Suara rintihan korban semakin lemah. Di bawah sela tumbukan karung yang putih, mengalir cairan merah dan kental. Menit berikutnya forklift datang, satu persatu karung di tarik dari bagian atas dengan hati-hati. Aji sigap mengabarkan paramedis dengan radionya.
Suasana tegang dan mencekam. Kami berpacu dengan waktu, secepat mungkin menyelamatkan para korban.
Sepuluh menit kemudian, pendaran lampu merah biru dengan jeritan sirine meraung-raung mendekat masuk ke dalam gudang.Tim paramedis sampai, satu persatu dengan cepat para pekerja yang selamat bahu-membahu menyingkirkan karung ukuran 50 kg. Teriakan pekerja satu sama lain, saling mengingatkan untuk tetap berhati-hati.
Aku dan Aji sudah tak peduli dengan panas yang menyengat kulit karena terkontaminasi kapur. Bahkan rambut kami sudah kelabu karena hamburan kapur yang tebal. Beberapa orang terbatuk-batuk, tersedak udara yang panas. Satu persatu korban di tarik, aku sungguh tak percaya tiga orang meninggal di tempat, mataku panas dan berkabut karena air mata yang menggenang, melihat keadaan korban yang menggenaskan dengan luka pecah di kepala juga tulang rusuk yang patah.
Darah membanjir, menganak sungai di lantai beton. Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Anyir darah bercampur bau chemical yang menyengat. Aroma kematian yang tak akan aku lupakan sampai kapanpun.
"Ndra, bantu gue angkat yang terakhir," Aji kembali memanggilku untuk memapah korban di tubuh bagian atas, sedangkan si kacamata mengangkat kakinya. Seragam putihku sudah berubah warna jadi merah, begitu pula dengan Aji. Tangan kami lengket karena darah juga serbuk kapur yang menggumpal. Aku semakin bergidik ngeri melihat wajah korban yang hancur juga leher yang patah. Mungkin saat kejadian, dia masih berdiri dan langsung dihantam karung yang meluncur sekuatnya.
Tak terbayangkan bagaimana perasaan keluarganya. Sesaat yang lalu dia ijin untuk bekerja namun pulang tanpa nyawa. Isak tangis beberapa rekan mengiringi kepergian korban yang dilarikan ke rumah sakit untuk visum.
Aku terpukul hebat, masih sulit mencerna. Semuanya begitu cepat, hanya beberapa menit. Tapi tiga nyawa meregang dengan tragis, padahal beberapa menit yang lalu salah satu dari mereka masih mengajakku untuk ngopi bersama. Terbesit dalam hatiku bagaimana jika aku yang ada di bawah sana? lalu Adis?
Aji mendekati TKP, pria cepak itu menunduk ke bawah memeriksa tumpukan palet kayu juga memeriksa karung-karung yang longsor, entah apa maksudnya. Tak lama dia berjalan mendekat sambil sedikit melompat melewati genangan darah yang mulai membeku.
Matanya mengawasi sekitar dan terkunci ke arah pintu gudang. Pria gempal - Wiro - berdiri disana, menyaksikan dengan tenang dan dingin. Aku yakin sekali, dia sedang tersenyum.Aura dendam menyelimuti Aji, matanya berkilat penuh kebencian. Aku segera menghalangi pandangannya, memberikan isyarat untuk menahan diri. Pria berkacamata itu mengangguk paham.
Meskipun keadaan sudah terkendali, tapi tumpukan karung yang bercampur darah belum bisa disusun ulang demi kepentingan penyidikan.Akhirnya malam ini pekerjaan mengecor lantai gudang gula tertunda. Tumpukan semen juga ikut tertimbun kapur.
"Ndra, balik dulu yok, ganti baju!" Jarak yang sedikit jauh membuat Aji bicara sedikit berteriak.
"Gak perlu Ji. Ada kaos di kantor pakai itu saja."
"Eh?" Aji sedikit terkejut.
"Wah persiapan Pak Andra mantap juga!" Pria cepak itu mengacungkan jempolnya.
"Kemaren sempet kehujanan, Jadi dari pada sakit lagi dan diomeli Adis lagi aku bawa beberapa untuk cadangan." Ujarku sambil bergegas menuju toilet. Pakaianku lengket juga anyir. Hampir seluruhnya bagian depannya tertutup darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEBU MANTEN (SELESAI)
HorrorODOC WINNER SUJU XIII 2023 Warning : Gore and Explicit Content Tahun 1996, PT. Segoro Legi (PT.SL) sebuah perusahaan di pedalaman Lampung tempat Andra mengadu nasib demi istri tercintanya yang kadang ngeyel dan menyebalkan. Gaji dan tunjangan yang b...