“Mancing apa? Aku belum bilang sama Adis.” Ucapku pendek. Aku tak pernah pergi tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Bukannya apa, aku hanya tak ingin Adis khawatir. Wanita itu cengeng bukan main!
“Cuma sebentar.” Aji masih bicara sambil terpejam. Bersender di kursi tengah terkadang ia juga mengusap kasar kepalanya yang cepak.
Di tengah jalan poros utama, si panther hitam melaju meninggalkan jejak debu. Kami sudah berjalan sekitar 15 menit, menyusuri areal tebu yang panas menyengat. Beberapa kali kami berpapasan dengan mobil perusahaan yang mengangkut tenaga kerja.
Tak jarang juga kami menemui traktor yang sibuk membajak areal yang luas. Debu berhambur bagai kabut, beberapa pekerja bercamping tersebar di tengah areal.
Sepertinya mereka pekerja dari Divisi Riset, mengambil sampel batang tebu. Padahal cuaca di luar panas bukan main. Tapi lagi-lagi sebagai budak korporat, demi sebingkai mimpi, demi piring yang harus di isi. Sama sepertiku kami tetap bertahan.
Kini aku tahu kenapa Aji begitu kekeh mengusut kasus ini. Meski kadang ucapannya ceplas ceplos, tapi dedikasinya sebagai pelayan masyarakat patut diacungi jempol. Aku pikir negeri ini membutuhkan banyak aparat sepertinya.
Aku masih ingat betapa keras wajah dan amarahnya melihat kematian pekerja pupuk kemarin. Seakan mereka juga bagian dari dirinya. Aji bahkan bersumpah tak akan membiarkan Wiro dan semua orang yang terlibat lolos begitu saja.
Sepanjang jalan kami membelah areal, di kiri kanan berjejer ribuan tebu yang mulai berbunga, tanda jika harus segera di panen, jika tidak kadar gula dalam batang tebu akan berkurang, setidaknya begitulah yang aku baca di dalam buku SOP tebal kemarin. Sepertinya jika aku resign dari sini, aku pasti bisa menjadi petani tebu yang sukses.
Mobil terguncang-guncang di jalan berlubang, hingga sampai di tengah persimpangan jalan tumpukan tanah menggunung dengan sebuah ban hitam yang berdiri tegak menjadi tanda batas areal dan perkampungan pribumi. Saat mobil berbelok, tepat di ujung jalan jembatan besi berkarat berukuran lebar empat meter membelah sungai dengan air cokelat keruh.
Sungai ini tidak besar juga tidak kecil, mungkin hanya selebar puluhan meter dengan arus yang tenang. Di pinggir sungai rumput ilalang tumbuh lebat juga pohon ingas yang rimbun dan besar. Beberapa pohon tertutup tanaman merambat, dengan riuk jelantir menutupi hampir seluruhnya.
“Mas Aji, kita maju terus atau gimana ya?” Mas Bambang menghentikan mobil tepat di depan jembatan,
“Nyebrang saja Mas, kita mancing di sana saja.” Aji bicara dari kursi belakang.
Dari kaca tengah mobil aku memperhatikan jika sepanjang perjalanan Aji kerap melihat ke belakang.
“Aji? Kita bener mau mancing?” Aku masih ragu dengan ucapan si cepak. Pasalnya tak ada satu pun joran yang kami bawa.
Aji hanya mendehem singkat, lagi-lagi dia melihat ke belakang. “Mas Aji dari tadi nengok terus kenapa toh?” Mas Bambang mewakilkanku bertanya.
“Berhati-hati itu lebih baik.” Singkat dan jelas, meninggalkan kerutan di wajah Mas Bambang yang bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEBU MANTEN (SELESAI)
HorrorODOC WINNER SUJU XIII 2023 Warning : Gore and Explicit Content Tahun 1996, PT. Segoro Legi (PT.SL) sebuah perusahaan di pedalaman Lampung tempat Andra mengadu nasib demi istri tercintanya yang kadang ngeyel dan menyebalkan. Gaji dan tunjangan yang b...