23. Hati yang Patah

23 6 1
                                    

Jam kosong menimbulkan riuh di kelas XII IPS 3 dengan Caesar sebagai pelopornya. Cowok itu sedang berdiri di atas kursi dekat jendela. Tangannya entah sudah berapa kali meraih dahan pohon mangga, memetik buahnya, lalu dilempar dan menjadi rebutan anak perempuan.

"Gue dong, Sar." Bianca dengan mulut manyun merajuk lantaran belum juga mendapat mangga yang baru mulai matang.

Decak sinis keluar dari mulut Rachel. Hanya gadis itu yang sama sekali tak tertarik untuk ikut berebut. Lagi pula, untuk apa? Jika ingin, dia tinggal membelinya di supermarket dan rasanya sudah jelas manis.

"Bantuin, kek!" Bianca mengomeli teman semejanya.

"Males."

"Lo belum pernah cobain sensasinya, sih. Makan mangga yang baru dipetik, tuh, beda sama yang beli di supermarket. Lebih enak, makanya dulu gue suka manjat pohon mangganya Eyang kalau pas ke sana."

Rachel meringis. Membayangkan rasa asamnya saja sukses membuat perutnya melilit.

"Caesar! Gitu ya lo!" pekik Bianca saat pemuda itu lagi-lagi memberikan mangga yang didapat kepada yang lain.

"Berisik lo!" Rachel mengusap telinganya yang berdenging.

"Mintain makanya. Chel, ayo dong. Janji gue diem kalau udah dapet." Bianca menggoyang-goyangkan lengan sahabatnya. Masa bodoh Rachel makin murka. Yang terpenting sekarang dia bisa makan mangga. Ck! Sudah mirip orang ngidam saja.

"BUAT GUE!" Rachel bangkit berdiri.

Cukup dengan dua kata dari suara yang begitu dikenali, Caesar yang hendak melempar mangga ke Ola mengurungkan niatnya. Senyumannya mengembang, berbanding terbalik dengan Rachel yang memasang tampang judes.

"Apa, sih, yang nggak buat Rachel."

Hanya dalam waktu beberapa detik, mangga sudah berpindah tangan. Rachel kembali duduk dan menaruh buah di tangannya tepat di depan Bianca.

"Thanks, Babe." Bianca lantas mengambil cutter di tempat pensil, berniat mengupas mangga. Namun ternyata, semua tidak semudah yang dilihat dan dibayangkan karena ia terbiasa dilayani.

Lagi-lagi decak sinis terlontar dari mulut Rachel. "Dapetin mangga, nggak bisa. Ngupas, nggak bisa. Bisanya apa, sih, lo?"

"Emang lo bisa?" Bianca menantang temannya yang sering kali berbicara kelewat pedas.

Tanpa berucap, Rachel mengambil alih cutter Bianca yang ditaruh di meja. Wajahnya yang menampilkan raut percaya diri sontak berubah saat merasakan betapa kerasnya mangga itu sampai-sampai cutter yang digunakan meleyot.

Cewek itu menelan ludah. Tatapan Bianca yang terus memperhatikannya membuat Rachel nekat meluncurkan cutter yang malah berakhir mengenai ujung jarinya.

Bianca membelalakkan mata. "OMG, Rachel ... jari lo berdarah."

Gadis berambut lurus itu mengibaskan tangannya yang perih. "Gue mau ke UKS!" putusnya saat darah terus menetes.

"Temenin nggak?" Bianca yang fobia dengan segala hal yang berbau kesehatan bertanya retoris.

"Nggak usah. Lo 'kan cemen masalah beginian."

Bianca menghela napas lega.

Rachel berjalan keluar kelas. Tergesa-gesa ia menyusuri koridor di mana UKS berada. Dia sudah melepaskan sepatu dan menaruhnya di rak yang disediakan di dekat pintu. Saat itu pula, matanya melihat sepatu milik pemuda yang amat dikenalinya sebab ia yang membelinya sebagai hadiah ulang tahun setahun yang lalu.

Rasa perih pada ujung jarinya seketika hilang ketika mencoba mengintip dan mendapati ada dua orang di dalam sana sedang duduk berhadapan dengan raut serius.

"Kina, lo nggak perlu merasa bersalah karena pertama, gue nggak ada hubungan apapun sama Rachel. Dua, gue sama dia pure temenan. Cuma karena kita deket jadi banyak yang beranggapan kalau kita pacaran. Dan yang ketiga ...."

Mata Rachel memanas mendengar penuturan pemuda pemilik hatinya. Tak cukup sampai di situ, perasaannya dibuat hancur berkeping-keping saat perlahan tangan yang sering menggenggam tangannya berusaha menggenggam tangan perempuan lain dan sebuah kalimat yang menyakitkan pun meluncur.

"Gue sukanya sama lo ...."

Malam telah menjelang, tapi pemandangan menyakitkan pagi tadi masih tergambar jelas dalam ingatan Rachel. Angin malam yang menyapu bahunya yang terbuka ia abaikan begitu saja. Rachel tercenung ditemani segelas cokelat panas yang telah berubah menjadi hangat-hangat kuku.

"Aih, kalau jodoh emang nggak ke mana."

Seruan dari balkon seberang sedikit mengalihkan perhatian gadis itu. Ada Caesar yang sedang memegang gitar sambil cengengesan ke arahnya. Rachel mendengkus melihat pakaian cowok itu yang selalu sama setiap menampakkan diri. Kaus kutung dan celana kolor warna hitam motif kotak-kotak.

"Mau request lagu nggak?"

"Gak!"

Tak acuh dengan nada judes Rachel, Caesar tetap saja memetik gitar dan menyanyikan sebuah lagu.

Kuambil gitar dan mulai memainkan
Lagu lama yang biasa kita nyanyikan

Baru dua baris lirik ditembangkan, Rachel berbalik badan dan menghilang dari balkon. Meninggalkan Caesar yang kini terkekeh-kekeh sambil terus melanjutkan lagu milik grup band Slank.

Di rumahnya, tepatnya di kamar, Kina yang sedang mengerjakan tugas Kimia tak bisa berkonsentrasi penuh. Pikirannya terganggu dengan pernyataan Mario tentang perasaan pemuda itu, meski ia sudah memberi jawaban.

"Rossy, apa yang gue lakuin udah bener, kan?" Gadis itu meletakkan pulpennya dan beralih menatap ikan cupang yang ditaruh di meja belajar.

Kina segera melepaskan tangannya dari genggaman Mario sesaat setelah cowok itu mengungkapkan perasaan sukanya.

"Yo ...." Kina berkata tak percaya.

Sejenak Mario menundukkan kepala dan tersenyum miris. Sepertinya, tanpa cewek di depannya ini berucap, ia sudah tahu apa jawabannya.

"Maaf, gue ... nggak punya perasaan yang sama kayak apa yang lo rasain ke gue."

Mario manggut-manggut, lalu mengangkat wajahnya. Menatap Kina yang melayangkan sorot tidak enak hati. "Nggak apa-apa. Yang penting perasaan gue udah lega karena udah ngomong ke lo. By the way, Kin?"

"Ya?"

"Kita tetep bisa temenan kayak sebelumnya, kan?"

"Ya, kenapa enggak?"

Mario mengembuskan napas panjang. "Thanks. Gue keluar dulu, ya. Lo istirahat lagi aja."

Kina meraih stoples berisi ikan cupangnya agar lebih dekat. Belum sempat ia kembali curhat kepada hewan peliharaannya, rintik hujan lebih dulu turun. Kina menyingkap gorden di depannya. Aroma petrikor seketika menyeruak memenuhi paru-paru.

"Hujan, Rossy." Kina memberitahu ikan cupangnya.

Hujan itu mengingatkannya pada dua orang. Ayahnya dan teman masa kecilnya. Kina membuka laci, mengeluarkan kotak musiknya.

Sembari mendengarkan simfoni klasik Cannon in D Major yang mengalun merdu, Kina mengusap dan mengamati benda penuh kenangan yang selalu menyeruakkan rasa penasaran yang sama dari waktu ke waktu. Dia telah menemukan jawaban atas segala tanya tentang ayahnya. Bukankah sekarang saatnya untuk dia kembali bertemu "Hujan-nya"?

Kina menghela napas panjang sebelum kemudian membalikkan benda tersebut hingga menampilkan huruf "R" yang selalu berhasil membuatnya menyesal, ingin mengulang —menanyakan sejelas-jelasnya kepada si pemberi kotak musik itu.

Hating Rain, Loving You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang