26

6.9K 1.4K 417
                                    

"Karin mana?" tanya pemudi berouter kotak kotak yang basah rambutnya nyata.

Orang orang mulai menengok kanan dan kirinya. Mengecek satu persatu teman temannya dan menyadari yang hilang memang hanya Karina.

"Gak ada yang liat Karina apa sebelumnya?" tanya Haje dengan alis mengerut. Ia baru saja berbahagia karena selamat namun salah satu temannya hilang.

"Dia harusnya ada di deket lo kan, Ren?" tanya Ekal.

Yiren tertegun, "Harusnya iya, tapi gue gak liat dia setelah kita sampe disini. Gue pikir dia ada di barisan belakang."

"Waktu kita sampe, kita langsung berkerumun kan? Gak ada satu orang pun yang notice Karin pergi apa? Yang belakang?" tanya Haje sekali lagi. Semua saling melirik.

"Kejadiannya terlalu singkat. Kita nyampe dan langsung disambut. Logikanya, semua orang udah fokus sama itu, Je. Sepeka pekanya orang juga kalo udah dihadapin sama hal kayak tadi, cuma inget diri sendiri." Nalen buka suara.

"Tapi dari sekian banyaknya orang setidaknya ada satu orang yang ngeh dia gak ada di sini." ucapnya kecil sambil meremas rambutnya frustasi.

Malik merangkulnya saat pemuda itu mencoba pergi dari tempatnya, "Bukan salah mereka juga, Je. Kita semua udah capek. Gak ada yang bisa disalahin di sini."

"Mending sekarang kita mulai nyari Karin. Keburu makin gelap." usul Chaaya yang menggebrak pergerakan. Semua mengangguk setuju dengan usul tersebut. Meraih tas yang dilepas dari pundak dan kembali menggendongnya.

Diantara mereka kecuali satu sudah tampak sangat siap memulai pencarian. Namun Surya—orang yang dimaksud— terlihat tidak fokus seperti tengah berkutat dengan pikirannya sendiri. Alisnya mengkerut, tapi kaki kakinya tetap melangkah. Hal itu disadari Jeno yang tak sengaja tersenggol olehnya.

Orang orang mulai meneriaki nama Karina yang tak kunjung ada jawaban. Dari samar matahari masih ada sampai benar benar menghilang, mereka tidak menyia nyiakan waktu untuk menyapu gunung ini demi Karina.

Pemuda yang baru saja celaka pun sesekali meneriaki. Meski berakhir kepalanya tambah sakit dan membuatnya pusing dan mual. Perjalanan pun semakin bimbang dijalani karena keadaan anggota yang tidak lagi fit. Hampir semua orang sudah berjalan sempoyongan menelusuri gunung ini. Kaki kakinya bahkan sudah mati rasa naik-turun gunung ini berkali-kali.

Jeno menatap ke atas langit, menyaksikan gelapnya malam tanpa bintang. Hatinya terasa mengganjal entah tentang perihal apa. Hingga akhirnya ia berhenti mendangak, matanya malah menyaksikan pemudi mungil hendak loncat kejurang yang lebat dengan pepohonan dan dedaunan.

"REN REN REN!" teriaknya sambil mengejar Yiren yang berhasil ia tarik mundur.

Pemudi yang tengah menangis sambil menyebutkan nama sahabatnya itu terkejut karena tiba tiba Jeno menarik kedua bahunya. Dan dalam kebingungannya, ia justru mendapat makian dari rekannya itu.

"LO NGAPAIN? LO MAU LONCAT HAH?"

"Apa sih, Jen?" tanya Yiren mengerutkan alisnya bingung, “Lepasin!”

Jeno menggeram, "LO MAU NGAPAIN LONCAT KEJURANG HAH? LO GILA YA?"

"Ngomong apa sih lo?"

"LO BOLEH NGERASA KEHILANGAN TAPI JANGAN GILA JUGA, REN! Lo bunuh diri juga gak bikin Karina cepet ketemu."

"SIAPA YANG MAU BUNUH DIRI SIH! arghhh." tuturnya diakhiri rintihan karena perut bagian bawahnya sakit.

"Gue tadi liat dengan mata kepala gue sendiri ya lo mau loncat." ujar Jeno. Malik pun menghampiri untuk menyudahi keributan ini.

SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang