Sejarah ke tiga - Perintah

979 120 6
                                    

Sementara itu, Syara sedang berjalan menuju ke kantin sembari menghentakkan kakinya karena kesal dengan ucapan siswi tadi, ia terus berbicara sama diri sendiri. “Dih, enak banget mereka ngomong, kalau aku bukan siapa-siapanya Alen?” Ia tertawa sakastis. “Mereka nggak tahu aja, kalau Alen dan bang Haikal anak angkat orang tuaku. Mereka nggak tahu, kalau kami sahabatan dari kecil, bahkan dari bayi lagi.”

Gadis itu langsung menghentikan langkahnya ditengah-tengah jalanan anak-anak. “Alen juga, kenapa sih nggak mau dipamerin aja, kalau kita itu ada ikatan. Ya … kalau nggak bisa dipamerin, setidaknya kita pacaranlah! Jadi, aku ada alasan buat cemburu sama kamu!!” Ia menghentakkan kakinya berkali-kali. “AAA!!” Syara berteriak karena kesal sehingga membuat anak-anak yang sedang sibuk lalu lalang dan membersihkan kelas pun langsung menatap ke arahnya.

Ketika Syara berteriak, tiba-tiba kepalanya seketika sakit, seperti ditusuk tajam. Ia pun segera memukul kepalanya itu dengan keras agar sakitnya lebih berkurang. “Aduh, baru ingat, tadi belum sempat minum obat,” gumamnya dengan pelan.

Perlahan-lahan, gadis itu menurunkan badannya dengan berjongkok sambil memejamkan mata sejenak dan memberikan pukulan ringan pada kepalanya, hingga beberapa saat, rasa sakit itu mulai menghilang. Sedangkan para siswa juga langsung memasang khawatir kepada Syara.

“Kamu nggak papa, Ra? Kamu sakit?”

“Nggak papa, cuma pusing aja pas teriak tadi.”

“Serius nggak papa? Kita ke UKS aja, yuk?”

“Nggak papa, kalian sana aja, nanti kalian ketahuan Alen.” Ucapan Syara membuat mereka sangat tidak yakin meninggalkan gadis itu. “Serius aku nggak papa.” Ia pun bangkit berdiri untuk menunjukkan kepada mereka bahwa dirinya kuat. “Lihat, aku baik-baik aja, kan? Sudah, sana-sana, dibilangin nggak papa, ketahuan Alen, nanti aku juga kena omel,” katanya sambari membalikan badan beberapa para siswa itu agar bisa menjauh darinya.

Setelah mereka pergi, Syara menghela napas panjang sambil mengacak pinggangnya, sebelum akhirnya kembali melanjutkan aktivitas. Namun, ditengah-tengah gadis itu berjalan sembari menunduk, Zekky yang melihat itupun langsung menepuk-nepuk bahu Garen agar laki-laki itu juga menghentikan langkah disaat Syara sudah melewati arah samping mereka secara berlawanan.

“Itu Syara, tadi kamu mencarinya, kan?” Ucapan Zekky dan arah menunjuknya membuat Garen langsung menoleh ke belakang. “Tapi, dia bertingkah lagi, Ren.” Ia menghela napas panjang. Kemudian, Zekky menatap sahabatnya itu sambil menepuk pelan. “Kumpulkan dulu air liur kamu, ya? Biar nggak kehabisan, takut kering nanti. Kalau gitu aku duluan,” katanya beranjak pergi.

Sedangkan Syara sendiri juga menyadari bahwa mereka saling berselisihan, ia pun langsung menutup wajahnya sebelah agar mereka tak melihat. Ia berjalan dengan cepat sambil berkata, “Jangan ke sini, tolong, tolong, jangan lihat ke sini!! Semoga nggak lihat, semoga ….”

“Kayaknya keberadaan aku ini cocoknya tak kasat mata, biar orang-orang nggak menghindar terus. Lama-lama kesihan aku melihat mereka, yang seharusnya di sekolah menjadi tenang, eh, harus menghindar dari ketua osis. Apa aku mati aja dulu kali, ya? Biar aku nggak kelihatan, jadi mereka nggak perlu lagi diam-diam menghindar. Setuju nggak?”

Garen sedang berjalan dari belakang Syara dengan mengikuti langkah yang begitu cepat. Saat ini, laki-laki itu mengajaknya berbicara, tetapi, gadis itu bertingkah seolah-olah tidak mendengar, ia mengira bahwa Garen sedang mengajak bicara orang lain, makanya berpura-pura tidak merespon apapun, sampai-sampai mencoba memanggil siswi untuk mengalihkan dirinya.

“Eh, Dewi.”

Disaat Syara hendak menghampiri siswi yang tak dikenal itu, tiba-tiba saja, Garen langsung menarik kerah baju seragamnya dari belakang. “Mau ke mana kamu, Putri Landak? Nggak ada gunanya juga menghindar gitu, kita satu sekolah, pasti nggak pernah luput dari pandangan aku.”

Lembaran SejarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang