Asavella 🍁21

116K 8.9K 488
                                    

Merajut langkah bersampingan dengan wali kelas sekalipun guru matematika peminatan yang merupakan wali kelas MIPA 8. Mata bulat yang indah itu sesekali melirik ke bawah—mengelus kain yang terikat di pergelangannya hingga memunculkan senyuman terbit di balik masker hitamnya.

Seakan-akan ada Brian di sampingnya. Menemaninya dan mengatakan untuk tidak bersedih. Walaupun telinganya mendengar caci makian dari beberapa siswa yang berpas-pasan dengan Asa. Ia mengabaikannya. Sebab, ia tidak peduli dengan semua cacian itu. Toh, ia benar-benar datang sekolah untuk belajar, bukan mencari keributan.

Setelah berjalan cukup lama. Ia pun akhirnya sampai tepat di kantor kepala sekolah.

Gadis itu mengikuti tiap langkah dua guru yang masuk lebih dulu. Iapun juga dipersilakan duduk oleh kepala sekolah di mana di sampingnya ada Bu Livi—wali kelasnya dan Bu Deva—Guru Matematika Peminatan.

“Selamat datang kembali, Ananda Asavella. Di sekolah SMA MERPATI SILA LIMA.” monolog Reno—Kepala sekolah. Pria tua bermata empat itu mengulurkan tangan untuk mengajak berjabat tangan dengan Asa.

Asa pun menerima jabatan tangan tersebut dengan senyuman ramah dibalik masker hitam yang ia kenakan.

“Dikarenakan kamu sudah masuk setelah kejadian yang menimpa mu dan kakak kamu yang merupakan murid dari 12 IPS 1. Saya, selaku kepala sekolah tidak ingin bertele-tele. Kamu pasti paham saya membahas apa, karena kamu dari kelas unggul yang jelas disaring karena kepintaran dan kepandaian.”

Asa hanya mengangguk. Mungkin, untuk olimpiade ia dicoret dari sekolah. Sudah jelas. Dan tak bisa terelakkan.

“Baiklah, Asavella. Saya cuma mau sampaikan jikalau nama kamu dicoret dari seleksi peserta perwakilan olimpiade tahun ini. Serta …”

Dahi Asa mulai mengerut. Serta? Serta Apa? Apa lagi?

“… kamu akan dipindahkan dari kelas unggul ke kelas reguler. Di mana mulai besok kamu masuk kelas MIPA 8. Kamu dikeluarkan dari calon peserta pertukaran pelajar antar negara tahun ini. Saya juga mendapatkan laporan dari teman terdekat kamu, kalau kamu suka bicara kotor dan kasar. Tak hanya itu, kamu suka membully teman sekelas mu dan merasa menjadi sok jagoan.”

Asa semakin dibikin bingung. Baru juga masuk sekolah, berita palsu mana lagi yang tersebar ini?

“Maaf, pak. Saya bicara seperti itu jika ada seseorang yang memulai. Dan saya ingin membenarkan kalimat bapak, jikalau saya tidak pernah sedikitpun mencoba membully ataupun merasa jagoan,” tegas Asa membela dirinya.

“Lagi pula, manfaat tertawa di atas penderitaan orang lain itu apa? Bahkan, sekalipun saya menjadi pembully, saya akan membully diri saya dan membunuh diri saya yang lemah.”

“Apa yang dikatakan Ananda Asavella benar, pak. Saya rasa ini bualan anak-anak karena mereka membencinya,” tanggap Bu Livi yang percaya dengan muridnya satu ini.

“Ibu Livi, saya bukannya ikut campur. Kenapa ibu masih membela murid seperti Asavella yang sudah mencemari nama baik sekolah Merpati Sila Lima yang sudah mendarah daging terkenal dengan—”

“Pembullyannya,” pangkas cepat Asavella.

“Kamu bisa diam! Saya lagi bicara dengan Bu Livi bukan dengan kamu, anak bodoh,” celetuk Bu Deva—wanita dengan warna bibir merah cabai.

“Bu Deva, tolong diam dan lihat kondisi,” tegur Reno.

“Asavella. Seharusnya kamu sebagai murid berprestasi dan duduk di bangku kelas unggul, tahu itu kata pantas atau tidak untuk diucapkan. Percuma kamu duduk, di bangku unggul, tapi otak kamu masalah prakata selalu picik. Minim. Memang orang tua kamu enggak pernah didik kamu buat bicara yang baik dan sopan?”

Asavella hanya mendengus geli. Bagaimana kepala sekolahnya benar-benar menginterupsi layaknya seorang hakim.

“Kamu mulai besok duduk di bangku Mipa 8 dan di mana Bu Deva yang akan wali kelas baru mu mulai sekarang.”

“Sudah?” tanya Asa cepat yang tidak peduli di kelas mana ia akan belajar.

Pak Reno menahan sabar. Ia berpikir, jikalau Asa memang gadis keras kepala yang tidak melihat kondisi dengan siapa ia berbicara. “Saya tadi juga bilang ini bukan ke kamu, jikalau kamu membully teman di kelas. Dan kamu membentuk circle—menghasut mereka untuk menyuduti teman yang lain.”

“Pak. Saya sudah tegaskan. Saya tidak membully, Pak Reno yang terhormat. Saya tidak pernah melakukan itu!”

“Okey. Saya akan percaya sama kamu kalau mereka berkata bohong. Mereka akan saya panggil sekarang, Bu Deva. Tolong panggil siswa yang pagi-pagi di ruangan saya.”

“Baik, Pak.”

“Mereka?”

Tidak menunggu waktu lama. Dua siswa datang dengan wajah yang begitu datar ketika Asavella harus bertatapan dengan sosok Mutiara dan … Tio?

“Tio? Lo?”

“Kalian berdua duduk sini,” gumam Reno yang mempersilakan dua siswa itu untuk duduk bersampingan dengan Asavella.

Namun Tio menolak. Ia menggeleng kepala, dan berkata. “Saya enggak sudi duduk dekat dengan seorang siswi nakal sekaligus pembully,” ucapnya sembari menghisap permen yang menjadi ciri khasnya.

Hati Asavella hancur seketika. Tio Mahardika. Laki-laki yang selalu menjaga dan menjadi anak panah Asavella seketika ia mengangkat busur dan memanah ke arah tuannya sendiri.

“Tio, kalian saling berteman bukan? Kenapa kamu gini?” Bu Livi mencoba menyadarkan Tio yang sama sekali tidak peduli dengan Asavella yang menatapnya sendu penuh rindu.

Tio mengernyit. “Dia? Teman saya? Saya tidak punya teman pembully. Asavella yang saya kenal, sudah tiada lama, bu.”

“Sudah. Kalian jangan berdebat argumen di sini. Asavella, Tio yang memberitahu jikalau kamu sering menyakiti, Mutiara. Dan kamu sering menghasut teman-teman kamu termasuk Tio sendiri untuk membully, Mutiara. Sekali lagi saya tegaskan, bukti kamu kurang kuat untuk buat saya percaya,” jelas Pak Reno.

“Kamu minta maaf dengan Mutiara jikalau masalah ini ingin selesai dan sekalipun berdamai.”

“Enggak mau,” tolak mentah-mentah Asavella.

“Lihat, Asavella skyrainy. Dia enggak mau menundukkan kepalanya atau sekadar meminta maaf karena dia takut harga dirinya semakin rendah,” sinis Tio.

"Kenapa lo gak mati Aja sih waktu itu? Kenapa harus bertahan? Percuma bertahan, dunia ngebenci lo!"

"Tio! Jaga ucapanmu!" tegur Pak Reno.

“Udah, Yo. Biarin. Lagi pula, buat nerima maafnya gue pun enggak sudi,” timpal Mutiara.

Mata Asavella memanas. Langkahnya mendekat untuk berhadapan dengan Tio. Ia terasa sesak ketika melihat wajah Tio. “Gue kecewa sama, lo.”

“Kecewa dan luka udah makanan lo. Lo nggak bisa ngelak dan gausa pura pura kaget, Asavella.”

Tio tersenyum sinis. “Kenapa, Sa? Mau nangis? Bisa nangis? Sakit, ya? Makan tuh sakit.”

Mendengar kalimat Tio. Asavella langsung pergi menabrak keras pundak Tio.

Tidak peduli ia melaju langkah ke mana dan tak peduli dua guru itu memanggil-manggil namanya. Ia tidak peduli seberapa sakit luka pemberian keluarganya ataupun Brian.

Tapi, jangan teman.

Jangan teman-teman yang menjauhinya.

Jangan.

Jika satu tubuh terpotong maka seluruh tubuh akan merasakan sakit yang benar-benar tak bisa di deskripsikan. Dan Asavella mengalaminya.

Ia kehilangan Tio hari ini.

ฅ^•ﻌ•^ฅ

Next?

Pengen di komen ayo next kak🥺💖 dan semangat.

ASAVELLA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang