DUA PULUH EMPAT

888 179 45
                                    

Jean sudah memikirkan matang-matang perihal ini. Dan Jean sudah siap menerima konsekuensinya. Dia sudah lelah. Dia ingin kehidupannya yang dulu kembali lagi. Bahkan jika perlu, ia akan pindah ke pelosok agar tidak bertemu dengan orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya.

Tadi selama di perjalanan Jean berpikir keras sampai-sampai kepalanya mau pecah. Bahkan gadis itu sampai kebablasan beberapa rumah saat naik ojek online.

Setibanya di rumah, Jean di sambut dengan aroma makanan yang menggugah selera.

Jean segera menghampiri dapur, gadis itu menarik bangku dan memperhatikan punggung lebar milik Keenan dari belakang.

”Tumben pulangnya sore? Habis darimana?” tanya Keenan yang tengah memasak.

”Ada kerja kelompok.” Keenan ber'oh'ria. Padahal dia tahu kalau Jean itu sedang berbohong.

”Saya masak makanan kesukaan mu, ayam barbeque kayak di drakor-drakor itu. Tapi kayaknya rada pedes, cobain deh.” Keenan mengambil satu ayamnya menggunakan sendok lalu Keenan meniupnya beberapa detik sebelum ia membiarkan Jean makan.

”Nih," katanya dan Jean segera melahap ayam tersebut.

”Gimana?”

”Lumayan.”

Keenan berdecak. ”Berapa nilainya?”

”0,5.” Keenan melengoskan napas kasar.

Jean menarik napas. Dia kemudian menatap Keenan serius. ”Nan, ada yang mau gue omongin.” Keenan mengerutkan dahinya, lalu dia menarik bangku dan duduk di hadapan Jean.

”Kenapa? Uang di rekening mu habis lagi di pake buat bayarin rumah sakit orang?” Jean menggeleng cepat.

”Bukan dodol, bukan masalah duit.” Keenan menaikan sebelah alisnya. Pria itu kemudian melipat tangan di atas dada sembari menunggu apa yang ingin di bicarakan Jean.

”Terus apa?”

Gadis itu kemudian melepas cincin yang tersemat di jari manisnya lalu ia berikan pada keenan.

”Gue udah gak bisa lanjutin pernikahan kita." Keenan membeku seketika.

”Maksud mu apa? Cepet pakai lagi.” Keenan coba untuk mengembalikannya. Tapi Jean bersikeras menyingkirkan cincin itu darinya.

”Gue gak bisa lanjutin ini, gue capek. Gue tertekan sama Kak Jena. Dia yang mati-matian nyuruh gue untuk bertahan sama lo, dia selalu ngomelin gue kalo gue buat salah sama lo, dia selalu maksa gue buat bilang terima kasih sama lo, dia selalu maksa gue buat gak minta cerai karena lo udah banyak bantu keluarga kita. Tapi, dia gak pernah satu kali pun, nanyain perasaan gue gimana. Kamu bahagia gak sama Keenan? Kamu nyaman gak sama dia? Keenan jahat gak sama kamu? Gak pernah sama sekali. Dan itu yang buat gue tertekan.” Jean meremas ujung lengannya. Gadis itu tertunduk lesu usai bicara. Namun, ia berusaha untuk tegar dan tidak menitihkan air mata dahulu sebelum selesai bicara.

”Gue tau, gue harusnya beruntung punya suami kayak lo. Tapi menurut gue, lo itu beban pikiran gue, lo yang selalu buat gue di hantui sama kak Jena. Kalian yang terlibat di masa lalu, tapi akhirnya malah gue yang terjebak. Gue gak mau nyalahin lo, karena lo juga korban. Cuma gue mau marah sama Kak Jena yang egoisnya udah sampai puncak.” Jean menarik napas.

”Dari kecil ayah sama mama itu memprioritaskan kak Jena karena dia anak pintar sehingga jadi anak kebanggaan, beda sama gue. Boro-boro di banggain, yang ada selalu di bandingin dan di larang main karena nilai gue gak pernah dapet sempurna. Meskipun mereka menuntut gue untuk jadi anak yang sempurna kayak kak Jena,tapi gue gak pernah mau dan gak pernah sudi di samain sama dia. Gue ya gue, kak Jena ya kak Jena. Itu makanya pas di SMA ayah sama mama udah nyerah nuntut ini dan itu sama gue, mereka lepasin gue gitu aja asal gue gak jadi anak nakal. Dan menurut gue, itu sumber kebahagiaan gue. Kebebasan.” Keenan menatap Jean lamat-lamat.

Sweet Revenge✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang