Tetesan lembut rintik hujan, mengetuk pelan kaca jendela kamar rawat Dirga. Menghasilkan suara merdu yang menenangkan bagi sebagian besar orang, terkecuali Dirga.
Di kala sebagian besar pasien di rumah sakit tersebut tidur dengan nyaman diiringi suara rinai, ataupun asyik menikmati musik alam tersebut sambil memandang teduh jendela kamar rawat mereka, Dirga menatap kesal ke arah jendela di sisi kanan ranjangnya.
Hujan. Fenomena alam yang menjadi salah satu pemicu serangan, yang paling tidak bisa dihindari Dirga. Asap, debu, makanan, semua bisa dihindarinya, tapi tidak dengan hujan. Lebih tepatnya, perubahan cuaca yang terjadi karena datangnya hujan, serta suhu udara yang langsung menurun.
Guyuran hujan deras yang datang tiba-tiba saat tengah malam, sontak membangunkan Dirga dari tidur lelapnya. Memaksanya mencari pasokan oksigen, yang telah disembunyikan semua oleh sang hujan. Membuatnya dengan sangat terpaksa memencet tombol bantuan, agar para perawat dan dokter jaga bisa membantunya mendapatkan oksigen. Karena berapa kali pun ia menghisap inhaler, tidak ada barang sedikit oksigen menghampiri dan membuatnya kembali bernapas normal.
Semalam, Dirga pergi tidur dengan perasaan bahagia. Masih teringat jelas olehnya, kata-kata yang diucapkan Dokter Raka usai memeriksanya kemarin.
"Kondisi kamu udah stabil. Kita pantau dulu sampai pagi, ya. Kalau masih stabil ataupun jadi lebih baik, besok sore atau lusa kamu udah boleh pulang."
Namun, di malam yang seharusnya menjadi malam terakhir ia menginap di kamar ini, Dirga terpaksa melanjutkan tidur dengan bantuan oksigen hingga pagi tiba. Sudah dapat dipastikan, ucapan Dokter Raka kemarin otomatis tidak lagi berlaku. Dirga pun harus menerima kepulangannya yang diundur, meskipun dengan berat hati.
"Puas lo? Sukses besar bikin gue tetap ketahan di sini!" rutuk Dirga sambil melempar gumpalan tisu ke arah jendela.
Dirga melirik jam dinding yang berada tepat di depan ranjangnya. Pukul dua siang. Masih ada waktu dua jam sampai waktu ia bertemu dengan Kirana.
Kembali Dirga menatap rintik hujan yang masih setia mengetuk pelan jendela kamarnya.
"Lo mau sampai kapan turun di sini? Semalam lo udah sukses bikin gue hampir mati gara-gara enggak bisa napas. Lo juga udah sukses bikin gue terjebak lebih lama di kamar ini. Masa lo juga masih mau gagalin pertemuan gue dengan Kirana? Please, berhenti."
***
Dirga terkesiap. Karena kelelahan dan kurang tidur akibat serangan asmanya tadi malam, tanpa sadar Dirga tertidur saat menanti hujan reda.
Cepat ia melihat ke arah jam dinding di hadapannya. Pukul setengah empat! Ia tidak terlambat! Hujan pun telah reda. Tidak ada lagi ketukan rintik hujan di jendela kamarnya, digantikan oleh seberkas cahaya mentari sore yang mengintip malu-malu.
Tak mau membuang waktu, segera Dirga bangkit dan melompat turun dari ranjang. Belum jauh kakinya melangkah, pandangan Dirga mendadak berkunang-kunang, pun kepalanya terasa seperti diremas-remas. Beruntung sebelah tangannya sempat meraih pinggiran ranjang, sehingga tubuhnya bisa bertopang ketika perlahan turun untuk duduk dan beristirahat sejenak.
"Tubuh lo lemah, Dir! Lo jangan sok jago!" Dirga berkata getir sambil memeluk kedua lututnya.
Matanya terpejam, berharap rasa sakit di kepala dan kunang-kunang yang mengaburkan pandangannya cepat pergi.
Sepuluh menit berlalu. Meski masih sedikit pusing, Dirga sudah bisa kembali mengendalikan tubuhnya. Namun, ia tidak mau lagi mengulang kesalahan yang sama karena tergesa-gesa. Kali ini ia bersiap dengan perlahan. Toh masih ada waktu, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Green Sketchbook
Teen FictionDirgantarra Hanenda lelah dengan hidupnya. Trauma masa lalu pun membuatnya semakin menutup diri dari pergaulan. Namun, semua berubah ketika Tiara dan Kirana hadir di kehidupan Dirga. Perlahan, tembok pembatas yang dibangunnya pun runtuh. Rahasia ya...