Acara Pemakaman

78 12 0
                                    

HITAM ADALAH WARNA yang mendominasi sejak tadi pagi. Orang-orang dengan pakaian yang katanya melambangkan suasana duka itupun berkumpul, mengelilingi sebuah pemakaman yang masih basah dengan figura seorang gadis di atasnya.

Serra berjongkok paling dekat dengan papan nisan. Matanya sembab menatap nama Sakilla Atmajaya yang terpahat di sana. Tanpa bicara pun, orang-orang pasti tahu bahwa gadis itu tak bisa berhenti menangisi kepergian satu-satunya saudara yang ia miliki.

Billi dan Andin mulai sibuk menyalami kerabat dekat dan tetangga yang berpamitan karena acara penguburan telah selesai dilakukan beberapa menit yang lalu. Meski sedih, mereka berdua tampak lebih tegar jika dibandingkan dengan Serra.

Di balik kacamata hitamnya, Serra menemukan orang-orang terdekat Sakilla di antara para pelayat lainnya. Gretta, Tya, Fabian dan masih banyak lagi, yang mana Serra tahu bahwa mereka berasal dari ekskul basket dan cheerleader.

Sayangnya, mereka sama sekali enggan untuk mendekat. Mereka hanya saling berbisik sebelum kemudian memutuskan pergi bersama pelayat lainnya. Mereka berpaling tanpa sedikitpun mengucapkan kalimat simpatik untuk keluarga yang ditinggalkan.

"Serra."

Suara bisikan seseorang membuat Serra teralihkan. Ia menoleh dan menemukan Marcello ikut berjongkok di sebelahnya. Laki-laki itu tersenyum tipis dan menepuk pelan bahu gadis itu.

Yang mana gerakan kecil itu justru membuat Serra kembali menangis. Ia mengalihkan pandangannya, menatap makam yang ditaburi bunga warna-warni oleh keluarga besarnya, lalu menunduk lemah.

"Lo pasti bisa melewati semuanya, lo 'kan cewek tangguh," hibur Marcello.

Namun kata-kata itu tak lebih dari sekadar kalimat penghibur dalam suasana duka. Serra tak benar-benar mendengarkan. Ia masih tidak menyangka, adik kembarnya sendiri akan pergi dengan cara seperti ini.

Dari sekian banyak cara, kenapa harus bunuh diri?

Marcello bangkit. Ia lantas berkata, "Gue mau ke sana dulu ya, kepala sekolah kita datang. Nggak enak kalau nggak disapa."

Dan Serra hanya mengangguk pelan untuk mengiyakan kata-kata Marcello.

Tangan kurus milik Serra lantas mengusap wajah Sakilla dalam figura. Senyuman ceria yang terbungkus di dalam kotak kaca itu justru membuat hati Serra teriris dalam. Ia tidak akan bisa melihat senyum itu lagi. Bahkan meski Serra sangat merindukannya, Sakilla tak akan mungkin kembali untuknya.

"Serra."

Gadis itu kembali menoleh, ada Billi yang kini merendah di sampingnya.

"Kepala sekolah mau bicara sama kamu, apa kamu keberatan?"

Namun tentu saja Serra tidak memiliki pilihan lain selain menggelengkan kepalanya dan berkata, "Enggak. Nggak apa-apa, Pah."

Billi pun langsung membantu Serra untuk berdiri dan mendampinginya berbicara dengan Andre, sang kepala sekolah yang ternyata datang bersama beberapa guru lainnya.

"Pak," sapa Serra seadanya.

Andre mengatup bibirnya dan menepuk bahu kanan gadis itu pelan. "Kamu yang kuat ya. Bapak dan guru-guru lain turut berduka cita atas kepergian Sakilla."

"Terima kasih, Pak."

"Bapak sangat berharap, kepergian Sakilla ini tidak menjadi halangan untuk kamu tetap bersekolah. Apalagi kamu juga akan ikut pertandingan karate nasional, 'kan? Bapak sangat berharap, kamu bisa tetap kuat dan fokus." Andre menyudahi kalimatnya dengan memberi anggukan kecil kepada Billi dan tersenyum pada Serra. "Kalau begitu, bapak dan guru-guru lain akan pulang sekarang. Kamu yang tabah ya, Serra."

"Terima kasih, Pak."

Lagi, nasihat itu tak berarti apa-apa untuk Serra. Ia hanya bersikap sopan untuk menghormati orang yang lebih tua dan memandangi kepergian para petinggi GIS dengan tatapan kosong.

Sampai kemudian sebuah tangan merangkul bahu Serra dan membuatnya terkesiap. "Serra, sebaiknya kita pulang sekarang ya."

"Tapi aku masih mau di sini, Mah."

Andin tersenyum pahit, lalu mengusap puncak kepala Serra yang ditutupi topi baseball berwarna hitam. "Kamu bisa kesini lagi besok, tapi hari ini kita harus istirahat. Mamah dan Papah juga harus urus surat-surat kematian Sakilla, keluarga Papah yang dari Kalimantan juga katanya sebentar lagi sampai di rumah."

Serra tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakan permintaan sang mamah. Namun tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Marcello. "Uhm, Mah, boleh nggak kalau aku pulang sama temanku?"

Kedua alis Andin terangkat. "Teman?"

Manik hitam milik Serra berkeliling. Mencari sosok Marcello yang ternyata berada di belakangnya. "Sama Marcello, Mah."

Marcello yang baru saja hendak menghampiri Serra untuk berpamitan sontak terkesiap. Ia pun menyela. "Eh, i-iya, Tante. Saya Marcello, teman sekelasnya Serra, Tante."

Momen perkenalan yang Marcello harapkan sepertinya tak terjadi sesuai ekspektasinya. Namun melihat reaksi dari Andin, Marcello yakin situasi ini justru terlihat lebih baik.

"Serra bilang dia mau pulang bareng kamu. Apa nak Marcello nggak keberatan kalau nanti antar Serra ke rumah?"

Laki-laki yang menutupi pakaian olahraganya dengan jaket berwarna hitam itu hanya bisa mengangguk canggung. "Enggak kok, Tante. Tenang aja. Saya ini ketua karate di sekolah, saya bakal jagain Serra pokoknya."

Serra sempat mengernyit heran karena ucapan Marcello barusan. Lagipula, kenapa juga laki-laki itu harus membanggakan dirinya dalam situasi seperti ini? Marcello itu memang aneh.

Andin mengulas senyum di bibirnya yang pucat. "Yasudah. Mamah dan Papah pulang duluan kalau gitu. Kalian nanti hati-hati ya. Dan ingat, jangan terlalu sore pulangnya. Langitnya udah mendung tuh, takut kalian kehujanan di motor."

"Iya, Mah."

"Siap, Tante."

Andin berbalik kemudian menghampiri Billi. Wanita itu setidaknya menceritakan sedikit tentang Marcello hingga Billi menoleh dan melambai untuk mereka berdua sebelum akhirnya benar-benar pergi meninggalkan area pemakaman.

"Ser, lo masih mau di sini emangnya?" kata Marcello tiba-tiba.

Gadis itu kemudian menurunkan kacamata hitam dan melepas topi dari kepala. Ia melihat makam Sakilla yang tanahnya masih basah sekali lagi.

"Ini kita cuma berdua doang, lho." Marcello mengusap-ngusap lengannya sembari menatap cemas ke segala arah. "Kalau tiba-tiba ada hantu gimana?"

"Pasti ada sesuatu yang disembunyiin Sakilla dari kita semua."

Marcello menoleh dan menatap Serra bingung. Namun laki-laki itu tak mengatakan apa-apa dan memilih menunggu Serra melanjutkan kalimatnya.

"Belakangan sikapnya Sakilla itu jadi pendiam dan pemurung. Selama dua minggu kita berdua nggak pernah ngobrol. Aneh nggak sih menurut lo?"

"Maksud lo ... Sakilla punya masalah berat yang nggak sempat dia ceritain ke elo, gitu?"

"Sakilla nggak mungkin bunuh diri kalau dia punya teman buat berbagi. Gue yakin banget itu ada kaitannya sama Fabian, si berengsek itu. Dia pasti udah ngelakuin sesuatu ke Sakilla dan gue yakin banget dia juga yang bikin Sakilla sampai seputus asa itu dan milih buat mati pake cara kaya gini."

"Tapi, Serra-"

"Gue bakal cari tahu semuanya, Marcello."

ERAT (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang