Vernandi, Bachtiar, Tio, Santosa dan Edward turun dari mobil bersamaan. Mereka menghampiri istri sahabatnya dengan senyum mengembang. Dengan setelan kaos polos serta kemeja yang tak di kancingkan membuat penampilan mereka sangat memukau, Vernandi, Santosa dan Edward mengenakan celana hitam panjang sedangkan Tio dan Bachtiar celana pendek levis. 

Para ibu-ibu yang kebetulan sedang bergosip di depan rumah menatap rombongan Azzura dengan bibir menganga. Azzura yang di perhatikan seintens itu hanya bisa menggaruk ujung hidungnya pelan, sedikit salah tingkah. 

"Mobilnya taruh sini aja, kita susul Gavril ke lapangan yang gak jauh dari sini. Dia ada disana katanya." Ujar Vernandi sembari menyalakan ujung rokoknya. 

Azzura mengangguk dan mulai berjalan, paling depan ada Jeno dan pengawal lain termasuk Fiko. Di tengah ada Azzura, Melisya, Lesi dan Santosa yang sudah merangkul pundak sepupunya terus berbisik. Keempat teman Gavril di belakang mengobrol tentang gadis yang ada disana, gadis yang pernah mereka temui di warung lontong. Edward sangat berharap bisa bertemu lagi dengan gadis manis yang dia perkirakan seumuran dengan Azzura itu. 

Azzura kembali menggaruk ujung hidungnya saat tatapan mata orang-orang di sana sangat tak biasa. Kondisi jalan yang sangat ramai, ibu-ibu di depan rumah sedang bergosip membuat Azzura kikuk sendiri. Entah apa yang dilakukan mereka sampai bisa berkumpul di sepanjang jalan yang dia lewati.

Santosa yang ada di sebelah Azzura merangkul pundak Azzura dan mengusapnya pelan. Berusaha memberi ketenangan pada sepupunya. Kalau dia cuek saja, di perhatikan berarti wajahnya lebih menonjol dari orang lain. Begitu pikir Santosa.

"Kak San, nanti kasih paperbag ini ke Mas Gavril, ya." Azzura mengulurkan paper bag berwarna pink muda yang sedari tadi dia bawa. 

"Isinya apa nih? Bom? Atau jaring ikan?" Bisik Santosa pelan.

"Arvian Santosa Ferdinando! Gak usah godain adiknya, ya." Teriak Azzura sangat kencang. Bahkan pengawal depan dan teman Gavril yang di belakang menatap Azzura secara bersamaan.

"San, Gavril kemana-mana bawa pistol sekarang. Mau lo di dor dari sana?" Tanya Tio sembari melirik lapangan desa yang terlihat tak jauh dari posisi mereka. 

Lapangan yang sangat ramai dengan penjual jajanan ada dimana-mana membuat mata Azzura berbinar. Berapa lama dia tak makan jajanan seperti itu. Biasanya hanya jajan kemasan dari pabrik atupun membuat sendiri. Tapi lebih sering membuat sendiri karena menurutnya lebih sehat. Bukan untuknya saja, tapi juga Melisya. Kalau saja dia sendiri bodo amat mau itu sehat ataupun tidak. Tapi, si kecil Melisya yang memiliki Ayah sangat garang tak mungkin membolehkan anaknya makan sembarangan. 

"Kak San serahin ke Mas Gavril dulu gak apa-apa, suruh buka sekalian. Tapi jangan di tempat yang ramai. Aku sama Meli mau beli kembang gula dulu." Pamit Azzura sembari menarik pergelangan tangan anaknya untuk berlari menjauhi gerombolan orang-orangnya. 

"Ra, jangan lari!" Teriak Santosa yang di balas anggukan oleh Azzura.

Santosa dan yang lain sudah berjalan pelan mendekati sahabatnya yang tengah menikmati acara musik dangdut di lapangan tersebut. Acara bersih desa atau sedekah bumi yang dilaksanakan hari ini dengan tamu istimewa yaitu Gavril Aillard Armish membuat teman-teman Gavril sedikit heran. Apakah Gavril sepenting itu sampai harus ada banner besar berisi nama lelaki dewasa tersebut di panggung.

"Bajingan, gue kira lo lihatin penyanyinya. Baru mau ngadu ke Zura." Ujar Bachtiar sembari menyenggol lengan Gavril pelan. 

"Lo kira gue kurang kerjaan?" tanya Gavril balik dengan sinis. Dia segera melepaskan earphonnya saat sadar teman-temannya sudah datang. Gavril mematikan layar tabletnya yang menampilan beberapa presentasi pegawai kantornya yang ada di pusat.

Hallo, Mas Suami. (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang