Seorang gadis dengan rambut hitam yang terurai panjang terlihat fokus memperhatikan guru yang sedang menjelaskan sesuatu di depan kelas. Tatapannya sama sekali tidak berpindah dari awal dimulainya kelas hingga sekarang. Sampai akhirnya ia merasakan sesuatu mengenai kakinya, ia pun melihat ke arah sepatunya di bawah meja.
"Hm?" Gadis itu meraih pulpen yang baru saja mengenai sepatunya.
"Sinka, boleh minta pulpennya ngga? Itu punyaku."
Gadis itu menoleh ke meja di seberangnya, asal dari suara bisikan barusan. Setelah melihat sang pemilik suara, ia pun menggelengkan kepalanya.
"Nanti dulu, Bu Isa masih menjelaskan," balasnya berbisik. Si pemilik pulpen pun mengangguk kecil dengan wajah yang sedikit tertekuk karena ia sedang membereskan barang-barangnya, bersiap untuk pulang.
Tak lama setelahnya, bel yang menandakan berakhirnya pelajaran pun berbunyi. Setelah guru pelajaran terakhir di hari itu keluar dari kelas, seluruh siswa pun mulai keluar satu persatu dari ruangan itu.
"Makasih ya," ucap Jia saat Sinka memberikan pulpen miliknya, yang dibalas Sinka dengan anggukan kecil tanpa suara.
Setelah itu, Jia pun pergi bersama teman-temannya yang lain sementara Sinka masih di kelas untuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Gerakan tangannya terhenti saat ia mendengar sayup-sayup suara yang terdengar semakin menjauh.
"Lo ngga liat itu mukanya kek psikopat?"
"Cuma minta balikin pulpen doang elah, santai."
"Tetep aja lo berani banget dah, ini tuh Sinka lho. Sinka!"
"Ssttt pelan-pelan anjir, kalo dia denger gimana?"
Si empunya nama yang sedang dibicarakan pun kembali sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan sejenis itu selama di sekolah.
Karena bagi Sinka, orang-orang tidak akan mengerti. Namun ia juga terlalu malas untuk menjelaskan kepada mereka agar mengerti.
***
"Ini kak pesanannya, selamat menikmati!"
Sinka tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih pada waitress yang baru saja mengantarkan pesanannya. Ia memang sudah sering datang ke tempat ini setiap pulang sekolah. Selain karena tempatnya yang nyaman, kafe ini juga terlampau sepi pengunjung dan Sinka menyukai itu.
Ya, Sinka tidak pernah langsung pulang ke rumahnya karena satu dan beberapa alasan. Ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu di luar rumah sampai malam dengan seragam putih abu-abunya daripada di rumahnya sendiri.
Lagipula aku ngga ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh. Batin Sinka.
Ia pun mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sebuah foto berukuran 4R, menampilkan seorang anak kecil yang sedang tersenyum cerah bersama kedua orang tuanya di sisi kiri dan kanan. Tidak ada yang aneh dari foto itu, tampak seperti foto keluarga normal pada umumnya. Sinka menatap foto yang selalu ia simpan di dalam tasnya itu tanpa ekspresi.
Layaknya ritual, ia selalu melakukan ini setelah menghabiskan mango cheesecake pesanannya, waitress yang berjaga pun sudah hafal apabila gadis itu membutuhkan waktu sendirian di saat-saat seperti ini.
Beberapa saat kemudian, Sinka pun selesai dengan 'ritualnya' dan memasukkan kembali foto itu ke dalam tas. Gadis itu langsung menghabiskan americano 3 shot pesanannya dalam sekali teguk, kemudian bersiap pergi dari sana karena jam di dinding kafe telah menunjukkan pukul 06:30 sore.
Saat ia akan beranjak pergi, matanya tak sengaja menangkap wajah yang cukup familiar di layar televisi kafe. Tubuhnya mendadak kaku, jemari kecilnya mengepal dan mulai mengeluarkan keringat dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect
Teen FictionSinka Dewi Ayuna adalah seorang remaja yang tidak pernah percaya diri, selalu membandingkan dirinya dengan orang lain, dan tidak memiliki teman selama di sekolah. Tidak, dia bukan korban bullying. Sinka hanya siswi biasa yang tidak pernah menjadi pu...