"Kinara, ini Mikhael. Hari Jumat besok 'kan ada istirahat panjang. Gimana kalau kita pakai waktunya buat ngerjain fisika?"
Gadis yang baru selesai membaca pesan itu sontak tersenyum lebar. Saking tidak percayanya, Kina sampai membaca berulang kali untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Tak lupa, ia juga mengeklik foto profil si pengirim yang sayangnya hanya tampak samping sembari memangku anjing.
"Kok, cuma di-read?"
Sebuah pesan kembali masuk. Kina gelagapan karena terlalu terlena pada foto yang mungkin jika Abel yang melihatnya akan memutar bola mata malas. Segera cewek berpiyama itu mengetikkan balasan.
Berkilo-kilo meter dari tempat Kina berada, seorang pemuda tanpa sadar baru saja menyunggingkan senyum usai membaca pesan singkat, padat, dan jelas dari seorang gadis.
"Oke," balasnya diikuti emoji jempol sebanyak dua buah.
Kendati belum pernah berpacaran, Mikha bisa menangkap gelagat aneh dari gadis yang menjadi teman kelompok fisikanya. Anak redaksi yang kala itu mencari Dean adalah orang yang sama dengan yang kemarin malam berlari menghampiri ibunya diiringi senyum mengembang saat dijemput sepulang les. Bagaimana bisa ada seseorang yang bertingkah seperti anak TK di saat usianya bahkan sudah legal untuk membawa kendaraan sendiri?
Cowok itu geleng-geleng kepala. Tidak tahu saja, kalau salah satu penyebab senyuman gadis itu adalah dirinya.
Mikha menarik napas panjang seraya meregangkan otot tubuhnya. Angin malam yang dirasa makin kencang membuatnya beranjak dari balkon. Namun, sebelum pintu kaca penghubung itu ditutup sempurna, untuk sekejap tatapannya terpaku pada kamar seberang yang masih menyala terang.
"Ini semua gara-gara Mikha!"
"Dia itu pembunuh!"
Mikha menundukkan kepala. Matanya terpejam sementara tangannya kini sudah mengepal kuat.
"Mikha!"
Pemuda itu terlonjak ketika mendapat sentuhan di bahu. Ia membalikkan badan dan langsung mengembuskan napas lega melihat mamanya yang datang.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanya Agnes sedikit resah sebab melihat ke arah mana fokus putranya barusan.
Mikha menggeleng. "Nggak. Aku tidur dulu, Ma."
Agnes mengangguk, tapi belum ada niatan pergi dari kamar anaknya. Sembari menunggu Mikha yang sedang ke kamar mandi, ia duduk di tepi ranjang.
Mikha melengos mendapati ibunya belum juga keluar. "Aku mau tidur, Ma. Mama nggak berpikir buat bacain aku dongeng kayak dulu, 'kan?"
"Kalau kamu pengen, Mama mau, kok, bacain."
"Ma!" Mikha merengut kesal.
Agnes bangkit berdiri dan mendekat, lalu berkata, "Kamu nggak salah, Sayang. Semua yang terjadi di luar kehendak kamu. Ingat itu baik-baik."
"Iya, Ma, tapi ...."
"Tapi, apa?" Tatapan Agnes menyelidik. Dia tidak akan membiarkan hal buruk menimpa anaknya apalagi sampai berpengaruh ke masa depan mereka.
"Mama jangan panggil aku 'sayang'. Cukup Papa aja yang dipanggil kayak gitu."
Sontak saja tawa Agnes memenuhi ruangan. "Suka-suka Mama, dong. Berani kamu ngatur-ngatur Mama? Sudah sana tidur biar nggak dihukum gara-gara telat."
"Siapa yang telat?" Mikha mengedikkan bahu acuh tak acuh, lalu berbaring dan menutupi kaki hingga kepalanya dengan selimut.
Agnes yang mengetahui semua tentang anaknya jadi menoleh. "Kamu! Kamu pikir Mama nggak tahu. Setiap Mama ambil raport, wali kelasmu memberitahu berapa kali kamu telat dalam sebulan. Untung saja kamu pintar, kalau tidak, mungkin sudah disuruh pindah sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hating Rain, Loving You
Teen Fiction"Kenapa kamu suka sama aku? Bukannya kamu benci hujan?" Cowok itu menelengkan kepala agar bisa melihat lebih jelas wajah malu-malu gadis di depannya. Senyum samarnya terukir dalam keremangan lampu jalanan. Kina mengangkat wajahnya, memberanikan diri...