Bab 17 Guling Bernyawa

Mulai dari awal
                                    

Mengintip dari jendela akhirnya ia menemukan seseorang di sana, tengah menengadahkan tangan dengan lelehan air mata yang membasahi sebagian mukenahnya. Gadisnya menangis pilu seorang diri di tempat yang sepi ini. Iya, dia Hasna.

***

"Ya Allah ... mohon ampuni segala kesalahan hamba. Hamba tahu selama ini hamba jarang sekali mendekati-Mu, tapi hamba mohon kabulkan pinta hamba kali iniii ... saja. Jika takdir-Mu belum bisa pertemukan hamba dengan ibu. Tolong lindungi dia di manapun ia berada. Dan juga tolong beri tempat terindah untuk Bapak hamba di sisi-Mu, ampunilah segala dosa-dosa yang sengaja atau tanpa sengaja mereka perbuat. Ampunilah kami Ya Allah...." Dengan sedekap pilu yang menguasai dada, menimbulkan sesak dan tekanan batin yang mendalam, doa itu ia langitkan setulus hati. Di sertai derai tangis yang mengharu biru hingga kerongkongannya terasa tercekat.

Hasna menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, ia memang tampak tegar saat mentari bersinar, namun ketika malam datang ia akan menangis sendirian. Dan ini malam puncak dari rasa sedihnya, ia tidak bisa lagi menangis sendirian di antara cerukan bantal saat semua temannya tertidur. Ia butuh sandaran.

Hampir satu jam Gus Irham berdiri di jendela, menunggu Hasna bangun dari sujudnya. Namun, sejauh itu pula sang istri masih bertahan di posisinya.

"Gus, ada apa? Apa sudah ketemu?" tanya salah seorang petugas jaga dengan pelan. Ia tahu Gusnya tengah mengawasi seseorang.

Gus Irham mengangguk.

"Kalau begitu biar ana bawa ke ruang pengurus." Petugas jaga para ikhwan itu berniat masuk.

"Tidak perlu. Sepertinya dia tidak berniat kabur, dia hanya butuh sendiri dengan Robb-nya. Lihatlah," suruhnya.

Petugas itu ikut mengintip dan mengangguk-angguk mengiyakan ucapan Gus Irham.

"Kamu kembalilah, biar nanti saya yang tegur." Gus Irham menilik jam tangannya. "Waktu jaga sudah habis, kamu bisa istirahat sekarang."

"Tapi, Gus. Biar ana saja yang nunggu. Gus bisa istirahat."

Gus Irham menggeleng disertai senyum lembut. "Pergilah, biar saya di sini. Jangan lupa kabari juga yang lain."

"B-baik, Gus. Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumussalam,"

Seperginya lelaki itu Gus Irham masih menunggu, namun Hasna tak juga terbangun dari sujudnya. Menduga tertidur pun tidak mungkin, karena tubuhnya masih sesenggukan. Dengan terpaksa Gus Irham masuk dan mendekatinya.

"Hasna." Gus Irham menyentuh kepala Hasna. Namun gadis itu justru oleng dan terjatuh. "Hasna," pekik Gus Irham khawatir. Saat menepuk pelan pipinya Gus menyadari satu hal. Panas. Refleks tangannya menyentuh kening sang istri. "Astaghfirullah, badanmu demam."

Segera Gus Irham membopong tubuh Hasna, berjalan cepat menuju ke ndalem. Sesampainya di sana langsung ia rebahkan di kasur. Mencari handuk kecil untuk kompres kemudian keluar kamar guna mengambil air hangat.

Usai mengompres ia langsung memakaikan plaster demam di dahi Hasna. Irham tidak tahu sisa plaster demam milik Shabiru berfungsi untuk orang dewasa apa tidak. Yang penting usaha dulu, mau memberikan obat takutnya Hasna belum makan apa-apa.

Sedikit ragu Gus Irham membuka mekenah yang Hasna kenakan. Ia sampirkan perlahan anak rambut yang berantakan menutupi sebagian wajahnya, menatap tanpa suara.

Irham tidak menyesal menikahi Hasna, ia hanya menyesal kenapa tidak bisa menjaganya dengan leluasa.

Jika berbicara cinta, sepertinya belum ada rasa spesial yang mendiami hatinya. Di dalam sana masih terukir nama wanita lain. Tapi, Irham sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mulai membuka hati untuk Hasna, dan sudah ia usahakan hingga detik ini.

Pangeran Pesantren [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang