12 | Sang Pembenci

28.7K 2.8K 58
                                    

"Seperti bunga rupamu di bumi, layaknya malaikat rupamu di surga nanti" -Regandra yang mencintai Dahayu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Seperti bunga rupamu di bumi, layaknya malaikat rupamu di surga nanti"
-Regandra yang mencintai Dahayu

-Skizofrenia-

 Hari - hari buruk lainnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.















Hari - hari buruk lainnya. Pagi ini Ibu datang hendak menginap dua hari. Ibu kandung Regan, Maria namanya. Satu satunya orang yang ingin Fara hindari dari kehidupannya adalah Maria. Dia sosok pendengki dan mudah iri hati. Sama seperti Fara, satu satunya orang yang ingin Maria hapus dari kehidupannya adalah Fara.

Tak ada perbuatan buruk yang pernah Fara lakukan padanya, namun semua hal yang Fara lakukan menjadi salah di matanya tanpa alasan. Ia hanya tidak menyukai wanita itu, karena ia menganggap Fara sudah merebut kasih sayang dan seluruh simpati Regan. Karena itulah alasan mengapa ia tidak pernah merestui hubungan keduanya sejak awal. Ia takut Regandra menelantarkannya seperti mantan suaminya dulu, alias ayah kandung Regandra. Padahal semua pikiran buruk itu, nyatanya tidak pernah terjadi bahkan hingga sejauh ini.

"Fara!!"

"Fara!!"

Ceracau Ibu dari luar kamar, berteriak memanggil manggil nama menantunya itu. Fara yang mulanya duduk manis sembari membaca buku pra-sejarah yang sudah lama ia punya itu, terkesiap. Menatap bulat pintu kamar dari dalam.

"Fara!!"

"Fara!!"

"Fara!!"

"Fara!!"

Fara menghela napas, lalu menurunkan kaki dari atas ranjang. Bangkit dan pergi menyusuli sumber suara. "Kenapa Ibu?" tanya Fara pada Ibu. Wanita paruh baya itu tengah menatap meja makan di hadapannya yang tampak kosong."Kamu gak masak?! gimana sih jadi perempuan, males - malesan aja kerjanya! nanti kalau suami kamu pulang mau kamu kasih makan apa?! batu?!"

"Mikir atuh Fara. Kamu ini di biayain sama anak saya! uang belanja juga di kasih! hidup udah enak bisa santai di rumah. Masa untuk masak aja gak kamu lakuin!." Belum apa – apa, ocehannya sudah melantur kemana mana.
"Fara biasanya masak kalau Fara atau Mas Agung pengen makan aja. Fara gak pernah masak banyak. Tapi kalau Ibu ingin makan, Fara bisa buatin"
"Halah, kamu ini banyak alesan. Emang dasarnya males - malesan! dikasih enak suka gak tau diri."

Ini penyakit Ibu yang seringkali bikin Fara tak nyaman akan kehadirannya. Selain suka mencari cari kesalahan, dia juga manipulatif. Tak sekali dua kali ia beritikad buruk untuk menghancurkan rumah tangga Regan dan Fara. Meski pada akhirnya ia gagal, karena Regan tidak pernah termakan oleh omongan ibunya sendiri.

"Ibu gapapa loh, bu, kalau mau Fara buatin makanan?" ucapnya baik-baik. Ibu menepis tangan, dan menggeleng tidak.

"Gak perlu, Ibu minta uang aja buat beli makanan di luar."

Fara mengulum bibir, mengangguk patuh. "Iya, bu. Sebentar, ya? Fara ambilin dulu."

Ia berlari pergi menuju kamar, mengambil dompetnya yang ia letakkan di antara baju pada lemari kamar. Lalu ia keluarkan uang sepuluh ribu rupiah dari kantong dompet. Usai sudah ia letakkan kembali ke tempat semula dan memberikannya pada ibu yang menunggunya di ruang tamu.
"Ini, bu" ulur Fara, memberikan uang itu pada Ibu.

Ibu mengambilnya dari tangan Fara tanpa mengucap terima kasih. Karena baginya, semua uang yang Fara miliki merupakan uang yang berasal dari putranya. Jadi ia merasa tidak perlu mengucap terima kasih terhadap Fara karena hal itu. Walau pada kenyataannya, uang itu merupakan uang milik Fara, bukan uang Regan. Uang yang ia dapat sebagai gaji terakhirnya di kantor tempat ia bekerja dahulu.

Namun Fara tak mau ambil pusing, apa lagi meributkan masalah uang kepada ibu. Ia ikhlas jika itu membuat ibu menutup mulutnya.

Setelah kepergian Ibu Maria, Fara kembali ke kamarnya. Sementara Ibu pergi keluar rumah, betah celangak celinguk di depan gerbang. Bingung akan kemana handaknya ia menuju. Tepat di luar gang Ibu Maria melihat sekerumunan Ibu- ibu mengerumuni gerobak bakso.

Kebetulan hari ini cuaca sangat panas, akan nikmat sekali makan bakso di siang bolong ditemani es teh manis nantinya. Ia pun ikut bengerumuni gerobak bakso. Disana ibu-ibu tengah merumpi, membahas wanita gila yang belakangan ini mengganggu warga sekitar.

Ibu Maria hanya menguping, sama sekali tak berniat ikut campur pada awalnya. Karena jujur saja ia bahkan tidak tahu siapa orang yang tengah menjadi topik pembahasan. Ia disini hanya untuk membeli bakso, dan tak punya tujuan lain.

"Bang baksonya satu, ya?" Tiba - tiba salah seorang ibu-ibu yang berdiri tepat di samping Ibu Maria mencolek punggungnya."Ibu tinggal dimana? kok rasanya kita belum pernah ketemu"

Ibu Maria tersenyum ramah. Reaksinya berbeda tiga ratus enam puluh derajat, jika saja yang mengajaknya berbicara adalah Fara. "Saya cuman bertamu. Saya tinggal di rumah anak saya, tuh rumahnya" Ia menunjuk rumah berwarna abu - abu yang paling terlihat pada celah gang.

Seketika raut wajah ibu - ibu disana berubah tajam, menatapnya seperti penjahat. Beberapa ibu-ibu saling berbisik, seolah ada yang salah darinya.
"Ada apa ya?" tanya Maria. Tidak suka berbasa basi, terlebih pada orang asing.

Ibu berdaster merah motif, sebagai perwakilan tanpa diminta pun membuka suara. Ia berdehem keras, lalu berkata."Gini ya bu. Tolong kasih tau sama anaknya yang perempuan. Inget waktu kalau mau teriak - teriak, ganggu tau gak!"

"Iya bener tuh. Dipikir rumahnya kedap suara apa, teriak - teriak tengah malam. Ya kalau emang gila, masuk rumah sakit jiwa sana. Jangan ganggu warga sekitar." Maria kini baru paham, siapa gerangan yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan ibu - ibu. Ternyata mereka sedang membicarakan menantunya, Fara.

"Bu, ini baksonya." Dengan perasaan malu, ia memaling."Berapa Mas?" tanyanya pada Mas tukang bakso.

"Lima ribu rupiah" balasnya.

Maria berikan uang yang sedari tadi ia genggam, lalu merebut kantongan bakso pesanannya. Ia pergi terburu buru meninggalkan kerumunan, tanpa perduli uang kembalian yang belum ia terima. Isi kepalanya sekarang hanya penuh oleh celaan, dan menghilang dari hadapan ibu-ibu itu adalah solusi terbaik baginya.

Ia tidak pernah merasa semalu ini dalam hidupnya. Bahkan ketika jaraknya sudah sangat jauh, ia masih bisa mendengarkan rundungan ibu - ibu itu tentang dirinya dan Fara. Karena mungkin saja Ibu - ibu itu mengira bahwa Maria adalah ibu kandung dari Fara yang selama ini mengganggu warga.

"Bu kembaliannya!"














-Skizofrenia-

-Skizofrenia-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
02 | SKIZOFRENIA - SPIN OFF LOSE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang