Bab 3

79.1K 4.1K 62
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

Happy reading!

.
.
.
.
.

=_=_=


"Mondok itu apa Ayah?"

Azmina mengambil alih. Menghentikan sejenak kegiatannya menyuapi putrinya. "Sayang, mondok itu ngaji sambil nginep, di sana ada kamar, ada tempat makan bedanya di sana rame-rame. Salwa nanti bakalan punya banyak temen."

Salwa mengangguk-angguk walau tak sepenuhnya mengerti.

"Trus kalo kita tinggal di sana, rumah ini siapa yang pakai?" Salwa menatap lekat kedua orang tuanya, menanti jawaban.

"Ayah sama Bunda nggak ikut. Kamu yang akan tinggal di pondok pesantren," tegas Ayyub.

"Loh, kok cuma Salwa? Salwa nggak mau jauh-jauh dari Ayah sama Bunda. Salwa nggak mau ...,"

Langsung saja Salwa berhambur ke pelukan Azmina. Menumpahkan seluruh air matanya.

"Salwa dengerin Bunda. Kami juga berat mengirim Salwa ke pondok, tapi Ayah sama Bunda ingin Salwa lebih pinter lagi ilmu agamanya. Salwa mau 'kan bantu Ayah sama Bunda di akhirat nanti?"

Salwa mengangguk cepat.

"Nah, jadi Salwa mau 'kan ke pesantren?"

"Pesantren gulat maksud Bunda? Salwa di sana cuma tiga hari aja, 'kan?"

Azmina menghembuskan napas lelah. Putrinya memang kelewat polos.

"Bukan Sayang, nanti Salwa pulang ke sini kalau udah pinter ngajinya."

"Kalo tiga hari Salwa udah pinter, Salwa boleh pulang?"

Azmina beralih menatap suaminya. Ayyub mengangguk.

"Boleh, sayang. Tapi tunggu Ayah sama Bunda jemput, ya? Salwa nggak boleh pulang sendiri, ngerti?"

"Siap, Bunda!" Salwa mengangkat tangannya hormat.

"Sekarang kamu ke kamar sama Bunda, beresin barang yang mau di bawa ke pesantren."

Salwa meneguk tetesan terakhir susu coklat di gelasnya. Kemudian mengangguk. Melaksanakan perintah ayahnya.

Azmina memerhatikan Salwa yang langsung menuju meja belajarnya. Memasukkan buku-buku ke dalam tas berukuran sedang.

Salwa meletakkan tasnya ke kasur. "Udah, Bunda!"

"Sayang, baju sama perlengkapan lainnya nggak mau kamu bawa?"

"Emangnya harus, Bunda?"

"Harus, Sayang. Salwa bakalan tinggal di sana. Masa Salwa nggak mau bukan ganti baju?"

Salwa segera membuka lemarinya. Mengambil beberapa potong baju, "Segini cukup?"

Azmina maju, memilah antara baju yang panjang dan pendek.

"Loh, kenapa ini nggak di ikutin Bunda? Ini dress kesukaan Salwa." Salwa menunjuk dress kuning bunga-bunga kesukaanya.

"Salwa nanti di sana bolehnya pakai baju panjang sama rok panjang. Jadi yang ini simpen aja di rumah. Salwa pakainya kalau pas di rumah aja, ya?"

Salwa mengangguk.

"Salwa nanti tidur di pesantren, Bun?"

"Iya. Nanti tidurnya bareng sama temen-temen satu kamar."

"Kalo gitu, Salwa mau bawa kasur sama bantal guling Upin Ipin, biar temen-temen baru Salwa ngerasain juga tidur di kaaur kesayangan Salwa."

Azmina mendekati Salwa, mengusap puncak kepala anaknya lembut. "Nggak bisa gitu, Sayang. Di sana kamarnya udah ada kasur sama bantalnya. Salwa tinggal bawa baju trus buku dan siap belajar ngaji."

"Gitu, ya, Bun. Tapi Salwa nggak bisa pisah sama guling Upin Ipin. Sejak Salwa tidurnya pisah sama Bunda, cuma guling itu yang nemenin Salwa. Bo-boleh ... ya ... Bun ...," rengek Salwa. Bulir bening lolos dari netra polosnya.

"Guling aja, ya?"

"Heem. Yeay! Kita nggak bakalan pisahhh!" Salwa memeluk guling Upin Ipinnya erat. Sesekali juga menciuminya gemas.

=_=_=

"Bun-Bunda ... sa-sama ... A-ayah jangan ... lu-lupa se...sering ... sering ... nengokin Salwa, ya. Biar ... ka-kangennya ... Salwa ng-nggak nu-numpuk."

Salwa menangis sesenggukan. Tangannya masih setia memeluk kedua orang tuanya. Berat rasanya tinggal jauh dari orang terkasih.

Setelah Ayyub dan Azmina mengantarkan Salwa ke kamar asramanya dan menitipkan pada pengasuh pondok pesantren. Kini saatnya mereka pulang, meninggalkan anaknya menuntut ilmu di tempat ini.

Ayyub tersenyum lembut. Mengusap puncak kepala putrinya yang tertutup khimar berwarna kuning.

"Iya, princess-nya Ayah. Belajar ngajinya yang serius, ya. Kalau Salwa bisa hapalin Al-Qur'an, Ayah bakalan ajak Salwa liburan ke negara Upin Ipin. Salwa mau 'kan foto bareng Upin Ipin asli?"

"Mau! Mau! Salwa mau bangettttt!" Sorak Salwa bahagia.

"Di TV Upin Ipin suka ngaji, 'kan?" Salwa mengangguk. "Nah, Salwa di sini ngaji juga kayak mereka. Jadi anak baik, jangan bandel-bandel, hm?"

"Siap, Komandan Ayah!" Salwa hormat sambil menunjukkan deretan gigi putihnya.

"Pinternya putri Ayah," Ayyub menarik gemas pipi tembam anaknya.

"Bunda?" Salwa beralih menatap Azmina yang sedari tadi membisu.

Azmina segera menghapus air matanya. Lalu menunduk untuk menanggapi putrinya. "Iya, Sayang. Kenapa?"

"Bunda nangis, ya?" Tebak Salwa.

"Enggak Salwa. Ini Bunda senyum, kok. Salwa baik-baik di pondok, ya."

"Bunda jangan sedih. Salwa pasti belajar yang rajin, kok. Salwa 'kan mau jadi kebanggaan Ayah sama Bunda!"

"Bunda percaya Salwa bisa jadi kebanggaan Ayah sama Bunda. Jangan telat makan ya, Sayang. Bunda nggak mau Salwa sakit." Pesan Azmina. Dadanya sesak harus berpisah dari putrinya.

"Heem. Salwa nanti makan yang banyak. Bunda juga harus sehat-sehat di sana. Salwa nggak bisa usapin kepala Bunda soalnya."

Azmina terkekeh di tengah tangisnya. Memang setiap dirinya sakit, Salwa tak pernah absen mengusapi kepalanya. Bibirnya pun selalu memanjatkan doa meminta kesembuhan untuknya. "Iya, Bunda akan jaga kesehatan."

"Ayah sama Bunda pulang dulu, ya, Sayang." Ayyub mengecup kening putrinya.

Azmina pun ikut mencium pipi Salwa sembari memeluknya erat-erat. Tak kuasa menahan tangisnya.

"Bunda pulang dulu, ya." Meski berat, Azmina melepaskan pelukannya.

"Hati-hati Ayah Bunda,"

"Dadahhhh!" Tambah Salwa sembari melambaikan tangannya ketika kendaraan beroda empat itu mulai melaju.

Mobil yang membawa kedua orang tuanya perlahan menghilang dari padangan. Namun, Salwa masih enggan beranjak.

Tetes demi tetes air meluruh jatuh dari pelupuk matanya. "Ayah ... Bunda ... sebenernya ... Salwa takut ...,"

"Ekhm! Kenapa kamu enak-enakkan berdiri di sini? Memangnya kamu tidak ikut kajian?"

Salwa tersentak kaget. Menengok ke belakang, ada seorang lelaki yang berdiri tak jauh darinya.

"Hei, kenapa kamu diam saja? Saya bertanya sama kamu?"

Suaranya begitu tajam dan berat. Sementara tatapan lelaki itu sama sekali tidak mengarah padanya.

"Om, ngomong sama saya?"

______

Tbc.

Kalo ada yang nungguin cerita ini, afwan besok sampai waktu yang tak di tentukan bakalan absen. Lantaran nggak ada paket data.🙏🙏😁😁

Jazakumullah khairan khatsiran


GuS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang