"Padahal Meli kangen adik,"

Gilbert berjalan mendekati cucunya dan menggendongnya, membawa Melisya keluar kamar untuk menghiburnya. Melisya yang tak tahu apa-apa justru ikut merasakan imbasnya. Memang benar, setiap orang yang sudah berumah tangga harus benar-benar bisa berpikir matang dalam melakukan apapun. Termasuk menjaga hati pasangannya. Jangan sampai pertengkaran orang tua anak yang merasakan imbasnya.

"Bangkit, gak usah jadi lelaki lemah. Hajar puluhan orang oke aja ditinggal istri lemah. Kamu kalau gini terus gimana nyari Zura dan anakmu. Kamu berharap sama siapa? Dia tanggung jawab kamu!"

Perlahan Gavril mengambil mangkuk bubur yang masih terisi penuh, dia memakannya sangat pelan walaupun lambungnya menolak asupan bubur ayam yang dibuat asisten rumah tangganya. Melati hanya bisa menangis melihat wajah pucat serta mata bengkak anak lelakinya.

"Maafin Mama, Zura. Mama gak maksud nyakitin kamu. Maafin Oma Dev, maafin Oma Meli udah bikin kamu pisah sama adikmu."

~~~

Dress panjang yang dikenakan perempuan muda membuat lelaki tampan yang baru datang tersenyum miring. Dia berjalan mendekati perempuan itu, menyampirkan jaket berwarna biru tua miliknya dipundak perempuan itu. Senyum tipisnya sembari mengeratkan jaket membuat lelaki itu tersenyum, tangannya mengusap puncak kepalanya sangat lembut.

"Anak lo udah tidur?"

"Udah, kalau belum ngapain gue kesini." Gumamnya pelan, Lerga hanya tertawa pelan.

"Gak ada rencana balik? Laki lo sekarat."

"Emang kalau gue balik dia sembuh? Gue bukan dokter apalagi malaikat. Ada enggaknya gue juga sama aja." Sahut Azzura sangat santai, tatapan matanya masih fokus pada bulan purnama yang terlihat sangat indah diatas air laut. Terlihat seperti sangat dekat tapi sebetulnya sangat jauh jaraknya.

Sama seperti dirinya, terlihat sangat dekat dengan Gavril. Tapi sebenarnya jauh, sangat jauh, ada jarak yang membentang diantara mereka. Dan jarak itu hanya Azzura yang tahu dan merasakannya. Gavril mungkin tak sadar, dia terlalu buta akan pemikiran sudah paling berjasa atau mengerti Azzura. Tanpa dia sadari hal-hal kecil yang tak disukai ataupun mengganjal dihati Azzura lama kelamaan bisa menjadi bom yang siap meledak saat hal itu terus diulang tanpa penyesalan.

"Lo udah gak ada rasa sama dia? Ya walaupun gue gak yakin, tapi gue cuma memastikan aja."

"Tanpa gue jawab lo juga tahu, Kak. Gak mungkin gue gak ada rasa tapi bertahan sampai saat ini. Gue pergi juga bukan meninggalkan dia untuk selamanya, gue cuma ngasih jarak dan bikin dia berpikir. Penting gak sih gue sama anaknya dihidup Mas Gavril. Kalau emang dia lebih baik tanpa kita, gue bisa hidup sendiri."

"Lo jauh lebih tegar dan dewasa dari yang gue pikirin, Ra." Lerga terkekeh pelan, dia merangkul pundak adik sepupunya dan mengusapnya pelan.

"Gue istri sepupu lo, Kak. Gak usah peluk-peluk."

Lerga hanya tertawa dan melepaskan rangkulan tangannya. Mereka kembali terdiam, Azzura menikmati semilir angin pantai dimalam hari. Sedangkan Lerga memikirkan kata-kata untuk membahas masalah kakak Azzura yang sudah pergi dalam keabadian.

"Btw, lo kok bisa nemuin gue sih?"

"Lerga gitu loh,"

Flashback...

Lerga berlari diterminal bus menuju tempat loket pembelian tiket, jam sudah menunjukkan pukul satu siang tak membuat Lerga menghentikan langkah kakinya dengan alasan panas ataupun berkeringat. Dia memang dari awal sudah berniat mencari Azzura, tapi karena kondisi kantor yang selalu ada meeting penting tak dapat digantikan akhirnya Lerga baru bisa mencari Azzura hari ini. Sepulang dia menjenguk sepupunya yang terkapar tak berdaya karena kurang asupan kasih sayang dari sang istri.

Hallo, Mas Suami. (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang