TUJUH BELAS

387 40 31
                                    

Pria cepak berkacamata itu duduk tepat dihadapanku, dia hanya diam sambil menyilangkan kedua tangannya. Menatapku yang frustasi sampai-sampai menjambak rambutku sekuat mungkin.

Selepas kepergian Mbak Ayu, gejolak dadaku langsung padam, seperti api yang disiram air. Aneh dan tak masuk akal. Gejolak syahwat ini tak normal.

Aji hanya terdiam mendengarkan ceritaku dari awal, kadang ia juga mendehem pelan sambil sesekali membetulkan kacamatanya yang melorot. "Jadi gimana Ji?"

"Gue bukannya gak percaya sama loe Ndra, apalagi loe cerita masalah gending juga hantu pengantin."

"Yah ... itu memang gak masuk akal." Aku sudah menduga jika jawaban Aji tak sesuai dengan harapanku.

"Buat gue, mahluk paling menakutkan itu manusia Ndra. Apalagi orang macam Pak Wiro, loe udah denger?"

"Mayat?" Aji mengangguk mantap.

"Gak ada bukti, jangan sembarangan." Aku segera mengingatkannya, kalau sampai orang lain mendengarnya bisa gawat.

"Itu yang mau gue cari di sini. Loe masih inget waktu gue bilang di sini banyak orang hilang dan kecelakaan kerja?"

Sambil mengangkat bahu aku mejawab pertanyaan Aji. Si kacamata seketika menarik kertas kosong dan menuliskan sesuatu.

"Di sini musim giling selalu di mulai dari bulan Maret sampai September dan kejadian kecelakaan kerja selalu dilaporkan di bulan Januari sampai Februari. Walaupun terkadang memang terjadi di bulan lain."

"Tapi yang mengherankan jumlahnya meningkat mendekati buka giling. Selalu! Sementara orang-orang yang hilang, mereka semua juga bekerja di sini, itu bukan kebetulan." Aji terus menuliskan semuanya di atas kertas dan menghubungkan semua kesimpulannya dengan satu garis.

Sekali lagi Aji berhasil membuatku tercengang. Pemuda ini semakin misterius, membuatku sedikit curiga mungkin saja pria cepak dihadapanku ini mempunyai tujuan tersembunyi. Jadi sebelum aku terseret semakin jauh setidaknya aku menegaskan satu hal.

"Aji, siapa kamu sebenarnya?"

Dan pertanyaanku menjadi serangan telak untuk Aji, wajahnya berubah bengis seperti semalam. Tapi dia segera menghela nafas panjang meredakan emosinya.

"Ndra, gue bukan orang jahat seperti yang loe pikir. Sorry gue gak bisa kasih tahu sekarang. Tapi sebaiknya loe berhati-hati. Gue punya firasat penerimaan kerja loe, gue juga Teh Asih ada hubungannya." Aji meremas kertas yang ditulisnya dan memasukkannya dalam saku. Dia sungguh cermat dan berhati-hati.

Seperti menghindar, Aji bangkit dari kursi meninggalkanku yang bingung, sesaat sebelum keluar dia berhenti dan bicara tanpa memalingkan wajahnya sedikitpun. "Jangan percaya siapapun!" Tegasnya.

Belum juga perasaanku membaik suara Pak Wiro menjerit dari radio komunikasi memanggilku untuk pergi ke proses bagging. Lagi-lagi firasatku berbisik.

"Andra, Please come with me!" Pak Wiro melambaikan tangan gempalnya padaku di depan tangga, menuju jalur conveyor yang mengangkut karung-karung gula keseluruh bagian gudang. Pria gempal itu tersenyum-senyum padaku, tapi mengingat ucapan Aji membuat pandanganku padanya berubah 100%.

Aku yakin pria dihadapanku ini pasti punya masalah mental. Bisa-bisanya dia bersikap ceria setelah menyiksa seseorang. Ucapan Aji berhasil mempengaruhiku dengan telak, jangan percaya siapa pun.

Kami melangkah di jalur pejalan kaki tepat bersebelahan dengan titian conveyor yang perlahan menanjak. Bermuara dari bagian bagging dan berakhir di ujung tiap-tiap gudang. Jarak titian ini puluhan meter dari atas lantai gudang yang terbuat dari beton. Ceroboh sedikit saja bisa jatuh meskipun sepanjang jalur pejalan kaki dibatasi barisan besi seperti pagar berwarna kuning setinggi dada orang dewasa.

TEBU MANTEN (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang