★ D.A - S3 - 26 ☆

10.5K 1.3K 161
                                    

"Hai, Delon, ya?"

Argon mengulum senyum. dia sudah menduga jika yang dipanggil oleh putranya tadi ialah Lawrence. begitu kembali berdiri, dia langsung disambut pelukan singkat ala laki-laki oleh sahabatnya itu. "Apa kabar, Law?"

Lawrence mendengus kecil seraya tertawa geli. Argon, sahabatnya itu kembali seperti setahun terakhir. terlihat lebih hidup. juga, terlihat semakin suka mengumbar senyum. terakhir kali mereka bertemu, dulu---saat Argon masih menetap di Swiss. definisi hidup tak hidup bisa dia katakan saat itu. bukti kehilangan yang amat mendalam, cukup membuatnya menyadari betapa besar kasih sayang yang sahabatnya itu miliki untuk Delon. ikatan keduanya hanya Ayah, dan anak angkat. namun, sahabatnya itu menganggap Delon seperti anak sendiri.

"Delon---"

Delon mengangguk kuat-kuat sebelum berhambur memeluk tubuh Lawrence setelah pemuda itu berlutut di depannya. setiap kali bertemu Raksa, dia tidak pernah absen menanyakan tentang Lawrence. sikap pemuda itu yang kerap kali lebih mementingkannya dibandingkan dengan Raksa, selalu membuatnya merasa tersanjung. juga, berada dekat dengan Lawrence, membuatnya terkadang merasakan kehadiran Angger. meski diantara mereka tidak ada yang mengenal sosok Kakak kandungnya itu.

Lawrence menggeleng sembari mencubit kedua pipi Delon dengan pelan setelah pelukan mereka terlepas. "Anak lo makin kecil, Ar!" celetuknya yang kemudian mendongak menatap Argon.

Ekspresi Delon berubah kesal. selalu seperti ini, kalimat singkat yang selalu dia dengar untuk pertama kali tidak pernah jauh dari tinggi tubuhnya yang minimalis. padahal, jika dibandingkan dengan Kara, tingginya tidak jauh berbeda.

Argon mengangguk menyetujui ucapan sahabatnya itu. "Tapi Law, sikap keras kepalanya masih sama!"

"Sebelum ngomong, Ayah harus ngaca dulu---"

Lagi-lagi Lawrence tertawa kecil. ucapan Delon memang terbukti benar, sahabatnya itu memang keras kepala sejak dulu. "Sikap keras kepala lo nurun ke anak lo, Ar. ya, nggak heran, sih!"

Kelakar tawa Delon terdengar detik itu juga. bahkan, Arsen dan Neo yang kini duduk di kursi santai depan kolam, kompak menoleh begitu mendengar suara tawa anak angkat Kakak sulung mereka yang terdengar nyaring, sekaligus menggelegar.

Argon sendiri mengulum senyum. kalimat Lawrence membuat perasaannya dilingkupi rasa nyaman, sekaligus haru. dunianya benar-benar berubah. dulu---bukannya dia membenci Delon saat berada di raga Kara. hanya saja, sikap remaja itu yang tidak cocok dengannya. adik bungsunya itu penurut, tidak pernah melawan, ataupun membangkang. namun, remaja itu justru kebalikan dari sikap Kara. untuk itu, dia tidak terbiasa. karena, sejak kecil adik bungsunya dia didik untuk menjadi penurut, bukan sikap pembangkang, apalagi suka melawan. maka dari itu, jika dia tetap mendidik putranya dengan keras, itu sama saja mereka kembali ke jurang masa lalu.

"Anak lo, Ar!"

"Ya, my son!"

Tawa Delon semakin keras terdengar. dia sadar jika kini dadanya terasa bergemuruh, degup jantungnya juga berdetak kencang dengan tidak sopan. definisi bahagianya sederhana, yaitu dianggap. awalnya, dia tidak mengerti. namun, gerak bibir yang dilakukan tanpa suara oleh Ayahnya itu bisa dia tangkap dengan jelas, Putraku.  "Ayaaah.."

💘

"Jaga keseimbangan, Delon!"

Delon merenggut. ternyata, ini tidak semudah yang dia pikir. yang dia lihat, naik skateboard itu hanya perlu berdiri, lalu meluncur. nyatanya, dia lebih dulu dipakaikan sepatu, helm, beserta pelindung lutut. ya, sekarang ini dia tengah belajar cara menaiki papan skateboard. mulai dari yang paling dasar, yaitu menjaga keseimbangan dengan berdiri di atas papan secara stabil. "Susah, Ayaaah.."

Different, D.A || Selesai ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang