"Saat ini kita sudah terhubung langsung melalui panggilan suara dengan Bapak Edgarsyah Adiputro, atau biasa disapa Pak Edgar, dikarenakan beliau sedang berada di luar kota sehingga tidak bisa datang ke studio. Selamat sore, dengan Bapak Edgar?"
"Selamat sore, iya benar sekali."
"Baik Pak. Kali ini saya akan membahas isu yang belakangan ini telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Sebagai Wakil DPR-RI, tentu saja—"
Sinka langsung melangkah pergi dari kafe tersebut tanpa mendengarkan seluruh ucapan sang penyiar berita dengan ekspresi datarnya yang khas.
Sepanjang jalan menuju halte bus, Sinka menggenggam tali tasnya erat seolah-olah hal itu dapat menjaga emosinya yang tertahan. Berulang kali ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Beberapa saat kemudian ia pun berhasil mengendalikan dirinya kembali.
"Aku harus pulang, aku harus istirahat."
Sementara itu di kafe, si waitress dan barista tampak berdebat kecil di dekat counter sembari membersihkan tempat itu.
"Anak itu aneh banget ngga sih? Mukanya juga serem amat kayak mayat hidup."
Si barista menimpali, "Tapi kayaknya dia anak orang kaya lho, sepatu dan tas yang dia pake itu kalo ditotal seharga gaji kita sebulan!"
"Pasti KW, di pasar tuh ada banyak yang KW super," balas waitress tidak percaya.
"Bisa dipastikan ori, gue paham sama yang beginian mah."
"Serah lo, deh."
***
Setelah naik bus selama kurang lebih 15 menit, akhirnya Sinka pun tiba di halte yang tak jauh dari perumahannya tepat pada pukul 07:00 malam. Tempat itu sepi seperti biasanya, karena orang-orang lebih memilih untuk mengendarai kendaraan pribadi daripada angkutan umum seperti angkot maupun bus.
Saat tiba di teras rumahnya, Sinka langsung membuka pintu utama rumah tersebut kemudian berjalan masuk. Perasaan hampa menyelimuti setelah memasuki area rumah yang bergaya american classic tersebut. Tidak ada siapa-siapa selain Sinka, kecuali satpam yang tadi membukakan pagar di luar sana.
"Sudah pulang, Neng?"
Sinka menoleh, ternyata Bibi ART yang baru saja menyapanya sembari tersenyum. "Sudah Bi. Papa sama Mama masih di luar?"
Bi Siti mengangguk, "Iya Neng, Nyonya masih di butik. Kalo Tuan nanti subuh baru tiba disini, penerbangan malam dari Bali."
Bi Siti melanjutkan, "Eneng mau dibikinkan apa? Biar nanti saya anterin ke kamarnya."
Sinka menggeleng, "Ngga usah Bi, Sinka mau langsung tidur aja." Setelah mengatakan itu, ia pun pamit untuk pergi ke kamarnya di lantai atas.
Setibanya di kamar, Sinka pun langsung meletakkan tas sekolah dan menggantung seragamnya menggunakan hanger. Setelahnya ia langsung pergi membersihkan diri lalu bersiap untuk tidur. Tak lupa sebelumnya ia telah menyiapkan buku pelajaran untuk besok pagi.
Tapi entahlah. Apakah malam ini Sinka bisa tidur dengan nyenyak? Atau malah sama saja seperti malam-malam sebelumnya? Menjalani malam panjang, menghitung menit hingga fajar menyingsing, sendirian?
***
Cahaya matahari pun menerobos masuk melalui jendela kelas pada pagi hari ini. Seperti biasa, Sinka menghabiskan waktunya dengan membaca buku pelajaran sembari menunggu guru datang. Padahal saat ini suasana kelas itu cukup bising, tapi ia tetap meneruskan bacaannya seolah hal itu bukanlah masalah.
Disaat ia sedang khusyuknya membaca, sebuah bola kaki yang terbuat dari plastik tiba-tiba menghantam kepala Sinka dari belakang, membuat gadis itu menunduk memegangi kepalanya.
"E-eh sorry! Lo ngga papa?"
Sinka mengambil bola yang baru saja menghantam kepalanya, lalu melemparkannya pada kerumunan siswa yang tadi bermain sepak bola dengan gawang seadanya di dalam kelas.
"Aku ngga papa, kalian lanjut main aja," ucap Sinka setelah melemparkan bola itu dan kembali mengambil buku pelajarannya. Gadis itu diam saja meskipun mulai mendengar bisik-bisik yang ditujukan padanya setelah hanya bereaksi seperti itu.
"Tuh liat. Coba kalian semua cewe-cewe yang ada di sini contohin Sinka, daripada teriak-teriak mulu padahal kena bola aja kagak," ucap salah satu dari mereka.
"Kurang ajar, main bola tuh di lapangan bukan di dalam kelas! Kalian dong yang salah!" balas si bendahara kelas, merasa tak terima.
Baru saja perkelahian antar dua kubu itu dimulai, tiba-tiba si ketua kelas berlari masuk dari arah koridor kelas. "Eh ada Pak Hendro datang, cepet rapiin meja-mejanya!"
Sinka yang mendengar itupun segera menyingkirkan bukunya, lalu mempersiapkan alat tulis dan menegakkan tubuh menghadap lurus ke depan.
Akhirnya Pak Hendro pun masuk. Setelah ketua kelas menginstruksikan salam, semua murid pun duduk kembali.
"Selamat pagi juga anak-anak. Kali ini bapak tidak datang sendirian, karena kalian akan kedatangan teman baru."
Suara bisik-bisik pun mulai memenuhi langit-langit kelas, menebak-nebak siapakah anak baru tersebut. Kecuali Sinka, seperti biasa gadis itu hanya diam, tidak seperti yang lain.
"Chakra, silahkan masuk," ucap Pak Hendro.
Seorang pemuda berjaket cokelat tua pun berjalan memasuki kelas, semua tatapan mengarah padanya. Bahkan Sinka yang awalnya seperti tidak peduli pun kini menatap pemuda itu dengan mata lebar.
"Halo teman-teman, perkenalkan nama saya Chakra Al-Farisy, panggil saja Chakra. Semoga kita bisa berteman dengan baik, salam kenal semuanya."
Dia benar-benar Chakra yang kukenal tiga tahun lalu. Batin Sinka, dengan wajah lugunya.
Sinka tersentak kecil saat menyadari kini pemuda itu membalas tatapannya dan tersenyum tipis. Tiba-tiba saja ia merasa semuanya mendadak hening, hanya ada dirinya dan pemuda itu yang masih berdiri di depan sana.
Takdir macam apa ini?
Author's note:
Hai! Menurut kalian gimana chapter 1 nya? Akhirnya aku resmi comeback wattpad mulai hari ini TBL TBL TBL TERHARU BANGET LOCH ㅠㅠ
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
Teen FictionSinka Dewi Ayuna adalah seorang remaja yang tidak pernah percaya diri, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, dan tidak memiliki teman selama di sekolah. Tidak, dia bukan korban bullying. Sinka hanya siswi biasa yang tidak pernah menjadi pu...
Chapter 1
Mulai dari awal