22

8.1K 1.6K 424
                                    

"Be carefull be carefull! Jangan sampai kepleset. Batu batunya berlumut, jadi tolong hati-hati." peringat Malik seusainya mereka tiba di sungai.

Benar apa yang Malik ucapkan kemarin, aliran sungainya gak begitu deras, namun airnya tetap mengalir. Ada untungnya juga kala itu mereka berpencar. Mereka jadi mengetahui situasi dibeberapa medan yang pernah dijelajahi.

Orang orang sibuk untuk menghilangkan dahaganya. Karena persediaan air yang terbatas tadi benar benar menyiksa mereka. Dan sekarang waktu digunakan sebagai pembalasan. Mereka minum sepuasnya bahkan hingga membasahi pakaian.

Disisi lain, hubungan Lia dan Jeno terasa begitu renggang. Keduanya tidak lagi berdekatan bahkan cenderung menyendiri. Jeno meraih jerigen milik kelompoknya dan sibuk mengisinya dengan air. Sedangkan Lia berdiri di pinggir sungai bercermin dengan genangan besar tersebut.

Bayangannya buyar, sebab air berkali kali mendapat tekanan dari beberapa orang yang datang-masuk menuju air. Bergelombang dan terus bergelombang, hingga pada akhirnya air kembali tenang. Lia menatap dirinya lekat lekat dalam pantulan, merapikan sedikit dirinya yang terlihat begitu lusuh dengan menyelipkan rambut tipisnya yang lepas dari ikatan ke sisi telinga.

Hingga pada akhirnya, sesuatu yang tak kasat mata muncul di belakang amat besar. Tepat saat perairan menjadi sangat tenang sehingga pantulan nya bisa ia lihat dengan amat jelas. Spontan ia memejamkan mata. Membungkam terkejutnya dan mencoba bernapas meski rasanya paru-parunya menyempit.

Dunia terasa hening ditelinganya, meski pada kenyataannya orang orang sedang bercakap-cakap. Yang ia dengar hanyalah bunyi detak jantungnya yang sudah tak karuan.

Tap!

"Teh Lia!" mendadak Lia membuka matanya dan segera menatap seseorang yang menepuk pundaknya. Ia masih belum tenang saat mendapati yang menepuknya adalah Windu. Mengingat ia pernah di tenda berdua dengan sesuatu 'yang berwujud' seperti Windu.

"Kenapa ngeliatin aku nya begitu?" tanya pemudi berambut pendek itu. Lia menggeleng cepat, segera mengatur ekspresinya menjadi tenang.

"Hampura..." gumamnya sambil menarik rambutnya kebelakang dengan frustasi. Dan kembali mengecek pantulan bayangannya di aliran sungai yang kini menampakkan dirinya dan juga Windu.

Windu hanya menatapnya kebingungan. Ia hendak bertanya namun Lia keburu pergi. Pemudi rambut pendek itu jadi merasa tidak enak untuk mengganggu. Dan membiarkan Lia duduk sendirian di dekat pohon untuk berteduh.

°°°

Siang ini, tepat pukul dua belas, pemuda bersetelan kaos rumahan itu melirik jam ditangannya. Sudah sekitar 4 jam ia duduk di depan laptop tanpa henti. Ia pun meregangkan tubuhnya yang pegal, melenturkan otot ototnya sebelum akhirnya membuka ponselnya.

Dilihatnya pesan yang di sematkan sudah beberapa hari tidak dibuka. Pemuda itu menimang nimang, sambil menggigit habis kuku jempolnya. Mengetik sesuatu namun diurungkan. Ia pun memilih untuk menghubungi seseorang yang masih memiliki ikatan dengan perempuan yang tengah ia khawatirkan.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SerenadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang