27

40.3K 5.2K 502
                                    

Sekarang sudah dua minggu lewat dari kejadian hari itu. Selama itu pula Vanda selalu menghindar dari Reza bahkan sepupunya sendiri.

Vanda menutup matanya dengan memijat pelipisnya. Didalam kelas yang hanya bisa dilakukan olehnya yaitu tidur. Namun, itu pun semakin membuat kepalanya tambah sakit.

"Van, lo beneran yakin nggak papa? Ini muka lo pucat banget," ucap Febby dengan raut wajah khawatir.

Vanda hanya menggeleng. Ia tidak berkeinginan untuk berbicara. Ia hanya terlalu lemas untuk banyak bicara.

Mulai pagi tadi dirinya selalu saja mual-mual bahkan perutnya sedikit keram. Ia kepikiran maag miliknya pasti kambuh lagi karena selama disini makanannya selalu tidak terkontrol.

Ia juga tidak berkeinginan untuk ketinggalan pelajaran. Ia ingin sukses dengan usahanya sendiri tanpa bantuan harta keluarga itu.

Febby hanya bisa menghela nafas gusar. Ia mengangkat tangannya dan meletakkan di kening lelaki itu. Ia menarik tangannya dengan melotot tajam.

"Van, kali ini lo nggak boleh nolak! Badan lo itu panas banget lagian habis ini juga pelajaran olahraga. Apa Lo sanggup?!" bentak Febby dengan menarik rambutnya melihat sifat keras kepala lelaki itu.

Vanda yang dibentak oleh gadis itu seketika menjadi cemberut sendiri. Ia mengambil baju olahraganya dari kolong meja lalu pergi meninggalkan Febby dengan gerutunya.

"Kepala batu banget tuh orang!" geram Febby dengan menatap kepergian Vanda.

***

Vanda menatap wajahnya yang sangat pucat. Ia bisa saja istirahat dirumah, tetapi ia tidak ingin bertemu kedua orang tua itu cukup lama.

Ia mengeluarkan parfumnya lalu menyemprotkannya cukup banyak. Namun, tiba-tiba saja dirinya menjadi mual. Ia berlari keluar dari toilet lalu mengeluarkan isi perutnya.

Tiba-tiba saja sebuah tangan memijat lehernya dengan pelan. Lalu lama-kelamaan dirinya sedikit berangsur membaik.

"Makasih," ucap Vanda dengan tulus.

Orang itu hanya diam dengan masih mengelus punggungnya. Ia mengangkat wajahnya perlahan lalu dikejutkan oleh sosok itu.

Vanda menepis tangan lelaki itu lalu membalikkan tubuhnya. Ia menatap tajam sosok Reza yang menatapnya seperti tidak ada rasa bersalah.

"Lo ngapain disini?!" bentak Vanda dengan menatap tajam.

Reza menatap dirinya dengan tersenyum mengejek. Lelaki itu mengelus pipinya, tetapi segera ia tepis dengan menatap sinis.

"Kenapa ada masalah? Ini toilet sekolah yang berarti milik penghuni sekolah. Seharusnya yang bertanya itu gue, kenapa lo sekolah dalam keadaan sakit?" ucap Reza dengan menepuk-nepuk pelan pipi Vanda.

Vanda mengangkat alisnya. Kemudian terkekeh geli ia tidak menyangka bisa menemui orang yang tidak punya tahu malu seperti Reza.

"Lo itu mafia bukan? Memang sih mafia itu isinya brengsek semua kayak Lo!" sergah Vanda dengan mendorong tubuh Reza.

Reza yang mendengar itu hanya membenarkan seragamnya. Lelaki itu mengangkat wajahnya dengan tersenyum mengejek. Hal itu membuatnya sedikit kesal dibuatnya.

"Iya, gue emang anggota mafia yang brengsek. Kenapa ingin marah? Bongkar aja semuanya gue nggak takut! Tapi mungkin detik itu juga nyawa Lo nggak selamat," seru Reza dengan menatap tajam.

"Keluarga pembisnis emang suka berlagak sombong," lanjut Reza dengan bersedekap dada.

Vanda menundukkan kepalanya. Wajahnya kini memerah karena menahan amarah sedangkan tangannya mengepal.

"Sebenarnya gue ada salah apa sama lo?" tekan Vanda dengan mengangkat wajahnya.

"Gue juga nggak tau apapun. Itu hanya kata yang diucapkan ketua gue," jawab Reza dengan mengangkat bahunya.

"Siapa ketua lo? Apa salah gue ke dia?" cecar Vanda dengan mengerutkan keningnya.

Reza mengangkat alisnya. "Mana gue tau hal itu. Hey, lo itu bukan anggota kami jadi nggak boleh tau nama ketua."

"Ogeb!" seru Vanda dengan mendengus.

"Loh, lo kali yang ogeb," elak Reza dengan mengerutkan keningnya.

Vanda menatap tajam kearah Reza. Kemudian berjalan pergi tidak lupa memberikan jari tengah kepada lelaki itu.

"Berani sekali dia," desis Reza dengan menatap kepergian Vanda.

***

Sekarang Vanda dan teman sekelasnya berada di lapangan utama. Cahaya matahari sangat terik membuat kulitnya sedikit terbakar. Ia mengelap keringatnya yang bercucuran.

Vanda menghirup udara berkali-kali untuk membuatnya sedikit tenang. Namun, ia masih saja sedikit khawatir dan tidak senang dengan keadaan sekarang.

Ia sedikit kebingungan sebenarnya apa yang terjadi dengan tubuhnya. Biasanya ia akan semangat jika menerima pembelajaran yang berhubungan dengan fisik.

"Balik kiri gerak! Barisan kanan lari lebih dahulu diiringi barisan kiri. Lakukan lima kali putaran dari sekarang!"

Semuanya seketika berlari bahkan ada yang balapan hingga kejar-kejaran. Ia hanya menatapnya dengan berlari kecil mengiringi teman sekelasnya.

"Van, lo jangan keras kepala! Itu wajah Lo makin pucat!" seru Febby dengan menarik tangan Vanda, tetapi ditepis oleh lelaki itu.

"Nggak perlu gue masih kuat," lirih Vanda dengan tersenyum tipis.

Febby yang melihat itu hanya mendengkus malas. Alhasil ia hanya diam karena percuma saja memaksa orang yang keras kepala seperti lelaki itu. Ia hanya berlari kecil disamping lelaki itu untuk berjaga-jaga.

Langkah demi langkah sudah Vanda lakukan. Larinya semakin perlahan dan kepalanya tambah pusing. Matanya perlahan sedikit kabur lalu tubuhnya sedikit lemas. Ia menunduk dengan bertumpu kepada lututnya.

Tiba-tiba tubuhnya melayang dan membuatnya memekik tertahan. Ia menatap orang yang menggendongnya dengan menatap sinis. Ia memberontak tapi lelaki itu tetap mempertahankan beban tubuhnya.

"Diam," ucap Reza dengan muka datar.

Diiringi dengan Febby mereka izin kepada guru pengajar. Kemudian segera menuju rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan.

***

Didalam ruangan pemeriksaan Reza hanya diam sedangkan Febby sedikit khawatir. Dokter terus saja memeriksa berkali-kali dengan raut wajah tidak percaya.

"Jika Dokter Smith terus saja seperti ini mungkin detik ini juga kepala anda lepas dari tempatnya," ucap Reza dengan nada datar.

"Saya hanya bingung Tuan muda."

Reza mengangkat alisnya. Ia sedikit bingung tidak biasanya dokter keluarganya itu terlihat ragu-ragu seperti sekarang.

"Kita harus memanggil Elisa."

Reza yang mendengar itu seketika menjadi terkejut. Ia tampak berpikir kemudian mengangguk pelan.

Smith segera melakukan panggilan telepon. Setelah menunggu cukup lama akhirnya sang dokter datang dengan terburu-buru.

Dokter profesional itu segera melakukan pemeriksaan dengan cukup serius. Raut wajahnya seketika menjadi berubah menjadi senyuman.

"Saya tidak menyangka akan menemukan kejadian langka seperti sekarang. Selamat bagi tuan yang sedang mengandung anak pertamanya," ucap Lisa dengan tersenyum tipis.

Vanda yang mendengar itu seketika terkesiap. Ia menatap perutnya dengan tatapan kosong. Ia juga mengelus-elus perutnya dengan raut wajah tidak percaya.

"Dokter jangan bercanda, deh! Nggak lucu tau," seru Vanda dengan memutar matanya.

"Tuan mungkin sedikit ragu karena itu merupakan fenomena yang langka. Tapi ini takdir tuhan dan anda harus menerimanya," ucap Lisa dengan tersenyum tipis.

"Oh, kalau begitu kalian pergi. Lalu Reza tinggal di sini," pinta Vanda dengan menatap tajam Reza.

***

Jangan lupa vote dan komen :)
Vanda hamil 😋
Lanjut!

Eternal Love Of Dream [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang