Part 9. Ancaman Bara

215 53 15
                                    


Assalamualaikum.

Mas Bara come back.


Zahira keluar dari ruangan Bu Firda  dengan menahan tangis, sikap Bara tadi melukai hati kecilnya.   Sebetulnya sudah sejak di dalam tadi rasa itu ingin meledak, tapi ia tak tahan. Jangan sampai dirinya terlihat lemah di hadapan Bara, bisa-bisa pria itu merasa besar kepala. 

Gadis berbulu mata lentik itu tergesa menuruni anak tangga menuju lantai dasar, padahal ia bisa saja menggunakan lift dari lantai lima, tapi semua tak terpikirkan. Yang ada dibenaknya saat ini hanya ingin segera enyah dari hadapan pria menyebalkan bernama Bara.

Langkah Zahira yang terburu-buru menyenggol tas seorang  wanita paruh baya yang sepertinya juga sedang dikejar waktu.

Zahira terkejut lalu membalikkan badan.

“Ma-ma-af, Bu,” ucapnya sedikit takut. Melihat gaya berpakaian yang dikenakan, Zahira yakin ia bukan orang sembarangan.

“Its, oke, enggak apa-apa. Lain kali hati-hati, ya,”  ungkap sang wanita seraya menatap lekat wajah Zahira.

Zahira mengangguk. “Terima kasih, Bu. Permisi,” pamit Zahira.

Wanita yang masih terlihat cantik di usia yang tak lagi muda itu membalas anggukan Zahira, lalu mengikuti jejak gadis berhidung bangir itu meninggalkan lobi rumah sakit menaiki lift menuju lantai lima.

Wanita yang mengenakan rok pensil selutut warna cream berjalan sedikit tergesa, ketukan high heels  yang tercipta dari keki jenjangnya mengundang perhatian beberapa orang di sana.
Tanpa mengetuk pintu ia merangsek masuk setelah sampai di salah ruangan petinggi rumah sakit.

“Ada apa, Fit?” tanya wanita berdagu lancip itu masih diambang pintu.

“Anak Kakak berulah lagi,” ujar Fitri terdengar kesal.

“Kenapa lagi?”

“Semaunya aja buat peraturan. Apa gunanya aku di sini kalau gitu,” Fitri berkata dengan wajah cemberut.

“Iya, tapi kenapa?” Wanita yang tak lain Deswita mamanya Bara, menutup pintu berjalan menuju sofa.

“Ada pegawai baru, dia udah training tiga bulan di sini. Karena kerjanya bagus, kepala HRD memutuskan menerima  jadi pegawai tetap. Eh, tiba-tiba anak emasmu itu ambil alih keputusan.” Bu Fitri menjelaskan duduk perkara seraya berjalan ke sofa.

Dahi Deswita mengernyit.” Keputusan apa?”

“Dia minta anak itu tidak diterima sebagai pegawai tetap, tapi kontrak. Selama ini kita tidak pernah pakai sistem-sistem seperti itu. Dia kenapa jadi ikut campur urusan beginian, sih! Apa di kantor kurang kerjaan?” Fitri mengungkapkan kekesalannya.

Deswita menghela napas, kelakuan Bara akhir-akhir ini kerap membuatnya pusing.
Deswita meraih ponsel dalam tas jinjing Gucci miliknya, mencari kontak dengan nama My Son setelah barang tersebut ia keluarkan.

Lima kali panggilan dari  Deswita, Bara acuhkan. Wanita itu melirik Bu Fitri yang duduk di sebelahnya, lalu menggeleng. “ Enggak diangkat, mungkin sedang meeting atau lagi sama klien,” ujar Deswita.

Jari lentik Deswita lantas mengetik sesuatu untuk di kirim pada putra kesayangannya.

Nanti malam Mama tunggu di rumah. Penting!”

“Kakak pikir ada apa tadi. Ya sudah, nanti Kak Wita bicarakan di rumah,” ucap Deswita seraya bangkit dari duduknya.

Fitri bergeming. Kekesalan masih meliputi hatinya sejak Firda melaporkan permintaan Bara tadi.

Deswita meninggalkan ruang kerja Fitri, urusan dengan Bara akan diselesaikan nanti malam di rumah, itu yang ia katakan pada sang adik karena beliau harus mengunjungi peresmian salah satu cabang bisnisnya. 

Masih di rumah sakit Bakti Mulia, pria yang mengabaikan panggilan telepon dari sang mama tengah menyusun strategi untuk membuat Zahira menyesali perbuatannya karena telah berani membuat harga dirinya direndahkan. 

Zahira terus berjalan menyusuri trotoar mengikuti langkah kaki yang terus melangkah tak tahu arah. Entahlah ... ia masih belum bisa berpikir normal saat ini. Tawaran dari Bara tadi membuatnya serba salah. 

Kontrak dua tahun? Huff .... Bisik hati Zahira.

Ia yakin ini hanya akal-akalan Bara saja. Namanya kontrak pasti akan terikat, kan? Andai dirinya betah, kalau tidak? Denda pasti menanti. Bayangan Bara yang akan berbuat semaunya terus menari di pelupuk mata Zahira.

Zahira menengadahkan kepala, menahan agar lelehan bening yang sejak tadi di tahan jangan sampai jebol. Sebenarnya Zahira bisa saja melamar ke tempat lain, tapi akan sangat membuang waktu. Capek menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan baru.

Langkah kaki Zahira terhenti di salah minimarket yang ia lalui. Kepalanya mendadak pusing dibarengi tubuh lemas. Ia baru sadar kalau tadi belum sempat memasukkan makanan apa pun ke mulutnya.  Gadis berhijab hitam menilik jam di pergelangan tangan, pukul 12. 15.

Zahira memutuskan membeli roti dan air mineral di minimarket tersebut, dan bergegas mencari masjid untuk salat  sekalian istirahat.

💕

Malam ini di kediaman Alex Abrasam.
“Mama nggak ngerti lagi jalan pikiran kamu, Bara. Kamu ngapain, sih, ikut campur  urusan rumah sakit. Itu bukan ranah kamu.” Deswita berkata dengan nada emosi.

Pria yang jadi objek kemarahan hanya melirik sekilas, melanjutkan suapan tanpa mengindahkan ucapan sang mama.

“Please, Bar, jangan buat kepala Mama pusing mengurusi hal-hal yang nggak penting begini. Buang-buang waktu."

Pria berkaus oblong warna abu-abu terdengar menghela napas, meletakkan garpu dan sendok lalu menatap wanita yang telah melahirkannya itu.

“Mama juga tumben ngurusin hidup Bara.”

“Untuk kali ini Mama harus turun tangan. Kelakuan kamu makin hari makin aneh, Bara. Tidur di rumah sakit, ngatur-ngatur kepala HRD siapa yang pantas dan tidak untuk dijadikan pegawai di sana. Kamu kurang kerjaan?”

“Ck! Tante Fitri bisanya cuma ngadu.”

“Jelas dong, itu wilayah kerja dia. Wajar kalau marah.”

“Bara melakukan itu punya tujuan, Ma. Dan Bara rasa apa yang Bara lakukan nggak akan berpengaruh besar untuk kemajuan rumah sakit, iya, kan?”

“Tapi tindakan kamu itu konyol dan tidak dibenarkan. Tujuan apa yang sedang kamu rencanakan?”

Bara masih tak merespons ucapan mamanya. 

“Cukup Bara, jangan usik-usik area Tante Fitri. Biarkan itu jadi tanggung jawab dia. Satu lagi, kamu segera angkat kaki dari kamar yang kamu tempati itu.”

“Oke, Bara akan pulang ke rumah. Tapi, jangan halangi apa yang akan Bara lakukan.”  Bara berkata seraya bangkit dari duduknya menuju kamar.

“Bara!” teriak Deswita, yang hanya dianggap angin lalu oleh sang anak.

💕💕

Malam menyapa, dua gadis di bawah tanggung jawab Dyaz tengah duduk di teras kontrakan. Zahira yang beberapa hari ini terlihat tak bersemangat mengundang tanda tanya Kirana.

“Kak Dyaz bilang akhir-akhir ini sering lihat kamu melamun, Ra. Ada masalah?”

Zahira yang sedari tadi memandang bintang di atas sana menoleh, merubah posisi duduk lurus ke depan.

“Apa aku salah, Kir, menjauh dari orang kayak Mas Bara?” tanya Zahira dengan tatapan kosong.

“Bara? Dia lagi?”

Zahira mengangguk.

“Apa pun pilihanmu, aku yakin itu yang terbaik. Untuk apa melanjutkan hubungan jika sudah tak ada kenyamanan.”

“Tapi, kenapa dia kayak dendam banget sama aku, Kir?"

“Dendam?”

Gadis yang mengenakan hijab instan warna biru dongker itu kembali merubah duduk menghadap Kirana, dan  mulai menceritakan bagaimana perlakuan Bara padanya sejak tahu dirinya bekerja di rumah sakit milik keluarganya, juga tentang tanda tangan kontrak yang harus ia jalani.

“Kontrak?” tanya Kirana, wajahnya terlihat terkejut.

Zahira mengangguk. “Aku yakin ada hal besar yang sedang Bara rencanakan.”

Kini giliran Kirana yang tampak berpikir.

“Kamu nggak ada niatan cari kerja di tempat lain, Ra?” 

“Masalahnya nggak sesederhana itu, Kir. Aku udah tiga bulan lebih pergi dari rumah. Kamu tahu, kan gimana keadaan Ibu. Kalau cari kerja ke tempat lain bakalan butuh waktu lama lagi, penyesuaian lagi, sistem gaji juga nggak bakal sama. Di Bakti Mulia gajinya, kan lumayan, Kir.”
Suasana hening.

“Kita harus bicarakan ini sama Kak Dyaz, Ra.”

“Apa nggak berlebihan, Kir? Ini, kan masalah pribadi.”

Kirana menggeleng. Menolak anggapan Zahira.

💕💕

Dyaz tiba di kantor lebih awal, aduan Kirana semalam memantik emosinya. Ia akan menyelesaikan masalah ini dengan Bara. Pria itu tak boleh terus-terusan menyakiti Zahira.

Dyaz yang ada di kubikel menoleh sekilas saat melihat Bara yang baru datang langsung memasuki ruang pribadinya. Berselang lima menit, pria berkemeja slim fit warna lilac itu bangkit menuju ruangan Bara.

“Stop ganggu Zahira.” Dyaz yang menerobos masuk ke ruang kerja Bara tanpa permisi membuat terkejut pria depan laptop.
Bara menoleh, menggeser laptopnya lantas bangkit berjalan di mana Dyaz berdiri.

“Siapa lo berani atur-atur hidup gue.”

“Aku ke sini atas dasar kemanusiaan. Jangan sampai apa yang kamu lakuin  ke Zahira buat kamu menyesal nantinya.”

“Menyesal? Yang ada aku menyesal pernah kenal dia.”

“Setelah pagi ini, aku baru sadar dan harusnya menyetujui sejak awal langkah Zahira meninggalkan manusia egois seperti kamu.”

Mendengar apa yang disampaikan Dyaz, terang saja membuat Bara meradang.

“Awalnya aku pengen kalian balikan lagi, berkali menasihati Zahira agar jangan gegabah mengambil keputusan. Sebagai sahabat tentu aku juga sedih lihat keadaan kamu waktu itu. Tapi, melihat sikap arogan kamu yang sepertinya sudah mendarah daging justru harusnya aku tidak pernah mengenalkan kalian berdua.”

“Justru aku yang harusnya tanya? Kenapa tiba-tiba sikap Zahira berubah. Menolak lamaran gue, dan itu nggak mungkin terjadi tanpa ada campur tangan orang lain.”

“Terus, siapa yang mau kamu salahkan? Aku?” Dyaz berkata seraya tersenyum miring.

“Siapa lagi?”

“Dasar sinting! Stop menuduh orang sembarangan. Introspeksi! Aku yakin bukan cuma Zahira yang nggak mau dekat sama kamu, makhluk halus pun mikir seribu kali.”

Bara  tak terima, tatapan tajam ia arahkan pada pria berkacamata di hadapannya.

“Gue akan buat Zahira menderita karena udah nolak gue. Lihat aja?!”

“Dan kamu harus berhadapan denganku jika itu terjadi.” Telunjuk Dyaz mengarah ke wajah Bara dengan tatapan sengit.

Bara tersenyum miring.” Kita lihat, siapa yang akan jadi pemenangnya.”

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang