Bagian 26

552 57 0
                                    

Hari-hari berlalu penuh dengan kesibukan. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hitungan jam, hari dan pekan sudah terlewati. Hitungan bulan sudah terlompati. Kini genap setahun sudah Ilyas mengajar di pesantren abahnya sendiri. Ia mengajar tingkat Aliyah, menggantikan masnya Gus Rahman yang masih menimba ilmu di luar negeri.

Selesai mengajar, setiap sore setelah Ashar ia mengisi kajian di kecamatan Gunung Pati, kajian rutin yang diadakan sepekan dua kali setiap Selasa dan Kamis. Ada pula kajian di waktu Dhuha, masih di kecamatan yang sama. Jika ia masih punya waktu luang ia akan meminta abahnya mengajarinya beberapa kitab, ia ingin abahnya sendiri yang mengajarnya untuk menambah pengetahuan dan memperdalam pemahamannya. Ilyas juga kembali menuliskan buku ketiganya tentang pengalaman hidupnya bersama kawan-kawannya selama di Mesir, biasanya ia menulis di waktu malam, saat semua orang sudah terlelap dalam tidurnya atau pagi-pagi buta setelah dia selesai shalat Tahajjud.

Setahun belakangan ini Ilyas banyak berpuasa, sepertinya lama kelamaan ia juga kehilangan selera makan. Ada sesuatu yang mengganjal dalam benak dan pikirannya. Meskipun lisannya selalu mengucap bahwa dia tidak memikirkan keberadaan Halwa, tetap saja hati tidak bisa dibohongi. Kini tubuhnya terlihat lebih kurus dari satu tahun yang lalu.

Sore ini Ilyas mendapat telepon dari Mesir. Sahabatnya, Hamid, menghubungi nomornya. Hamid banyak bercerita tentang program S2 yang sedang dijalaninya dengan penuh ambisi dan semangat. Cita-cita sahabatnya itu sedang dalam proses yang berliku, Hamid harus tetap bekerja demi mengirim uang untuk biaya sekolah adik-adiknya di kampung halaman. Tak lupa Ilyas menyemangati dan mendoakan Hamid, Fatih dan juga Ali.

"Oh ya, sudah lama aku tidak mendengar kabar Ali. Bagaimana keadaannya, Mid?"

Hamid diam sejenak. Terdengar tarikan napas yang begitu berat.

"Ada apa, Mid? Apa ada masalah dengan saudaraku?"

"Bukan. Bukan masalah besar sepertinya, dia hanya sering melamun, entah melamuni apa."

"Kamu sudah tanyakan padanya? Mungkin dia rindu pada ibu dan istrinya di Jakarta, suruh dia pulang kalau sempat." Ilyas paham sejak dulu kalau Ali sering melamun pasti sedang rindu pada ibunya. Biasanya Ilyas yang akhirnya mengajak Ali untuk pulang bersama, seperti saat mereka menjalani program S1 waktu dulu. "Aku bisa bicara dengannya, Mid?"

"Dia sedang ke Masjid, Yas. Dia sering i'tikaf dan tidur di sana. Pulang kalau ada perlunya saja. Aku juga bingung harus bagaimana menasehatinya, aku cemas dia jadi sakit."

Mendengar itu Ilyas pun turut cemas. Ada apa dengan sahabat yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri itu. "Dia tidak pernah bercerita apa-apa denganmu, Mid?"

Hamid seperti sedang mengingat sesuatu. Ilyas menunggu.

"Apa ibunya sakit, Mid? Kalau ada apa-apa biar aku yang ke Jakarta menjenguk Bu Dewi untuk memastikan keadaannya."

"Bukan, sepertinya bukan masalah itu yang sedang ia pikirkan. Tapi... mungkin tentang istrinya, Yas."

Ilyas nampak sedikit bingung, namun ia tetap bertanya. "Kenapa dengan istrinya, Mid?"

"Tidak tahu. Rasanya aneh saja, dulu awal-awal datang kemari mereka sering saling mengabari. Ali bahkan menelepon istrinya saat ia senggang atau sibuk. Namun beberapa bulan ini seperti tidak ada kabar sama sekali tentang istrinya. Ali juga tidak pernah meneleponnya lagi. Bulan-bulan lalu kalau dia menelepon pasti sembunyi-sembunyi seperti tidak boleh diketahui oleh oranglain."

"Semoga tidak terjadi masalah serius dengan sahabat kita ini, Mid. Kalau masalahnya persoalan rumah tangga aku dan kamu tidak bisa ikut campur."

"Benar, Yas. Kita doakan saja, mudah-mudahan ini bukan masalah besar."

Setelah mendengar kabar Ali dari Hamid, hampir setiap waktu Ilyas tak lupa mendoakan sahabatnya itu. Semoga segera diberi solusi dan jalan keluar dari masalah Ali tersebut, ia tidak tahu masalah apa yang sedang menimpa sahabatnya itu. Tetapi perasaannya ikut tidak enak dan ia merasa cemas. Kalau saja ia sedang di Mesir, sudah pasti ia akan membujuk Ali untuk sekadar berbagi dengannya walau mungkin ia tidak bisa memberi solusi terbaik.

Malam itu Ilyas hendak shalat Tahajjud, pukul dua dini hari ia sudah bangun, mengambil air wudhu dan masuk ke dalam kamarnya lagi. Ia membaca surah-surah yang panjang dengan suara lirih dan juga merdu. Ummi terbangun dan mengintip dari balik pintu, air matanya mengalir begitu saja ketika melihat Ilyas sedang i'tidal lalu sujud dalam waktu yang lumayan panjang.

"Ngger, semoga hatimu selalu dilapangkan oleh Gusti Allah." Batin Umminya. Ummi kembali menutup pintu rapat, ia kembali ke kamar untuk membangunkan suaminya, lalu ke belakang untuk mengambil wudhu dan juga melaksanakan shalat malam.

Dalam keheningan ini, Ilyas seperti merasakan lautan cinta Tuhannya. Seperti dalam pelukan Robb seluruh alam semesta. Dadanya dalam keadaan lapang, penuh kehangatan dan ketenangan. Lisannya tak henti mengucap tasbih, tahmid dan takbir. Air mata mengalir di pipinya.

"Jangan biarkan hatiku dikuasai oleh sesuatu yang merugikan akhiratku ya Robb!" ucap Ilyas dengan penuh kesungguhan.

Dibalik deraian air mata itu, dada Ilyas bergemuruh mengucap sebuah kalimat panjang. Sesungguhnya hanya kepada-Mu hatiku kembali, jangan biarkan cintaku pada hamba-Mu merusak cinta dan ibadahku pada-Mu. Ya Robb... sungguh, jika aku mampu, aku ingin memutus rasa dan rindu ini sampai tak tersisa lagi, aku ingin fokus meraih cinta-Mu yang kekal abadi.

Ilyas masih duduk di atas sajadahnya sampai tiba waktu Subuh lalu ia pergi keluar menuju masjid.

***

Gerimis belum juga reda sejak pagi tadi. Kang Adi tidak bisa mengantarkan Gus Ilyas ke Kecamatan Gunung Pati untuk mengisi jadwal kajian pekanan, sebab Kang Adi harus mengantar Pak Kyai ke Solo. Pak Kyai mendapat undangan dari teman karibnya sewaktu di pesantren dulu, temannya yang bernama Ustadz Rosyid sedang melangsungkan pesta perkawinan anak bungsunya. Pak Kyai Hasan dan Kang Adi serta seorang santri pergi ke Solo pagi-pagi sekali. Sementara itu ada Bu Nyai yang ditugaskan untuk tetap tinggal di pesantren, lagipula sore nanti Bu Nyai juga ada majelis taklim para akhwat di kampungnya, beliau harus tetap mengajar.

Ilyas sudah memakai jas hujannya dengan lengkap, jas hujan itu sudah sejak semalam disiapkan oleh Bu Nyai, akhir-akhir ini cuaca memang selalu mendung dan hujan turun hampir setiap hari. Tak lupa Ilyas membawa tas kecil yang juga dimasukkan dalam jas hujan abu-abunya. Ia memakai sandal jepit, sementara sandal yang biasa ia pakai sudah dimasukkan ke bagasi motor. Ilyas pamit pada Bu Nyai, mencium tangan dan pipi Bu Nyai sampai dua kali.

"Hati-hati ya, Ngger." Bu Nyai mengelus kepala anaknya.

"Nggih, Mi."

"Langsung pulang saja nanti, temani Ummi."

"Nggih, Mi, nanti Ilyas langsung pulang saja. Oh ya, Mi, hari ini Ilyas lagi tidak puasa, masakin opor ayam ya, Mi." Pinta Ilyas.

Bu nyai tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala. "Seleramu masih sama, Ngger."

"Kalau opor buatan Ummi ndak pernah ada yang bisa menggantikan sih." Ilyas ikut tersenyum, "ya sudah, Mi, Ilyas pergi dulu. Assalamu'alaikum."

Bu Nyai menjawab salam dari anaknya. Ada perasaan tidak enak melepas kepergian Ilyas pagi ini. Entah kenapa Bu Nyai masih berdiri di depan rumah padahal Ilyas dan motornya sudah tidak kelihatan lagi, cukup lama ia berdiri di depan pintu rumahnya sampai-sampai Nuri datang dan menanyakan sesuatu pada beliah. "Apa ada masalah, Bu Nyai?"

"Ndak apa-apa, Nur. Cuma rasanya gelisah saja." Bu Nyai membalikkan badan dan teringat opor pesanan Ilyas. "Nur, nanti ke pasar jangan lupa beli ayam ya. Gus Ilyas mau dimasakin opor, nanti biar Ummi saja yang masak, kalau yang lain katanya rasanya beda."

"Nggih, Bu Nyai."

Bu Nyai melangkah ke dalam.

HALWA (Novel Religi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang