Bab 2

23 6 3
                                    

Daren keluar dari gedung kantornya tepat pukul lima sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Daren keluar dari gedung kantornya tepat pukul lima sore. Seharusnya ia sudah pulang sejak dua jam yang lalu, tetapi karena pekerjaannya yang terus menumpuk mengingat posisinya sebagai manajer, membuat lelaki itu terpaksa harus merelakan beberapa jam waktunya untuk mengurus hal-hal tersebut.

Lelaki itu menyalakan ponselnya dan menatap ruang obrolan dari aplikasi ojek daring yang belum ada balasan. Katanya, tukang ojek tersebut sudah dekat, tetapi sejak sepuluh menit yang lalu ia pesan jasa transportasi tersebut, batang hidungnya pun belum terlihat.

Bukan tanpa sebab Daren selalu menggunakan ojek daring sebagai transportasi sehari-hari. Semua karena kecelakaan enam bulan lalu. Sejak saat itu, Daren yang biasanya ke mana-mana mengemudi mobil sendiri menjadi takut dan mengingat momen-momen saat ia kehilangan istrinya setiap kali mencoba kembali duduk di belakang kemudi.

Awalnya, Daren mengira ketakutan itu hanya datang ketika ia kembali menyetir mobil, tetapi siapa sangka bahwa kendaraan roda dua pun membuat Daren gemetar kala mencoba menambah kecepatan. Alhasil, sepeda motor yang ia beli selepas kecelakaan itu hanya menganggur di garansi.

Daren menghela napas. Lelaki itu mendongak menatap langit sore berwarna jingga efek dari matahari yang mulai terbenam. Ia merogoh saku kemeja dan mengeluarkan sebungkus rokok dan dinyalakannya sebatang.

Kepulan asap berbentuk lingkaran terbang di udara kala bibir lelaki itu membulat ketika mengembuskannya. Perasaannya sedikit tenang, ia merasa setengah beban hidup yang membuat tubuh lelah menguap bersama kepulan asap.

Renungannya berakhir kala seorang pria dengan jaket berwarna hijau berhenti di hadapannya dan menyalakan klakson sepeda motor yang ia kendarai. Setelah mengucapkan beberapa kata permintaan maaf karena terlambatnya, pria itu segera menyodorkan helm berwarna hitam mengkilap pada Daren.

Lelaki yang sudah terlihat lelah itu segera menerima helm yang disodorkan dan naik ke sepeda motor. Setelah memperhatikan kanan dan kiri, pria berjaket hijau tersebut segera menambah kecepatan sepeda motor dan masuk ke badan jalan.

Selama perjalanan Daren hanya diam sembari memperhatikan beberapa tempat yang mereka lalui dengan pemikiran nostalgia. Tempat-tempat tersebut dulunya ia kunjungi dengan istrinya sesekali, meski tidak menyimpan banyak kenangan, tetapi tetap saja tempat tersebut menjadi saksi bisu di mana keduanya bahagia bersama.

Sepeda motor mulai mengurangi kecepatan dan dengan perlahan menepi kemudian berhenti tepat di depan bangunan dengan tulisan Yayasan Liana Kasih yang terpajang jelas di atas gerbang.

Lelaki itu turun dari sepeda motor. Kali ini ia tidak menyuruh ojek daring tersebut untuk menunggu mengingat tadi pagi Liana mengatakan akan mengenalkan seorang pengasuh dan Daren rasa akan menjadi pembicaraan yang lama.

Ketika Daren hendak membuka pintu gerbang, pintu tersebut terbuka lebih dulu dan keluar seorang perempuan dengan setelan kantor yang rapi menggandeng anak perempuan yang terlihat lucu.
Daren memperhatikan ibu dan anak tersebut untuk beberapa saat sebelum suara Liana yang lembut masuk dalam indra pendengarannya. Perempuan berusia tiga puluh tahun tersebut berdiri di bawah bingkai pintu.

Daren segera memacu langkah. Lelaki itu hendak menyapa Liana, tetapi tertunda karena Benyamin lebih dulu berteriak memanggil dan berlari penuh semangat ke arahnya. Bocah berusia tiga tahun itu tersenyum lebar sembari memeluk paha Daren yang besar.

“Papa, mama udah pulang kerja,” ucap Benyamin membuat Daren mengerutkan kening.

Daren menatap Benyamin dan Liana secara bergantian. Sebelum ia mendapat jawabannya, detak jantung Daren terasa berhenti saat itu juga kala suara yang familier terdengar di telinga menyerukan nama Benyamin.

Mulut lelaki itu terbuka sedikit kala si pemilik suara menyembul dari dalam bangunan dan berdiri di samping Liana. Tas selempang yang saat ini ia jinjing pun jatuh ke paving blok seakan otot-ototnya menjadi lemas ketika berhadapan dengan perempuan yang saat ini berdiri di hadapannya.

Wajah yang tirus, mata bundar seperti telur rebus, kulit kuning langsat, dan rambut curly yang diurai terlihat mengeper setiap kali perempuan itu bergerak. Mau dilihat dari mana pun perempuan itu mirip seperti istrinya.

Namun, beberapa saat kemudian Daren segera menggeleng pelan berusaha menyingkirkan pemikiran tidak masuk akal yang menyusup dalam kepala. Istrinya sudah meninggal dalam kecelakaan itu dan sosok di hadapannya hanya mirip saja.

Setelah menghela napas beberapa kali, Daren segera mengambil langkah dan mendekat pada perempuan yang terlihat seperti reinkarnasi istrinya itu. Lelaki itu berusaha tersenyum kecil dan mengulurkan tangannya.

“Halo, nama saya Daren, papanya Benyamin.”

Perempuan itu lantas ikut tersenyum dam menjabat tangan Daren. “Aku Sharoon.”

Dandelion (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang