa saja pergi sekarang juga tapi lagi-lagi hatiku yang haus memintaku untuk tetap bertahan dan mencari kebenaran masa laluku.

Salim Chandra ya? Salim ... Salim Chandra? Apa arti namaku ini? Kenapa sosok Andra yang aku temui itu mengatakannya padaku? Belum lagi petuahnya yang masih tak kumengerti.

Suara radio berdenging nyaring dengan frekuensi tinggi menusuk telingaku membuatku sontak menutup telinga. Aku pikir seseorang memanggilku namun suara itu berganti menjadi gending pengantin yang sayup dan bercampur dengan gemerisik radio.

" ....Raden... Iki kulo ... Nyi Ireng ..." lalu suara cekikikan lirih terdengar membuatku kaget setengah mati. Refleks aku melemparkan handy talkie ke lantai.

Ini masih terang bisa-bisanya? Tak lama bau kantil dan melati menyengat hidungku membuat kudukku meremang. Memang ya setan di sini tak peduli mau siang atau malam. Tapi ternyata jam di dinding menunjukkan pukul enam dan semburat merah dari bias jendela memantul di dinding. Wajar saja, sudah surup rupanya!

Menjadi lebih peka membuatku mengerti satu hal Jika masuk waktu maghrib seperti ini batas dimensi mereka menjadi sangat tipis, wajar saja jika orang tua jaman dulu kerap memaksa anak-anak masuk kedalam rumah.

Nafasku menjadi berat karena dua dimensi ini bertabrakan. Aku bergegas sholat, meskipun aku mualaf namun entah mengapa setelah aku melakukannya hatiku jadi lebih tenang. Mungkin mirip seperti meditasi, tapi juga bukan.

Entahlah! Yang pasti aku tak pernah melewatkannya sama sekali. Salah satu hal yang membuatku bersyukur bisa menikah dengan Adis. Jika tidak mungkin aku masih tak punya tujuan hidup, hanya seonggok daging yang berjalan.

Salam terkhirku setelah tahiyat akhir, membuatku teringat petuah jawa kemarin.

"Menungso kui kudu okeh dungo karo gusti pangeran, ojo keakean sambat ojo keminter lan ojo ngeroso luweh hebat teko menungso liyane."

Berdoa ya? Jika Tuhan memang mengabulkan doa hambanya, Ya Allah aku ingin semua kengerian ini berakhir dan beri aku petujuk untuk menyelesaikannya. Amiin.

Baru saja aku melipat sajadah, entah kenapa pikiranku teringat Almarhum Pak Mamat yang berdiri di belakang gudang dekat pos satpam yang terbengkalai, mungkinkah ada maksudnya? Kemarin juga mereka serempak menunjuk ke arah Gudang Sparepart ini.

Aku membulatkan tekat harus memeriksanya secepat mungkin. Tapi mungkin tengah malam nanti. Suasana masih ramai juga aku belum tahu siapa saja yang terlibat. Bisa-bisa aku mengacaukan rencana Aji. Ah iya sebaiknya aku mengajak si pitak. Sekalian bilang kalau ibu-ibu rumpi bisa jadi referensi!


Untuk yang penasaran pakai banget! Silakan ke KaryaKarsa, monggo di sana sudah mau tamat. saya diskon murah Rp. 15.000,- sudah bisa baca semua. 

Untuk dukungannya, matur suwun saget ngih!

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang