Aku pendosa, bukan berarti tak pantas mendapatkan kebahagiaan yang jauh lebih baik.
•••
••
•Hai kakak ku yang paling keren. Terima kasih support dan nasehatnya. I loveeee youuu 😘😘
•••"Assalamu'alaikum Dinda."
Adinda memutar tatapan yang semula ter-arah ke cermin sekarang tepat di pintu, suara Nisa yang terdengar dari sana membuat Dinda sadar dari lamunannya.
Ia mengabaikan suara wanita itu, lalu menangkap wajah yang telah terpoles make up dipantulan cermin, garis bibir Dinda terangkat, tersenyum ia cukup sendu.
"Dinda bahagia kok," tekannya cukup lirih.
"Dinda, aku masuk ya?"
"Masuk aja Sa," suruh Dinda, ia mulai bangkit dari duduknya untuk pindah ke sisi ranjang.
Anisa tersenyum saat mata mereka bertemu, satu tangannya memegang piring dengan berbagai macam buah di sana.
"Kamu memakai make up Din?" tanya Nisa sembari meletakan buah tadi di atas nakas. "Cantik," pujinya lalu duduk di samping Dinda.
"Mertua kita datang Dinda, dia di ruang tamu sekarang. Temui ya!" pinta Nisa cukup pelan.
Dinda menghela napasnya sedikit kasar, sebenarnya hati kecil Dinda menolak kedatangan siapapun sekarang, entah kenapa semua orang tampak sama olehnya.
Lama ia berdebat dengan perasaan sendiri hingga akhirnya Dinda mengalah, ia mengikuti keinginan Nisa yang menatap dengan tatapan memohon.
Sesampainya di luar kamar, kaki Dinda kelu, wanita paruh baya yang tersenyum sangat manis ke arahnya justru membuat kepingan rusak itu terpecah ulang.
"Sayang," panggilnya lalu mendekati Dinda, ia mendekap tubuh Dinda dan mengusap punggung wanita itu cukup lembut.
"Bunda bawa banyak buah untuk kamu Nak, dan untuk calon cucu Bunda," ucapnya berbinar. Dinda tersenyum paksa, wajahnya pun ia palingkan enggan menatap Sari, ia geram.
"Sayangnya Dinda gak menginginkan buah Bunda," cetus Dinda jelas.
"Dinda mau apa? Bunda akan beliin," jawab Sari antusias.
"Dinda gak ingin kedatangan tamu." tegasnya. Senyum Sari memudar, sekilas ia menatap mata Nisa yang berdiri di belakang Dinda, wanita itu sama kagetnya dengan Sari.
"Maaf ya Bunda, ini keinginan cucu Bunda," sambung Dinda cukup puas, Sari tersenyum hambar, ia mengusap sekali lagi bahu Dinda.
"Yaudah, Bunda pamit dulu, lain kali kalau Dinda udah mau kedatangan tamu telfon Bunda ya?" Dinda hanya diam, tatapannya teralih ke samping, dan ucapan Sari hanya diangguki cepat oleh Nisa.
Begitu kaget Anisa sehingga kakinya bertaut di lantai, ia bahkan tak mengikuti mertuanya hingga ke depan pintu.
Nisa terlalu fokus ke arah Dinda yang sekarang duduk di meja makan, wanita itu terus mengotak-atik ponselnya dengan gusar.
"Aku mau pergi Nisa," ucap Dinda setelah lama hening, hal itu membuat Nisa semakin mendekati Dinda.
"Pergi?" tanya Nisa, Dinda mengangguk. "Kemana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IKHLAS [END]
Spiritual"Menikahlah dengan Mas Adnan, Sa," ulang Dinda dengan pelan. "Kenapa aku harus menikah dengan suami dari sahabatku sendiri? Aku gak mau Din," jelas Anisa menolak dengan secepat kilat saat permintaan tak masuk akal dari sahabatnya itu terlontar. Adin...