"Terima kasih atas kerja kerasmu. Aku sangat puas dengan kinerjamu. Sayang sekali ini adegan terakhir. Berharap, di film selanjutnya kau bisa bergabung lagi?" Sutradara Andrew tertawa lebar sambil menepuk-nepuk punggungnya.
Meski July lebih tinggi hampir lima belas senti darinya, pria paruh baya itu tetap mempertahankan senioritasnya. Sambil berjinjit, ia mengacak-acak rambut July hingga berantakan, seolah-olah ia penatua yang memuji kerja keras putranya.
"Terima kasih, Tuan Andrew. Senang bisa mendapat pujian dan kepercayaanmu," balasnya dengan suara ringan.
Jujur saja, July sedang menahan sakit di pundaknya, bekas tepukan sutradara. Bukan karena sutradara memiliki kekuatan ekstra. Hanya saja, cedera lamanya tak sengaja kambuh saat ia memerankan adegan terjun dari mobil boks tadi. Pendaratannya kurang sempurna, dan melukai pundak kanannya. Rasanya linu dan sakit saat digerakkan, apalagi ditepuk begitu.
"July, segera bersihkan badanmu. Kita akan makan malam untuk penutupan syuting hari ini," teriak salah satu asisten wanita.
"Uhh ... Ya, baik."
Dering telepon mengganggu konsentrasi July saat melepas baju. Ia hampir menjatuhkan ponsel barunya ke lantai. Demi ponsel yang harganya lima kali lipat dari gaji bulanannya, July sekali lagi melukai pundaknya, karena refleks menangkap ponselnya.
"Hisss ... Brengsek."
"Halo ... "
"Yo, July anak manisku, sedang apa?"
"Menyusun rencana pembunuhanmu?"
"Haha, itu lucu. Aku tidak tahu siapa yang melukaimu, tapi tolong bersikap lembut padaku. Ngomong-ngomong, aku baru saja mendapat tawaran bagus, kukira ini cocok untukmu. Hari ini syutingnya selesai, kan?"
"Hmmm ... Iya," jawabnya malas.
"Bagaimana rencanamu setelah ini?"
"Aku akan rehat sejenak? Ada apa dengan sikap bertele-telemu ini?"
"Woah, chill dude. Bagus kalau kau belum ada rencana. Traktir aku besok di kafe depan hotelmu. Aku akan membicarakan tawaran ini. Bye, aku akan istirahat."
"Bocah sialan," umpat July.
Ia memijat bahunya ringan, sebelum suara ketukan mengagetkannya.
"July, ayo kita berangkat!"
"Baik, tunggu lima menit."
Sedikit terburu-buru, July mengganti bajunya dan mengepaknya rapi. Rambutnya disisir dengan jari, menarik poninya ke belakang, menampakkan dahinya yang bersinar. Gaya rambutnya ini menambah poin ketampanan miliknya. Beberapa staff perempuan tersenyum malu-malu saat menatapnya.
Mobil melaju di jalanan yang ramai lalu berhenti di sebuah restoran bintang lima. Dekorasinya sangat indah dan elegan, catnya berwarna biru metalik, dihiasi dengan air terjun dinding dan beberapa dekorasi ikan. Restoran ini bertema akuatik yang sangat memanjakan mata. Sesuai dengan bintangnya, tak sembarang orang bisa makan di restoran ini, karena mereka sangat ketat dalam menerima tamu. Setiap tamu yang berkunjung harus melakukan reservasi sebelumnya. Namun, beberapa pengunjung VIP bebas memasuki restoran kapanpun, karena mereka memiliki bilik khusus atas nama mereka sendiri.
Rombongan memasuki sebuah ruangan VIP. Meja dan kursi telah ditata sedemikian rupa, bahkan makanan dan minuman sudah tersedia di atasnya. Setiap orang mulai duduk di kursi yang mereka anggap nyaman.
Makan malam berlangsung meriah. Para aktor dan aktris saling bercanda dan bernostalgia tentang pengalaman syuting mereka selama empat bulan. Beberapa bahkan mulai menangis, sebab tak ingin berpisah secepat ini. July duduk tenang di kursinya, menatap aktor utama yang dikelilingi banyak orang. Ia ibarat bunga yang dikerubungi lebah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Door
General FictionHarapan, keputusasaan, kegembiraan, kesedihan, kelembutan, kemarahan, semua perasaan ini July rasakan hanya karena satu orang. Satu orang yang memporak-porandakan angan-angan sederhananya. Ini kisah para pekerja keras yang tak mengenal waktu luang...