Liburan seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan. Liburan seharusnya membuat hati penuh kebahagiaan. Namun, yang terjadi justru berkebalikan.
Pesan berisi ajakan dari teman-temannya Kina tolak sehalus mungkin dengan alasan sibuk membantu Ibu yang orderannya membeludak. Tidak sepenuhnya salah sebab gadis yang baru saja terkesiap lantaran lengannya dicolek itu benar-benar sedang berada di dapur katering. Tempat yang selama ini menghidupinya sehingga ia bisa makan, bersekolah, dan bersenang-senang.
"Mbak Kina, itu kuenya udah mateng. Ayo, diangkat. Jangan lupa pakai sarung tangan, ya," kata salah satu pegawai ibunya.
Kina tersenyum kikuk dan segera mengangkat seloyang kue sifon yang wanginya sering membuat orang menelan ludah.
Tepat setelah Kina memindahkan kue beraroma pandan itu ke kotak, ibunya menghampiri dan berkata, "Kin, udah sore. Kamu pulang aja, ya."
"Nanggung, Bu."
Nita menggeleng, menolak anaknya yang ingin membantunya hingga selesai. "Pulang. Nanti kamu kecapean."
Wanita paruh baya itu bukan tidak tahu. Hanya saja butuh waktu untuk berbicara dari hati ke hati dengan anaknya yang beberapa hari terakhir terlihat lebih diam dari biasanya.
Akhirnya, Kina mengangguk pasrah. Ia melepas apron, lalu mencangklongkan tasnya dan berpamitan.
"Kalau bosan makanan katering, kamu beli aja di luar," kata sang ibu yang lagi-lagi hanya dibalas anggukan.
Kina tidak mampir ke mana pun. Perutnya sudah kenyang hanya dengan mencium aroma makanan di dapur katering tadi atau tanpa ia sadari nafsu makannya menghilang karena mengetahui fakta baru dalam hidupnya.
"Ivanna anak Ayah ...." Kepala gadis itu pening acap kali mengingatnya. "Kenapa harus Ivanna?" tanyanya tak mengerti.
Ivanna begitu bersinar. Bahkan, sempat membuat Kina minder di awal pertemanan mereka. Apa mungkin karena Ivanna lebih di atas segala-galanya dibandingkan dia, jadi ayahnya lebih memilih anaknya yang satu itu?
Ah, anak. Air mata Kina tiba-tiba menetes dari sudut matanya. Ivanna bahkan seumuran dengannya. Bukankah itu artinya ayahnya sudah mengkhianati dia dan ibunya sejak awal?
"Kenapa Ayah nyakitin Ara? Kenapa Ara bodoh karena sampai sekarang Ara masih pengen ketemu dan ngobrolin banyak hal sama Ayah?" Bahu gadis itu bergetar karena isak tangisnya kian hebat.
Beberapa saat setelah tangisannya mereda, ponsel Kina dibanjiri notifikasi grup chat yang baru dibuat oleh Dean kemarin malam. Cowok itu mengundang teman-temannya agar datang ke rumah dalam rangka kucingnya baru saja melahirkan. Dan, seperti yang diketahui, Kina memilih untuk tidak datang.
Kina memandang puluhan foto kawan-kawannya saat di rumah Dean. Senyum samar terlukis di bibir kala matanya terfokus pada Mikha seorang. Pemuda itu, Kina bahkan sampai melupakannya gara-gara terlalu memikirkan ... Ivanna? Dahi Kina mengernyit menyadari tidak ada potret gadis itu di sana.
Seperti otomatis, tangan Kina bergerak membuka aplikasi Instagram. Jelas Ivanna tidak ikut berkumpul, gadis itu ternyata sedang berlibur ke Lombok. Ivanna memang tidak pernah mengunggah foto keluarganya entah karena alasan apa. Dan Kina baru menyadari itu malam setelah penerimaan raport, saat ia menelusuri profil Ivanna sampai ke postingan awal dan hasilnya nihil.
"Kinara."
Pesan dari Mikha muncul di layar bagian atas. Sayang, Kina tidak bisa langsung membalas karena ibunya yang baru saja sampai lebih dulu memanggil. Ia bergegas keluar kamar setelah memastikan tidak ada jejak air mata di wajah. Meninggalkan ponselnya begitu saja, membuat resah pemuda yang tengah berbaring miring di kasur empuknya.
"Emang kateringnya 24 jam nonstop apa?" gumam cowok itu, lalu menutup aplikasi chatting dan beralih membuka galeri. Ditatapnya foto Kina saat pemotretan kala itu. Bibir Mikha menyunggingkan senyum, dan tanpa sadar ia mengeratkan pelukannya pada guling.
"Ternyata kamu masih sama kayak dulu. Aneh, tapi lucu," komentarnya, kemudian menarik selimut hingga menutupi kepala. Menyerukan wajahnya ke bantal, menyembunyikan rona malu-malu meski tidak ada yang melihat.
"Hujan!"
"Ahhh!" Mikha memekik kaget saat selimutnya tiba-tiba tersingkap dan Oma Melati sudah berdiri di sisi ranjang. "Oma ngagetin aja," ucapnya dengan napas memburu.
"Kamu dipanggil dari tadi nggak nyaut. Ya sudah, Oma langsung masuk aja." Wanita tua itu lantas duduk di tepi ranjang cucunya.
"Aku ... aku tadi hampir tidur, makanya nggak denger."
Oma Melati tersenyum. "Bener? Terus itu foto siapa?" tanyanya sedikit memajukan kepala agar bisa melihat jelas layar ponsel Mikha yang menyala.
"Eh, ini ...." Mikha segera membalikkan ponselnya.
"Pacar kamu?"
"Bukan. Aku nggak punya pacar."
"Punya juga nggak apa-apa. Hujan, kan, sudah besar."
"Oma, ish!" Mikha memalingkan muka, tidak mau neneknya melihat wajahnya yang terasa menghangat.
Kembali wanita tua itu tersenyum. "Ayo, makan dulu. Papa sama Mama sudah nunggu di bawah."
Pemuda itu lantas bangkit dari ranjangnya dan segera turun seraya menggandeng tangan sang nenek.
Di rumah Kina, cewek itu baru masuk ke kamarnya lagi saat jam menunjuk angka sembilan. Ibunya sudah pergi tidur sejak lima belas menit yang lalu usai menonton film bersamanya. Sebenarnya, tidak bisa dibilang bersama juga sebab Kina tidak begitu memahami jalan ceritanya lantaran pikirannya sulit fokus.
Kina ingin memberitahu ibunya tentang "pertemuannya" dengan ayahnya. Namun, sebagian hatinya menolak karena takut tidak diizinkan untuk menemui sang ayah.
Sembari menunggu kantuk datang, Kina yang sudah merebahkan tubuhnya menyalakan ponsel dan membuka media sosial. Ia mengernyit heran mendapati akun Mikha membuat Instagram stories.
"Tumben banget," ujarnya, lalu mengeklik untuk melihat update-an cowok itu.
Saat kau lemah
Dan tak berdaya
Lihat diriku
UntukmuKapanpun mimpi terasa jauh
O ingatlah sesuatu
Ku akan selalu
Jadi sayap pelindungmuKina tersenyum miris mendengar lagu berjudul Sayap Pelindungmu milik The Overtunes yang di-cover oleh Mikha. "Apa iya, Mik?" tanyanya, "gue lagi lemah sekarang. Apa gue bisa berlindung ke lo? Bisa genggam tangan lo. Sebentar aja. Gue bingung, nggak tahu mau cerita ke siapa."
Gadis itu kemudian teringat akan pesan yang belum dibalas sore tadi. Membuka aplikasi chatting, Kina bermodalkan nekat, mengetikkan kalimat, "Gue boleh telepon?"
Hanya selang beberapa detik, ponselnya sudah berdering dengan nama Mikha menghiasi layar. Kina menggeser ikon hijau dan menempelkan benda pipih itu ke telinga.
"Halo."
Lidah Kina mendadak kelu. Ia terdiam beberapa saat, membiarkan orang di seberang telepon memanggil namanya.
"Halo, Kinara."
"Kinara?"
"Kenapa tiba-tiba mau telepon?"
"Lo baik-baik aja, kan?"
"Enggak." Kina akhirnya membuka suara, meski teramat pelan. "Gue nggak baik-baik aja," lanjutnya dengan wajah berlinang air mata.
"Kinara? Lo nangis?"
"Kinara?" Pemuda itu resah mendengar tangisan di ujung telepon makin memilukan.
"Hmm, ya, gue masih di sini," Kina menghapus air matanya, "gue mau cerita. Apa lo mau denger?"
"I-iya, gue mau. Tapi, tunggu sebentar, gue ambil headset dulu."
Kina mengiakan, lalu setelah beberapa saat ada bunyi grasah-grusuh, suara Mikha kembali terdengar.
"Mau cerita tentang apa?"
"Bokap gue."
.
.
.
Vote dan komen sebanyak-banyaknya biar aku semangat ygy 💗💗💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Hating Rain, Loving You
Teen Fiction"Kenapa kamu suka sama aku? Bukannya kamu benci hujan?" Cowok itu menelengkan kepala agar bisa melihat lebih jelas wajah malu-malu gadis di depannya. Senyum samarnya terukir dalam keremangan lampu jalanan. Kina mengangkat wajahnya, memberanikan diri...