Part 29

21.5K 2K 137
                                    


Pada malam hari, lebih tepatnya pukul setengah sepuluh malam. Azzura duduk di ruang keluarga dengan memeluk album foto ketiga kakaknya. Tiba-tiba perasaannya campur aduk saat tahlil tadi malam, apalagi melihat anak Ervi bersama Novi juga ikut datang untuk pertama kalinya di tahlil terakhir malam ini. Azzura membayangkan andai kakaknya masih ada, pasti semua ini tak akan pernah terjadi. Melihat ayahnya bersama istri serta anaknya yang lain.

Lalita sudah berjaga-jaga kalau sampai Ervi dan anak istrinya datang, jadi dia berdiam diri di dapur bersama Inka, Melati dan pembantu yang lain. Azzura yang mengerti kondisi ibunya hanya bisa tersenyum tipis, menghargai pilihan Lalita. Melati juga tak mempermasalahkan Lalita yang tak mau keluar. Dia melihat suaminya mengobrol dengan perempuan lain saja sudah terbakar, apalagi di posisi Lalita. Mungkin dia sudah gosong sendiri.

"Kenapa?" Tanya Gavril sembari melepas pecinya, dia duduk di samping istrinya dan merangkul bahunya sangat lembut. Azzura menoleh dan tersenyum melihat wajah damai suaminya malam ini.

Wajah Gavril yang awalnya terlihat sangat kelelahan mungkin karena keluar kota, pulangnya ada peristiwa tak mengenakan dan tetap harus bekerja menstabilkan kantor pusatnya setelah lama dia tinggal. Kini wajah Gavril lebih segar dari sebelumnya dan itu membuat Azzura bersyukur, suaminya yang mengurus semua urusan acara di rumah. Jadi kalau terlalu kelelahan apalagi di tambah kehamilan Azzura yang semakin besar membuat perempuan itu semakin rewel dia merasa bersalah.

"Gak terasa udah empat puluh hari Kakak pergi," gumam Azzura pelan, Gavril tersenyum manis dan menarik istrinya kedalam pelukannya. Tangan kanannya mengambil album foto yang tadi di peluk Azzura, menyimpannya di sampingnya agar istrinya tak berlarut dalam kesedihan.

"Mereka sudah bahagia dan tenang,"

"Apa mereka kangen Zura?" Gumam Azzura semakin pelan, Gavril tentu mengangguk dengan semangat.

"Tak mungkin mereka tak merindukanmu, Sayang. Kamu adik yang paling mereka cintai. Agar mereka merasakan kalau kamu juga rindu mereka, titipkan rindumu lewat do'a untuk mereka. Jangan putus berdo'a setiap habis ibadah untuk mereka. Kita sudah tak bisa memberikan apapun kecuali do'a dan keihklasan hati atas kepergiannya. Tuhan punya takdir lebih baik untuk mereka."

Azzura memejamkan kedua matanya dengan air mata mulai menetes lagi, membayangkan wajah ketiga kakaknya tersenyum melihat dirinya sekarang membuat hatinya merasa bahagia. Walaupun itu semua khayalannya tapi sungguh tak apa, dia sudah bahagia walaupun hanya khayalan belaka.

"Zura," panggilan pelan dari suara lembut di depannya membuat Azzura mendongak. Dia menghapus air matanya secara kasar.

"Kakak dateng?" Tanya Azzura di iringi senyum manis. Widi mengangguk dan tersenyum tak kalah manis.

Ini pertama kalinya Widi datang ke acara tahlil mendiang Kenzo, sebelumnya dia tak pernah mau datang dan lebih memilih mengurung diri di kamar. Bahkan butiknya saat ini nyaris tutup karena Widi tak mau mengurusnya lagi. Jalan hidupnya terasa hancur setelah kepergian keluarganya, tak berselang lama kekasihnya juga ikut pergi. Kalau masih ada Kenzo mungkin Widi masih bisa berdiri dengan tegak, tak seperti sekarang yang mudah roboh.

"Maaf, ya. Kakak gak pernah datang ke acara tahlil ketiga kakakmu." Ujar Widi, dia duduk di depan Azzura dan menatap wajah Azzura sangat lekat.

"Aku ngerti kondisi Kak Widi kok," sahut Azzura dengan senyum manis. Kedua tangan Azzura menarik tangan Widi dan menggenggamnya sangat erat, tangan yang terasa dingin dan basah di kulit Azzura membuat perempuan hamil itu mengernyitkan dahi.

"Kakak sakit?"

"Enggak, cuma sedikit lemes, Ra."

"Kakak jangan berlarut dalam kesedihan, Zura udah bangkit, Kakak juga harus bangkit." Widi menatap mata bulat Azzura yang mulai mengeluarkan kristal bening.

Hallo, Mas Suami. (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang